"Ini mana yang bener?" Adinda memperhatikan wajah Ai dan Givan secara bergantian.
"Jangan saling melempar! Jujur, biar masalah ini cepat selesai," timpal Adi mencoba bijak untuk masalah anaknya.
"Terus terang aja, Van!" tegas Adinda dengan menepuk pundak anaknya.
Givan menoleh pada ibunya. Ia mendapati sorot mata ibunya yang menuntut, tapi ia ragu untuk untuk mengatakan semua niatnya dalam rangka membalaskan dendamnya pada Ai.
"Aa tega sama aku," lirih Ai terisak.
Givan memandang lurus Ai. Klise penghinaan yang Ai berikan, membenarkan tindakan yang Givan lakukan.
"Aa, aku yakin ini anak Aa." Ai kembali memberi pernyataannya untuk Givan.
"Ai, aku tak nyentuh kau." Suara Givan datar, bukan berarti emosinya terkontrol.
Ai menggeleng. "Aku yakin gak salah. Aku ingat perlakuan kasar yang sering Aa kasih dulu, itu adalah bukti gimana kasarnya Aa di malam itu."
Rahang Givan mengencang. Ia memejamkan matanya, dengan hembusan napas kasar.
"AKU TAK NYENTUH KAU, AI!!! KAU MINTA DELAPAN DIGIT, AKU BERIKAN LIMA PULUH JUTA UNTUK LIMA LAKI-LAKI ITU." Bentakan keras itu, seperti petir yang meluluhlantakkan hati Ai.
Tangisnya langsung lepas menggema, ia memeluk tubuhnya sendiri yang ternyata menjadi barang pelampiasan banyak laki-laki tersebut.
"Aku percayakan cuma sama Aa! Tidak laki-laki lain, tidak dengan orang lain juga. Aku berani privat, hanya sama Aa." Sesenggukan itu membuat kalimatnya terjeda. "Aa tega banget hancurin hidup aku." Ia menutupi wajahnya sendiri.
Harapan terbesarnya hancur bersamaan dengan harga dirinya. Mengemis cinta ternyata jauh lebih rendah, ketimbang menengadahkan tangan meminta bantuan pada orang lain. Kehadirannya beribu lipat dihakimi semua orang, karena ia mengganggu mantan kekasihnya yang sudah memiliki istri.
Sekarang apalagi yang dirinya perjuangkan? Benih dikandung badan, malah membuatnya semakin menjadi bahan cemoohan. Tendangan kecil dalam perutnya yang memberi kebahagiaan di hatinya, ternyata kehadirannya tidak diharapkan orang yang ia harapkan.
Ia berharap laki-laki yang menghancurkan masa depannya, mampu menata kebahagiannya yang lama tidak ditemukan. Ai tidak pernah merasa menyakiti laki-laki tersebut, tapi ia tidak mengerti kenapa laki-laki tersebut selalu ingin membuatnya hancur.
"Coba bilang ke aku, A! Ego Aa yang mana, yang gak aku pahami saat kita masih sama-sama? Sibuk Aa yang mana, yang gak aku ngertiin? Cerita Aa yang mana sih, yang gak aku dengerin? Kesalahan Aa yang mana, yang gak aku maafin? Tapi kenapa, berpikir seolah nasib buruk wajib berpijak di diri aku? Gak puas kah, udah buat aku diceraikan suami gara-gara keadaan aku yang udah tak virgin? Gak puas kah, nyakitin aku setiap bersentuhan kulit dengan Aa? Perlakuan kasar mana lagi yang gak aku terima, dengan alasan fantasi Aa. Aku rela tersakiti, demi menyenangkan diri Aa. Aku rela merendah, untuk mengemis cinta dari Aa. Tapi apa? Aku yang malah dijebak dan dilecehkan seperti ini?! Asal kamu tau, A!!! Kamu adalah luka terhebatku. Harusnya aku yang balas dendam ke Aa, bukan malah sebaliknya!" Emosinya terpancing dengan kesengsaraan hatinya.
"Terus? Kau sebut apa sangat pengorbanan aku kau sia-siakan?! Dari Kalimantan, aku rela nyusul kau ke Jawa Barat. Sesampainya di rumah kau, aku ditolak dan direndahkan di kaki abang kau!" Napasnya terengah-engah, dengan suara yang kian lantang. "CUMA KAU, AI! CUMA KAU PEREMPUAN YANG AKU KEJAR, CUMA KAU PEREMPUAN YANG AKU NIAT UNTUK MULIAKAN. CUMA KAU, PEREMPUAN YANG PINTA UNTUK MELANJUTKAN HUBUNGAN DENGANKU." Givan menunjuk-nunjuk Ai, dengan urat leher yang menonjol.
Bahkan, ketika dirinya meminta rujuk dengan Canda. Ia tidak sampai begitu mengemis untuk sebuah hubungan.
"AKU SAKIT HATI! AKU BENCI! AKU DENDAM DENGAN PENOLAKAN KAU! KALAU DULU, KAU ADALAH PEREMPUAN YANG TERAMAT INGIN AKU SANTET. SEKARANG, KAU ADALAH SATU-SATUNYA PEREMPUAN YANG TERAMAT INGIN AKU SANTET! KAU TAK SADAR KAH?! PENOLAKAN DARI KAU, UDAH BUAT HANCUR ARAH KEHIDUPAN AKU! KALAU AJA, MASA ITU KAU TAK NOLAK AKU, ABANG KAU TAK NGUSIR AKU DENGAN TENDANGAN. MUNGKIN...." Givan menarik napasnya lebih banyak. "Mungkin kita tak akan begini." Suaranya langsung menurun lirih. "Mungkin di hatiku tak mungkin ada dendam sebesar ini." Givan menutupi wajahnya sendiri mencoba meredam emosinya yang lepas kontrol.
"Pahami semuanya, Ai. Aku tak mungkin setega ini, kalau kau tak setega itu sama aku." Jakunnya naik turun, dengan derasnya tangis dari Ai.
"Aa harus tanggung jawab," pinta Ai begitu memperihatinkan.
"Berapa banyak yang harus kubayar? Silahkan pergi, sebelum pagi hari datang." Givan tidak ingin menghancurkan rumah tangganya sendiri dengan kehadiran mantan kekasihnya di sini.
"A...." Ai memandang Givan dengan wajah yang basah karena air mata.
"Van.... Kau keterlaluan. Jual beli tersebut, di luar pernjanjian. Kau jebak dia, kau tipu dia, kau pun melecehkan dia. Akad jual beli hanya untuk satu laki-laki, cuma kau aja. Bukan untuk lima laki-laki, yang kau pinta untuk memperdaya Ai. Ini udah kriminal, Van. Satu laki-laki kek kau, bisa hancur ribuan perempuan di dunia ini. Kau harus ikut proses, kalau kau tak mau bertanggung jawab atas anak itu."
Givan tidak percaya dengan ucapan ibunya. Bagaimana bisa, ia akan diproses ibunya sendiri untuk seorang perempuan bayaran seperti Ai?
"Mamah tak percaya dengan ucapan aku? Aku udah bilang, ini bukan anak aku." Givan menunjuk perut Ai.
"Bukan masalah anak. Kau pahami persoalan yang ada! Kau yang menciptakan kegaduhan ini. Pilihannya hanya dua, kau diproses secara hukum, dengan begitu kau lepas dari tanggung jawab atas anak tersebut. Atau, kau angkat derajat anak tersebut. Karena dia ada di dunia ini, karena keinginan kau yang ingin ibunya hancur. Ini lepas dari status kau yang anak mamah, lepas dari dendam dan sakit hati kau, atau tentang hubungan rahasia kalian yang tak terungkap. Kau anak manusia, Van! Bisakah kau memanusiakan manusia?" Getir bercampur lara, saat Adinda harus mengatakan hal demikian.
Mau bagaimana lagi, ia benar-benar tak ingin jika cucu-cucunya mendapat karma setimpal. Jika ayah dari mereka, berlaku tidak adil pada sesamanya.
"Dek, ingat Canda. Dia lagi ngandung." Adi menekan suaranya.
"Aku tau." Adinda mengangguk beberapa kali. "Canda tetap jadi anak kita, menantu kita, istri Givan juga. Ini jalan keluar untuk Ai dan Givan, tidak menyangkut Canda di sini. Jangan khawatir, Bang. Meski tak ada rasa kasih dari suaminya, aku bakal penuhi itu untuk Canda." Adinda beralih menatap anaknya. "Kau yang ingin istri kau sakit, Van. Bersiap untuk ini semua!" Begitu sakit saat Adinda mengatakan hal itu.
Givan tertunduk. Bayangan raungan dan tuduhan dari istrinya mengumpul di pelupuk matanya. Mata terpejam istrinya saat berada di ruangan yang begitu dingin, menambah miris klise masa setelah hari ini. Givan yakin, dirinya akan perlahan hancur dengan kehancuran hati istrinya.
Namun, secuil ide muncul begitu saja.
"Gimana kalau Ai aku sembunyikan, Mah? Pah? Aku tau, cepat atau lambat Canda pasti tau. Tapi, aku tak bisa bayangin kolapsnya dia di ruang operasi. Karena ia mengandung, dengan beban pikiran yang suaminya berikan ini," lontaran itu keluar dari mulut Givan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Red Velvet
Mamah zaman udah canggih nanti tes DNa kalau masih ragu Givan berbohong.
2022-07-19
1
Red Velvet
Tetap posisinya Ai yg salah, wo g udh dibeli kan. Seandainya betul malam itu dia sama Givan dgn posisi Givan yg membayar rasanya gak etis kalau Ai hamil minta tanggung jawab😂. Kalau begini hati2 aja kaum lelaki kalau mau jajan udh bayar kan malah dimintain tanggung jawab lagi🤦🏻♀️
2022-07-19
2
Edelweiss🍀
Untuk kali ini aku gak setuju sama mamah, aku ingat kasusnya Naya yg diungsikan karena pacarnya gak mau tanggung jawab. Untuk kasus Ai ini seharusnya dibantu sampai lahiran saja selepasnya Ai kalau mau cari sendiri ayah biologis anaknya antara 5 org itu. Jgn disangkut pautkan sama Givan lagi. lagipula jual beli mereka haram juga pun untuk apa dipertanggung jawabkan.
2022-07-19
3