"Ceraikan istri kau! Biar aku yang muliakan dia." Ghifar memberi penekanan pada ucapannya.
Sontak saja, emosi Givan meletup sudah. Ia sudah mengayunkan tangannya, sayangnya Ghifar malah ditarik oleh seseorang. Sehingga orang yang mencari gara-gara dengannya tersebut, tidak berada di jangkauan tangannya lagi.
"Lagian kau kenapa lagi sih, Far! Kau beristri! Masih aja begitu." Adi menahan leher benih pertamanya itu dengan siku dalam tangannya.
"Silahkan kau ambil perempuan bekas aku, tapi tidak dengan Canda." Givan menunjuk adiknya dengan berjalan maju.
"Canda pun bekas aku! Aku ingatkan, kalau kau lupa!" pekik Ghifar, dengan emosi yang sudah tidak terkontrol.
"Bawa suami kau pulang dulu ini!" pinta Adi, pada salah satu menantunya yang muncul dari belakang.
"Ayo kita pulang dulu, Pa." Lembutnya suara perempuan yang membujuk Ghifar tersebut.
"Jangan pernah merasa, kalau kau lebih unggul dariku! Kau tengok yang jadi istri kau! Tanya masa lalunya, dia pasti ingat siapa aku di sejarah hidupnya!" Secara tidak langsung, Givan seolah merendahkan adik iparnya itu.
Tanpa disangka, istri Ghifar maju satu langkah. "Dalam ucapan kau sendiri, kau seolah menunjukkan bagaimana b*j*ng*nnya diri kau sendiri, Van! Aku tak yakin Canda bangga bisa kau persunting," tuturnya lirih, tapi begitu tajam.
"Udah jangan diladeni! Kalian tau gimana Abang kau itu." Adinda muncul, dengan menggendong anak yang baru lahir satu bulan yang lalu tersebut.
"Tak apa kah dibawa pulang malam, Mah?" Wanita bertutur halus tersebut, mengambil alih anaknya.
"Tak apa. Bismillah aja." Adinda mengusap-usap pundak menantunya.
Kemudian, ia berjalan mendekati Ghifar yang masih dicekal bagian lehernya itu. "Jangan hiraukan Abang kau. Jangan terlalu berpikir buruk, ingat kesehatan kau." Adinda menepuk-nepuk dada bidang anaknya dengan pelan.
"Tapi, Mah. Canda kan...," ucapan Ghifar terpangkas.
"Tenang, ada Mamah. Ingat batasan kau," potong Adinda, dengan menyentuh tangan suaminya. Agar suaminya melepaskan tekanannya pada leher anaknya tersebut.
Sudah banyak yang dibahas antara Ghifar dan Canda, istri Ghifar tidak mempersalahkan suaminya yang memberatkan kakak iparnya tersebut. Bukan karena cinta, istri Ghifar paham bahwa traumatis suaminya akan terkendali jika mantan pacarnya itu aman dalam jangkauan matanya. Ia meyakini suaminya tahu batasannya.
"Bawa Givan masuk, Dek!" pinta Adi pada istrinya.
"Ya, Bang." Adinda mendekati anak sulungnya. Kemudian, Givan ditarik untuk berpindah ke ruang keluarga. Di mana tamu yang kehujanan tersebut, tengah duduk meringkuk di salah satu sofa.
Tubuhnya masih menggigil hebat dengan suhu badannya yang panas, karena ia diguyur hujan dengan kondisi fisik yang lemah.
Ghifar digiring keluar rumah dengan istrinya, sedangkan Givan yang tegang melihat mantan kekasihnya itu. Di usia senjanya, orang tua tersebut kembali dipusingkan dengan masalah anak-anak mereka.
"Mamah kira, kau benar-benar udah insyaf." Adinda menarik anak sulungnya untuk duduk bersama di seberang sofa yang Ai duduki.
Givan menatap tajam Ai, tanpa memperdulikan ucapan ibunya itu. Bunyi kunci rumah yang diputar, disusul dengan Adi yang ikut menimbrungi panasnya sofa ruang keluarganya ini. Ia sengaja mengunci pintu, agar Canda atau anak dari Givan tidak tiba-tiba datang dan mengacaukan keadaan di sini.
"Van, Papah tau loh mimpi kau sama Canda. Yang katanya, pas kau umur empat puluh tahun besok, kalian udah tentram di rumah kalian tanpa pergi ke kota lain, tanpa ada kesibukan lain. Kalian pengen habiskan masa-masa kalian, yang katanya ingin menua bersama. Bakal retak mimpi kalian, kalau salah satu orang di dalamnya bertingkah seperti ini. Papah tak paham lagi, akan mimpi kau dan tindakan kau." Adi memijat pelipisnya sendiri. Tentu dalam riwayat hipertensinya, ia langsung diserang kaku leher mendengar penjelasan dari Ai sendiri.
"Pah, aku pun tak tau kenapa dia sampai ada di sini." Givan mencondongkan tubuhnya ke depan, dengan siku yang bertumpu pada pahanya.
"Tak mungkin tak tau, Ai cerita begitu rinci. Mamah mau tak percaya pun gimana, Mamah paham tabiat kau yang tak bisa berhenti kalau udah minum. Makanya Papah telpon, soalnya mau langsung dikumpulkan di sini." Adinda memperhatikan anaknya yang terlihat frustasi itu.
Givan menyugar rambutnya ke belakang. "Mamah tau sendiri, Canda lagi hamil muda." Ia menoleh ke arah ibunya. "Aku tak mungkin bikin dia curiga, dengan tiba-tiba ninggalin family time kita. Kemarin kita kecapekan dari perjalanan, baru hari ini bisa ngobrol, ngaji, sholat bareng anak-anak," terangnya jujur.
"Udah, sekarang jujur aja!" tegas Adinda cepat.
Givan menghela nafasnya, kemudian ia menatap Ai yang duduk meringkuk dengan berselimutkan kain tebal.
"Memang dia kenapa?" Telunjuk Givan mengarah pada Ai.
"Kau ngerasanya ngapain?" tanya Adi dengan menurunkan telunjuk tangan anaknya yang terarah pada Ai tadi.
Menunjuk dengan jarak dekat, terlihat begitu tidak sopan.
Givan mengedikan bahunya. "Tak ngapa-ngapain kok!" kelaknya kemudian.
"Ish! Tak jujur aja tuh!" Adinda semakin menyudutkan anaknya.
Givan tidak mengerti lagi, dengan konsep penuduhan di sini. Ia diminta mengakui apa, dirinya tidak paham sama sekali.
"Masalah minuman keras?" Givan memandang dua orang tuanya bergantian.
Tidak ada yang menjawab, Adi dan Adinda hanya saling memandang saja.
"Memang aku ada minum beberapa kali. Tapi masih kontrol, masih bisa balik ke kamar Canda. Aku tak lepas kontrol, masa sama Nadya dulu. Aku masih bisa jalan dan tak buram mata juga, bahkan bawa Canda ke rumah sakit karena diare," jelas Givan kemudian.
"Canda diare?" Adi terlihat kaget, ia langsung bangkit dari duduknya.
Givan mengangguk. "Iya, dia makan bakso mercon dan ditambah sambal lagi. Tak lama, dia langsung diare. Langsung lah dia nangis-nangis nelpon aku. Pas aku sampai kamar, dia udah pucat. Udah aja langsung bawa ke rumah sakit, daripada beli obat di apotek," ungkap Givan meringkas.
Senyap, membuat Givan dirundung kebingungan.
"Memang ada apa sih?" tanyanya kembali.
"Berapa kali kau ketemu Ai?" Adi malah melempar pertanyaan, yang menjadi kebingungan Givan.
Sedangkan Ai, ia hanya diam dengan tubuhnya yang masih reflek bergetar itu. Ia merasa dirinya tidak baik-baik saja, karena diguyur hujan lebat berangin tersebut.
Givan terlihat tengah mengingat kembali. "Ketemu sih sering, kek jumpa di lobi hotel, atau di lift. Tapi aku juga beberapa kali hindari dia, kek kalau dia nunggu lift. Aku dari jauh udah liat, aku beralih ke tangga darurat. Soalnya tangannya tak sopan, dia main pegang-pegang tangan aku aja." Givan menunjuk Ai dengan dagunya.
Sontak, pengakuan Givan tersebut membuat Ai kaget. Ternyata, Givan benar-benar tidak suka jika ia menyentuhnya. Lalu apa, saat di ruangan VVIP itu? Ai enggan untuk mengutarakan pertanyaan sensitifnya. Ia hanya diam, mencoba bersabar menunggu cerita dari Givan sendiri. Karena, kedua orang tua Givan pun memberi wejangan pada Ai. Agar dirinya tidak dulu menyela ucapan Givan saat bercerita. Agar mereka bisa tahu, di mana letak kebenarannya.
"Dalam satu ruangan gitu, apa pernah?" tanya Adinda, dengan membuat simbol kotak dengan tangannya, saat mengucapkan kata ruangan.
Givan menoleh ke arah ibunya. Dalam benaknya, pertanyaan langsung bermunculan. Apa ibunya menanyakan tentang kamar rahasia itu? Atau, tentang minuman keras dan teman-temannya yang menyewa Ai untuk bernyanyi?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
nah Lo .....Yayah.....mungkin ai hamil tp bukan anak givan ai salah paham karna si mabok berat
2022-07-22
1
Salwati Bilqis
knp gk up???
2022-07-18
2
Nirwana Fabil
kok belum up kak Nisa?
🤗🤗
2022-07-18
2