"Terus kau berharap, Mamah bakal setuju dengan rencana kau itu?" sangkak Adinda dengan melirik malas anak sulungnya.
"Yang paling adil menurut Papah, baiknya kau bilang terus terang ke istri kau. Papah pengalaman main sembunyi-sembunyian, kasian authornya pusing mikirin kebohongan Papah yang harus terus disusun untuk menutupi kebohongan lainnya," timpal Adi mencoba menengahi akan rencana bodoh Givan.
"Terus aku gimana, Pah? Mah?" Ai begitu memelas di sini.
"Ya nanti kita kasih kau tempat, tapi tak di rumah ini. Kita coba jaga perasaan menantu kita, dari akibat yang tak pernah kau pertimbangkan itu," celetuk Adinda menyinggung pemikiran Ai.
Jadi, perempuan yang konyol sejak kesan pertama kali bertemu itu. Akan tetap menjadi sanjungan mamah dan papah mantan kekasihnya. Ai tidak menyangka, bahwa dirinya memang sudah seperti orang lain untuk keluarga ini.
"Kenapa tak minta dia pulang aja? Aku pasti kirim uang, untuk angkat derajat anaknya. Tapi pasti tuh, ibunya yang menikmati," sindir Givan tajam.
"Bukan menyalahkan kau, menuduh kau, atau menganggap kau seburuk itu. Tapi gini loh, Ai. Kau kan kerja begitu, resiko ditawar laki-laki itu pasti ada. Nah kenapa, pas Givan nawar kau langsung deal. Terus juga, apa kau tak mempersiapkan kemungkinan buruk yang terjadi seperti keadaan kau hari ini. Minimalnya, k****m lah. Atau setelah melakukan nya, kau minum penawar agar tidak hamil. Papah ngerasa, kau dapat tawaran dari Givan itu kek kesempatan buat kau. Andai aja kan, kalau kau nolak, tak ada kejadian kau ngandung tak jelas begini." Adi berkata perlahan dan mencoba sehalus mungkin, agar perasaan anak muda tersebut tidak tergores dengan ucapannya.
"Sepemikiran, Bang. Kek ada udang di balik batu, kesannya kau jadikan kehamilan ini senjata," tambah Adinda dengan pandangan mengintimidasi.
Ai langsung tertunduk, ia khawatir rencana yang ditutupi dengan drama kesalahan Givan ini terbaca. Jika jujur, itu adalah hal yang tidak mungkin. Karena pasti, rasa iba mereka padanya akan luntur seketika.
"Memang dia niat hancurin rumah tangga aku, Mah. Dia sampai kaget, masa aku bilang aku sama Canda udah punya enam anak," imbuh Givan yang semakin membuat Ai tersudut.
Ai tengah menyusun makna yang lebih menyakitkan untuk dirinya, agar mereka tidak lagi berpikiran seperti itu.
"Aku terdesak ekonomi, Mah. Aku percaya sama Aa, karena dari dulu pun dia selalu main aman. Aku tak nyangka aja, kalau bakal kejadian begini." Ia hanya mampu menunduk, agar matanya tidak terlihat seperti tengah berbohong.
"Begitukah? Givan main aman? Antara penjual dan pembeli, setau Mamah bebas aturan buang mana. Karena biasanya, penjual itu lebih tau resikonya. Contohnya penjual makanan, resiko basi itu yang paling utama. Penjual pakaian, resiko barang diacak-acak pembeli itu pasti ada. Kau seolah-olah memang ingin ngandung anak Givan." Percakapan ini tidak lagi dengan suara keras. Namun, dengan seperti ini malah membuat Ai merinding.
"Di situ ada penawaran harga, ada akad jual beli. Harusnya, kau kasih tau aturan main untuk Givan kalau memang kau tak ingin hamil. Lepas dari itu anak siapa, kau ingin kan kalau Givan balik sama kau?" urai Adi kemudian.
Skakmat.
Ai kesulitan mencari alasan lagi. Ia berpikir, bahwa mengiba saja cukup. Ternyata, diperlukan persiapan ekstra untuk mengamankan posisi dirinya.
"Memang udah niat dia begitu. Tuh kan, tak bisa ngomong lagi," sindir Givan, membuat Ai langsung meluruskan pandangannya pada laki-laki tersebut.
"Dalam bisnis Aa. Apa Aa bakal mempertimbangkan semua resikonya, ketika Aa dapat tawaran besar yang mampu lunasin hutang-hutang perusahaan? Aku rasa, Aa pun bakal main terima aja kan? Tak beda jauh dalam posisi aku masa itu, utang-utang aku tertutupi dengan bayaran dari Aa." Ia mampu terselamatkan dengan alasan yang masuk akal tersebut.
Saat-saat terdesak seperti itu, rangkaian kata itu muncul begitu saja tanpa terduga. Ai menarik napas lega, karena tiga orang tersebut diam menerima jawabannya.
"Tetap sih, Ai. Setelahnya, kau bisa beli pil KB dadakan. Kalau udah melakukan hubungan tanpa kesadaran penuh, biasanya hati perempuan itu tak tenang. Dengan sendirinya, pasti tergerak untuk mencari pencegahannya." Adinda masih belum sepenuhnya percaya dengan pengakuan Ai.
Karena begitu mencurigakan menurutnya. Apalagi, sampai ia nekat mencari Givan ke Aceh.
"Aku percaya sama Aa, Mah. Aku pikir, ya dia tetap pakai cara aman." Ai tidak menemukan jawaban yang lebih baik.
"Besok pokoknya Ai udah tak di rumah ya, Mah? Setidaknya, untuk sementara waktu aja. Karena kandungan Canda masih rentan. Aku tak mau Canda kenapa-kenapa." Givan melobi orang tua untuk menutupi tentang hal ini pada Canda.
"Langkah selanjutnya kau mau gimana, Van?" tanya Adi dengan memperhatikan anak tirinya yang gelisah dalam duduknya tersebut.
"Aku bingung. Aku tak merasa, Pah. Aku yakin, itu bukan anak aku. Diminta tanggung jawab yang kek gimana memang aku ini?" Givan menepuk-nepuk pahanya sendiri.
"Aa cukup nikahi aku."
Tiga kepala orang dewasa itu, langsung menghadap cepat pada Ai.
"Kan Mamah udah bilang, Mamah bakal ngutamain menantu Mamah," tegas Adinda cepat. Ia seolah tak ingin siapapun mendahului ucapannya.
"Terus aku gimana, Mah? Mamah bilang untuk A Givan yang bisa memanusiakan manusia. Aku malu hamil tanpa suami." Permintaan Ai terdengar memaksa.
"Terus kau berpikir minta tanggung jawab dengan cara menikahi kau begitu, Ai?!" sergah Givan tidak terkontrol.
"Itu bukan jalan keluar, Ai. Itu bukan anak Givan. Lagian untuk apa menikah juga, anak itu tetap ikut nasab kau. Tanggung jawab, bisa dengan hal lain. Coba ingin kau apa selain pernikahan?" Adinda teringat kisah anak tirinya juga yang mengandung tanpa figur suami.
"Penjara lah itu, Dek. Kau bisa balik ke tempat kau juga, Ai," usul Adi yang menurutnya paling tepat.
"Pah, aku tak keberatan dipenjara kalau masalah ini selesai. Tapi gimana dengan sebelas usaha aku, pasti akan goyah tanpa pimpinan." Givan berencana tahun depan vakum berpindah kota, tapi dirinya tetap mengontrol usahanya.
Sangat menarik perhatian Ai, saat perkataan Givan diucapkan dengan lantang tadi. Sebelas perusahaan, ia akan mendapatkan titik nyamannya untuk hidup.
"Siri pun tak apa, A. Yang penting aku tak nanggung malu." Ai masih mengusahakan agar dirinya mendapati posisi sebagai istri Givan.
"Jangan gila, Ai! Aku tak mungkin geser posisi Canda dengan siapapun. Dia lebih layak untuk dijadikan panutan. Dia tak ada kurang-kurangnya."
Tak ada yang lebih menyakitkan menurut Ai, ketimbang dirinya direndahkan secara tidak langsung. Apalagi, Givan sampai membandingkannya dengan perempuan lain.
Ia jelas merasa jauh lebih layak untuk menemani Givan, karena kebahagiaan mereka sempat terjeda karena kehadiran Canda yang merubah segalanya. Ai berpikir demikian, karena mulai hari ini ia menganggap Canda adalah saingan terbesarnya.
Egonya menguasai dirinya, untuk mendapatkan laki-laki yang pernah membahagiakannya itu. Jika ia tidak bisa menggunakan dirinya sendiri untuk mengambil kembali Givan, ia berencana untuk membuat Canda meninggalkan Givan.
Ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai senjata, agar bisa membuat Canda meninggalkan Givan tanpa segan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
jahat nya niat ai.....
2022-07-22
1
liatina
yassalam ai ,untuk yg satu ini sy yakin canda gak akan pergi ninggalin givan 😁😁😁
2022-07-20
4
fitrizakiah
mamah keluarkan sgla siasatmu agar Ai tak bisa berkutik 🥺Ai blm tau siapa lawan yg berhadapan sekarang makanya dia bisa se PD itu
byak yg sayang biyung 😘😘 semangat biyung 💪
2022-07-20
4