"Ya ampun, Yayah. Akhirnya datang juga." Anak usia lima tahun tersebut, langsung menyambut penumpang yang keluar dari mobil Rush tersebut.
"Jangan lebay!" Givan menahan kepala anak kelimanya tersebut, sehingga kedua tangan Caera Nazua tidak bisa memeluk ayahnya.
"Hei!" seru Canda, yang tidak terima dengan anaknya yang diguraui dengan perlakuan seperti itu.
Givan tertawa geli, kemudian berakhir dengan dirinya yang menggendong anak perempuan bertubuh bongsor sejak dalam rahim tersebut. Ia menciumi putrinya yang membuat istrinya harus melahirkan anak tersebut, dengan melalui operasi sesar. Tangis takutnya pecah untuk pertama kalinya dalam hidupnya, kala sang istri tetap terlelap saat operasi sedang dilakukan.
Namun, sayangnya Canda tidak mengetahui bagaimana lemahnya suaminya saat itu.
Flashback on.
"Pasien hilang sadar, Dok."
"Ya Allah, Canda." Tangan Givan langsung gemetar, melihat wajah pucat istrinya yang tidak merespon obrolannya sejak tadi.
Ya, Givan masuk ke dalam ruangan operasi tersebut. Semata-mata, untuk menemani istrinya berjuang melahirkan anaknya tersebut.
"Pasang alat bantu pernapasan!" seru seseorang begitu tegas.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Givan bersimpuh lemas dengan air mata yang banjir. Lututnya tak memiliki tenaga, saat ia melihat istrinya begitu tak berdaya.
"Ya Allah, Canda." Berulang kali, Givan menyebutkan Tuhannya dan istrinya.
Mulutnya kelu, ia tidak bisa mengatakan hal apapun lewat bibirnya yang bergetar tersebut. Sampai pada akhirnya, Givan diminta untuk keluar dari ruang operasi karena tangisnya mengacaukan konsentrasi petugas medis aja.
"Mah.... Aku tak mau jadi duda ditinggal mati. Mending duda cerai, bisa rujuk lagi." Givan langsung memeluk ibunya, yang menunggu di depan ruang operasi tersebut.
"Ish! Kau ngomong apa sih?!" Adinda mencoba menenangkan anak sulungnya tersebut, dengan mengusap-usap punggungnya.
"Mah, Canda kolaps. Dia malah hilang sadar, setelah perutnya dirobek. Gimana ini, Mah?" Tangis Givan begitu mengganggu, dengan suara nyaringnya.
Sontak saja, dirinya menjadi pusat perhatian mereka semua yang berlalu lalang di sekitar lokasi tersebut.
Flashback off.
Kebahagiaan mereka lengkap sudah, dengan kabar kehamilan Canda setelah kepulangan mereka ke Provinsi Aceh tersebut. Givan sampai mengadakan syukuran besar-besaran, sebagai bentuk rasa syukurnya atas segala nikmat yang telah Yang Kuasa berikan padanya.
Perhitungannya sekitar satu tahun, usaha mebel di Jepara itu stabil. Namun, ternyata dalam waktu empat bulan saja usaha itu sudah dikenal dan dipasarkan ke beberapa pulau. Givan berencana akan mengembangkan usaha tersebut, lewat tangan kanannya nanti. Ia akan membuat usaha mebel dari Jepara itu, untuk diimpor ke negara Singapore. Karena sebelumnya, ia pun menguasai pasar Singapore dalam bidang distributor peti mati dan ikan pedih.
Tentunya, dua perusahaan yang bergerak di bidang distributor itu. Merupakan peninggalan mendiang almarhum mantan suami Canda, yang pernah menikah dengan Canda, ketika mereka bercerai.
"Kali ini mirip Yayah ya, Nak?" Givan mengusap-usap perut istrinya yang masih rata tersebut, karena usia kandungannya baru menginjak minggu kelima.
"Kondisikan ya?! Tolong, jangan buat aku iri! Atau, aku ambil kembali!" ancam adik seibu dari Givan, yang merupakan mantan pacar Canda dulu.
Begitu jorok hubungan mereka. Tapi sekarang, mereka sudah menjadi keluarga besar yang saling menolong.
Givan tertawa lepas, dengan menarik kembali tangannya dari perut datar istrinya. Canda tentu begitu terawat, meski sudah melahirkan empat anak, murni dari rahimnya sendiri. Bukan lain, karena ekonomi Givan yang menunjang, membuat Canda bisa memperindah penampilannya untuk suaminya.
"Lagian masih ramai begini loh, Van! Kau kadang mesra-mesraan tak tau tempat." Adi Riyana, ayah sambung Givan ikut menambahi teguran untuk Givan.
Juragan kebun kopi yang memiliki lebih dari seratus hektare lahan itu, sekarang sudah begitu terlihat tua karena rambutnya sudah berubah warna begitu rata. Enam puluh tiga tahun sudah, ia menjalani kehidupan sebagai manusia bumi. Ia sedikit khawatir dengan jatah umurnya, karena sejujurnya ia tidak ikhlas jika meninggalkan istrinya yang masih cantik.
"Marah-marah juga dia tak tau tempat lah, Bang." Adinda menunjuk anak sulungnya tersebut.
Usianya yang lebih muda lima tahun dari suaminya, tapi tidak memperlihatkan bahwa dirinya sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ubannya yang disamarkan dengan warna coklat keemasan, lalu ditutupi kembali dengan hijab bergaya modern. Orang-orang tidak ada yang menyangka, bahwa ibu delapan anak tersebut sudah di usia senja.
"Tak suka marah-marah lagi loh suamiku ini, Mah." Dengan tidak tahu malunya, Canda mencium pipi imamnya sendiri di depan keluarga besar yang tengah berkumpul di acara syukuran mereka tersebut.
"Kan ada maunya," sindir Ghifar, dengan menoleh ke arah lain. Ia pura-pura tidak melihat reaksi kakaknya tersebut.
"Kau kali!" Givan melemparkan tisu yang sudah dikepal-kepal olehnya sendiri, ke arah adiknya itu.
"Kita sesama laki-laki, kau tau sendiri aja," terang Ghifar dengan gelak tawa.
"Ya itu dikasih lagi sih, kan kesampaian tuh maunya Givan." Adi menunjuk putra tirinya itu dengan dagunya.
"Iya dong." Dengan bangga Givan mengusap-usap perut istrinya kembali.
"Doain ya, Pah? Mah? Sekarang baby boy, biar warisan aman," celetuk Canda, yang membuat tawa bercampur sama rata di rumahnya itu.
"Ayah...." Datang seorang anak perempuan berusia tiga tahun dengan mengusap air matanya sendiri.
"Apa, Sayang? Anak sholehah Ayah." Givan menyambut anak bungsunya untuk saat ini dengan perhatian penuh.
"Bang Chandra nakal," adu Cani dengan tangis yang pecah di dekapan ayahnya.
"Yayah Givan...." Tangis lebih nyaring, datang Ra yang berlari ke arah ayahnya itu.
Caera biasa dipanggil dengan sebutan Ra, ia adalah kakak dari Cani. Namun, kebiasaannya memanggil ayahnya dengan sebutan 'yayah' sulit digantikan dengan sebutan 'ayah'.
"Aduh, anak sholehot Yayah. Kenapa lagi, Nak?" Kali ini Givan pura-pura menangis, saat Ra sudah berada di hadapannya.
Dua tangan dan pangkuannya, terisi dengan dua gadis kecil yang begitu mirip ibunya tersebut. Canda hanya bisa menahan tawa, melihat anak-anaknya yang lebih banyak mengadu pada ayahnya tersebut.
"Bang Chandra nakal, Yah. Suruh kita masuk, sampai melotot-melotot. Mana kan, ngayun-ngayunin gagang sapu juga. Kita jadi takut," adu Ra dengan menunjuk teras rumah mereka.
Untungnya, para tetangga yang hadir dalam acara syukuran tersebut sudah berhamburan pulang. Setelah bingkisan dibagikan dengan sama rata.
"Bang Chandra...," panggil Canda kemudian.
Muncullah anak laki-laki yang menjadi penghuni pertama di rahim Canda tersebut. Wajah campuran antara ibunya yang cantik dan kalem, dengan wajah tampan ayahnya yang gagah, menambah nilai tukar yang lebih tinggi ketika style rambutnya setara dengan para mafia. Anak laki-laki sebelas tahun tersebut, berjalan dengan baju koko dan setelan sarung.
"Ya, Biyung," sahutan lembutnya keluar hanya untuk ibunya saja.
"Dijaga adik-adiknya, Bang. Abang kan sayang adik-adiknya." Tangan Canda terulur, untuk membawa Chandra duduk di dekatnya.
Helaan nafas berat anak tersebut terdengar jelas, lalu ia melirik dua adik perempuannya yang berada di pangkuan ayahnya.
"Aku jaga mereka, Biyung. Makanya aku suruh mereka masuk, karena dari tadi tangan-tangan mereka nadahin air hujan terus." Chandra melirik tajam dua adiknya tersebut. "Ngelaporin yang bukan-bukan kan kau?! Hmm! Ngaku aja kalian!" tegasnya dalam suara rendah.
Chandra mengusap punggung anak yang dinanti selama tiga tahun pernikahan tersebut. "Kasih tau adeknya pelan-pelan," bisik Canda kemudian.
"Abang jangan marah-marah, takut nanti cepat tua." Givan bersenandung, untuk menciptakan kedamaian antara anak-anaknya tersebut.
Kekesalan Chandra luntur, mulutnya menasehati kedua adiknya tersebut dengan suara yang nyaman di telinga. Canda dan Givan tak menyangka, ternyata anak mereka bisa mengayomi adik-adiknya juga.
"Teungku Haji.... Bang Givan...." Panggil seorang warga dari teras rumah, di lebatnya hujan sore ini.
Mereka semua saling memandang, sebelum akhirnya Adi dan Givan keluar rumah untuk memenuhi panggilan.
"Ya, ada apa?" tanya Givan dengan bingung.
"Itu ada tamu di depan pagar rumah Teungku Haji, dia nunggu sampai kehujanan begini. Saya udah bilang, Teungku Haji lagi di acara anaknya, tapi katanya biar dia nunggu aja di situ. Kasian, sampai menggigil," terang seorang tetangga yang membawa payung tersebut.
"Siapa ya?" Adi kebingungan dengan memandangi wajah anak-anaknya satu persatu.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Cassie
Nah loh..
Lanjut thorr penasaran siapa itu yg datang..
2022-07-16
4
Yuli Amoorea Mega
Ai hamilkah?
pasti di sangka anaknya givan krn waktu itu gk sadar...
diantara laki" itu pasti ada yg nanam benihnya....
Canda bisa guling" bukan menangis lagi....
entah lah... klo ada apa" ma Canda hayuuuuk serang Ai wanita menjijikkan
2022-07-16
3
My_ChA
Ai Diah pasti itu, mau minta tanggung jawab givan. hayoloh givan habis kali ini kau sm keluarga kau, apalagi ghifar yg keknya masih mengharapkan si canda. pasti pasang BDN paling depan dia buat canda. gak sanggup ngebayangin reaksi canda, meski tahu nyatanya itu BKN perbuatan givan, dan givan gak pernah selingkuh.
2022-07-16
3