Ruangan hening terasa begitu mencekam bagi Jiyo. Sudah hampir setengah jam dia berdiri di ruangan itu. Tapi Darren, dia tidak sedikitpun bersuara ataupun menatap Jiyo.
"Ekhm..." Jiyo berdehem, mencoba menarik Darren melihatnya.
Apakah dia sedang menghukumku? Dia sengaja membuatku berdiri disini.
Jiyo menarik nafasnya. Dia benar-benar tidak sabar lagi dengan perilaku Darren ini. Kakinya sudah sangat lelah berdiri sejak tadi. Persetan jika ini sudah jam kantor.
"Maaf, tuan. Bisakah aku duduk? Aku sudah berdiri sejak tadi." Ucap Jiyo.
"Tidak!"
Jiyo menghela nafasnya. Darren sungguh tega memperlakukannya seperti itu.
"Ayolah, Ren! Aku nggak tahu kesalahanku dimana. Kenapa kau seolah sedang menghukumku sekarang?" Hilang sudah panggilan tuan dari mulut Jiyo. Dia benar-benar tidak tahan lagi.
"Siapa lagi yang bersamamu di cafe itu selain Asya?"
Jiyo memutar bola matanya. Sekarang ia tahu, penyebab ia berdiri selama itu di hadapan Darren.
Ternyata kau sedang cemburu. Cih! Menyebalkan sekali. Batin Jiyo.
"Kau sedang memakiku?" Pertanyaan Darren membuat Jiyo membulatkan matanya. Dia langsung mengangkat tangannya sambil melambaikannya ke arah Darren.
"Tidak-tidak!" Ujarnya dengan panik. "Tidak ada yang lain selain aku dan Asya, juga pengunjung cafe."
Mata Darren menatapnya. Membuatnya meneguk ludah.
Benarkan yang ku katakan? Apa aku salah menyebutkan pengunjung cafe? Mereka benar-benar ada disana. Batin Jiyo.
"Kalau begitu, kau berdiri saja sampai waktu bertemu klien tiba." Ucap Darren tanpa belas kasih.
Hah? Apa dia gila? Butuh waktu dua jam lagi untuk menemui klien. Apa aku harus berdiri selama itu?
"Darren! Apa kau sedang cemburu?"
"Tutup mulutmu! Aku tidak cemburu."
Ck. Susah kalau berbicara dengan orang yang tidak paham dengan perasaannya sendiri.
Satu jam berlalu. Jiyo bernafas lega saat Darren menyuruhnya duduk. Ia dengan cepat menyandarkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Kau benar-benar, Darren! Kakiku sampai gemetaran." Gumam Jiyo, pelan. Laki-laki itu menatap kakinya.
Darren hanya acuh mendengar gumaman Jiyo. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi yang didudukinya.
Jika bukan atasanku, sudah ku pukul kepalamu itu. Batin Jiyo.
***
Darren bersama Jiyo berjalan memasuki hotel ER sesuai dengan janjinya bersama klien. Seorang gadis cantik langsung menghampiri Darren dan Jiyo saat kedua orang itu berada di lobi hotel.
"Selamat datang, tuan." Ujarnya, sambil membungkukkan sedikit badannya. Pakaiannya yang agak terbuka membuat bagian dadanya sedikit terlihat.
Cih. Apa dia sedang berusaha menggoda Darren? Gumam Jiyo dalam hati.
"Terima kasih atas sabutannya, nona." Ucap Jiyo, menunjukkan senyumnya. Sementara Darren, aura dinginnya semakin dingin saat menghadapi perempuan tersebut.
"Perkenalkan tuan, saya Rina, sekretaris tuan Wisnu." Sekretaris itu mengulurkan tangannya.
"Tunjukkan tempatnya!" Suara Darren yang dingin itu membuat Rina menurunkan tangannya dan cemberut. Namun, ia segera mengubah mimik wajahnya menjadi tersenyum.
"Mari, tuan! Ikut saya."
Sial! Tidak pernah ada yang menolak pesonaku saat aku merayu. Tapi, tuan Darren ini benar-benar seperti rumor yang beredar. Tidak tersentuh sama sekali oleh wanita.
Jiyo yang berjalan di samping Darren mengulum senyum. Ia begitu senang melihat ekspresi sekretaris tuan Wisnu itu. Sungguh Darren memang pandai membungkam wanita yang mendekatinya.
Setelah lift berhenti, Rina bersama Darren dan Jiyo keluar dan langsung menuju kamar yang ditunjuk Rina.
"Silakan masuk tuan, sekretaris Jiyo. Tuan Wisnu sudah menunggu."
Darren dan Jiyo masuk dan langsung disambut oleh klien mereka, Wisnu. Dia seorang lelaki paruh baya. Pembawaannya begitu berkarisma. Menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang baik dan bertanggung jawab. Tapi, saat melihat Darren, dia dengan susah meneguk ludahnya. Aura kepemimpinan pemuda di depannya itu begitu kuat. Membuatnya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan Darren.
Mereka memulai membicarakan tentang kerja sama mereka yang akan berlangsung beberapa bulan lagi. Darren hanya menanggapi beberapa kata dari Wisnu. Selainnya, ia memilih untuk mendengarkan penjelasan Wisnu. Tapi, saat Rina angkat bicara, ekspresinya langsung berubah tak suka.
Wisnu yang memperhatikannya bisa merasakan ketidaksukaan Darren pada sekretaris barunya yang baru bekerja sebulan ini.
Setelah semuanya selesai dibicarakan, Darren dan Jiyo berpamit pulang.
"Terima kasih tuan Darren, atas kepercayaan anda pada perusahaan kami."
"Ya. Semoga semuanya berjalan lancar." Ujar Darren, membalas uluran tangan orang tua itu. Setelah melepaskannya, ia kembali berucap. "Lain kali, jangan bawa sekretarismu itu."
Wajah Wisnu langsung memucat. Darren mengatakannya dengan wajah dingin menyeramkan. Untung saja dia tidak membatalkan kerja sama mereka. Jika itu terjadi, dia tidak tahu bagaimana menghadapi masalah itu.
Jiyo menatap ke arah Rina yang menunduk. Ia tersenyum sinis. Kemudian, ia menatap Wisnu yang masih menatap Darren yang berjalan terlebih dulu dengan wajah pucatnya.
"Tuan sedang dalam suasana hati tidak baik hari ini. Tapi, keberuntungan sedang berpihak padamu. Dia sudah berusaha menggoda tuan dari awal bertemu tadi. Jika anda tidak ingin perusahaan anda terancam, hilangkan saja orang sepertinya dari perusahaanmu." Ujar Jiyo. Laki-laki itu sedikit membungkukan badannya pada Wisnu, lalu berpamit pergi.
***
Darren menatap mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Dia mengenali dua mobil itu. Sudah cukup lama sejak ia pulang, mereka tidak pernah berkunjung.
Darren mendorong pelan pintu rumahnya. Saat ia memasuki ruang keluarga, dua orang anak laki-laki berusia 12 tahun dan 9 tahun, dan seorang gadis kecil berusia 3 tahun berlari ke arahnya.
"Kak Darreeeen...!!" Teriak mereka bersamaan. Namun, suara gadis kecil itu tenggelam oleh suara kedua anak laki-laki tersebut.
Wajah dingin Darren perlahan melembut. Tangannya meraih gadis kecil itu dalam gendongannya. Ia lalu mengusap kepala kedua anak lelaki itu.
"Kak Dallen kelja?" Tanya gadis kecil itu. Namanya Lala, anak kedua Gio dan Ana.
"Ya." Balas Darren. Mendengar Lala yang tidak bisa menyebut huruf R, membuatnya ingat pada Darrel saat kecil dulu.
"Kak Darren pasti lelah sepulang kerja. Biar aku pijatkan." Ucap anak laki-laki berusia 12 tahun. Dia Dafa, anak pertama Gio dan Ana.
"Aku juga mau memijat Kak Darren." Sambung anak yang berusia 9 tahun. Roy, putra Viko dan Vera.
"Ayo, kita duduk dulu." Darren mengajak mereka bergabung dengan yang lainnya. Di sofa, sudah duduk kedua orang tuanya, kedua pamannya beserta istri masing-masing dan juga adik cantiknya, Alisha.
Darren duduk sembari memangku Lala. Sementara Dafa dan Roy berada di kedua sisinya.
"Kak, aku pijatin, ya?" Ucap Dafa.
"Aku juga." Timpal Roy. Kedua anak itu memijat Darren tanpa menunggu persetujuannya. Semua menahan senyum. Mereka tahu, bagaimana Darren. Jika bukan adik-adiknya, sudah pasti ia akan begitu marah saat mereka melakukan sesuatu, terutama berkaitan dengan fisiknya tanpa persetujuannya.
"Darren, perlu kamu tahu. Kedua bocah itu sedang merayumu. Mereka ingin menagih janjimu." Ujar Gio. Tangannya lalu terulur, menyuruh Lala mendekat.
"Sini, sayang, sama Ayah! Kasian Kak Darren, capek pulang kerja."
Lala bergegas turun dari pangkuan Darren, dan langsung menuju Ayahnya. Darren menatap Dafa dan Roy yang menyengir ke arahnya. Meskipun Darren melembut, kesan dinginnya masih begitu terasa. Tapi, Dafa maupun Roy tak merasa takut sedikitpun.
"Apa janji Kakak?" Darren bertanya langsung pada intinya.
"Kakak bilang akan membelikanku sepeda. Aku sudah menemukan sepeda yang cocok untukku." Ucap Dafa.
"Aku juga, Kak. Kakak bilang akan membelikanku vidio game terbaru."
"Ya, besok akan Kakak suruh orang membawakannya untuk kalian."
"Terima kasih, Kak." Ucap kedua anak itu bersamaan.
"Paman dengar, Asya sudah kembali. Bagaimana keadaannya?" Tanya Viko, membuat Darren beralih menatapnya. Di sisi Viko, ada Vera. Wanita itu menyentuh pelan lengan suaminya. Dia tahu, pertanyaan Viko akan berakhir dengan menggoda Darren. Jujur saja, Darren yang kesal, membuatnya gemetaran melihat wajah dingin anak itu.
"Dia baik."
"Apakah dia semakin cantik?" Tambah Gio.
"Sudah pasti dia semakin cantik. Iyakan, Darren?" Timpal Ana.
Vera hanya bisa menarik nafasnya. Kedua Kakak iparnya dan suaminya, jika soal menggoda Darren, mereka sangat kompak.
"Sayang, Kakak. Berhentilah menggoda Darren. Biarkan dia istirahat." Ucap Vera.
"Tidak masalah, aunty. Asya memang semakin cantik." Aku Darren. Ucapannya membuat semua orang tersenyum. Kecuali si Lala. Anak itu sibuk memainkan kancing baju Gio.
"Kalau begitu, kapan kalian akan resmi menjadi pasangan kekasih?" Pertanyaan Gio membuat ruangan itu menjadi hening. Semua terdiam menunggu apa yang akan Darren katakan.
"Dia hanya sahabatku tidak ada perasaan lebih." Ucapnya, lalu bergegas menuju kamarnya.
"Huuhh... Itu yang aku khawatirkan." Ucap Gara pelan.
"Dia hanya belum menyadari perasaannya." Ucap Gio.
"Ya. Suatu saat nanti, dia akan menyadarinya. Lagipula, dia masih begitu muda." Timpal Viko.
"Bukan Darren yang aku khawatirkan. Tapi, Asya."
Gio dan Viko terdiam. Ucapan Gara benar. Yang paling terluka di situasi seperti ini adalah Asya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
🤩😘wiexelsvan😘🤩
hadeccchhh ternyata bang darren juga blm bs menyadari perasaan cinta nya sendiri,,,dasar bang darren cwo kulkas 10 pintu,,,sini q bantuin buka pintunya satu" biar meleleh isi hatimu bang 😍😍😘😘
2023-02-18
2
Wislan Thu Wislan
huuuh dsar si Daren nggak da pekanya?
2022-07-22
1
Evelyn
dasar Darren gak sadar perasaan sendiri
2022-07-17
2