Alisha dan Darren berjalan memasuki rumah bersamaan. Wajah gadis kecil itu tersenyum senang. Benar yang dikatakan Darrel. Kakinya yang terkilir sudah sembuh setelah di urut Bu Arsi.
"Ibu," Alisha langsung memeluk dan mencium Ibunya.
Alula juga balas memeluk dan menciumnya. "Ayo, cuci tangan dan makan."
"Ibu belum makan sejak tadi?"
"Ibu belum lapar. Ayo! Darren, ayo nak!"
Alula, Darren dan Alisha bergegas ke ruang makan. Makanan yang dimasaknya tadi sudah dipanaskan kembali.
Mereka menarik kursi masing-masing lalu duduk. Wajah Alisha berseri-seri melihat makanan yang terhidang di meja. Semuanya terlihat enak. Ia tiba-tiba mengingat sesuatu.
"Kak, mana pesananku?" Ia melihat ke arah Darren yang sudah menyendokkan nasi ke piringnya.
"Ada." Jawab Darren.
"Ibu menyimpannya. Makanlah dulu." Alula menyendokkan lauk ke piring Alisha. Gadis itu mengangguk dan mulai memakan makanannya.
Gara yang baru saja pulang dari kantor, mengernyitkan keningnya. Rumahnya seperti tak berpenghuni. Ia berjalan ke arah ruang makan. Dan benar saja, istri dan kedua anaknya sedang menyantap makanan mereka.
"Oohh... Jadi, aku tidak disambut hanya karena dua penjahat ini?" Gara berdiri sembari melipat tangannya di dada.
Alula dan Alisha menoleh ke sumber suara. Sementara Darren, dia tetap fokus pada makanannya.
"Ayah, ayo gabung." Gara tersenyum. Ia tak menolak permintaan putrinya. Ia mendekat, mengecup kening Alula dan Alisha.
Matanya melirik Darren yang tidak bersuara sejak tadi. "Kamu lapar, atau sedang mengabaikan Ayah, Darren?" Tanyanya, tanpa memutuskan pandangannya dari Darren.
"Dua-duanya, Yah." Jawab Darren, acuh. Membuat Gara berdecak sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kalian makan siang jam segini?"
"Alisha sama Kakak ada sedikit urusan saat pulang sekolah tadi. Jadi, agak telat sampai rumahnya."
Gara mengangguk, lalu mengusap pelan kepala Alisha. "Baiklah. Habiskan makananmu. Setelah ini, istirahat."
"Oke, Yah."
***
Beberapa hari berlalu. Besok adalah hari dimana Asya akan kembali. Darren sudah mendapatkan informasi tibanya pesawat yang digunakan Asya nanti.
Jiyo yang mendapat panggilan dari Darren melalui telponnya segera menuju ruangan Darren.
"Tuan muda," Sapanya sembari menundukkan kepalanya pada Darren.
"Batalkan semua urusanku setelah makan siang besok." Perintahnya dengan mata yang fokus pada layar laptop.
"Tapi, besok..." Ucapan Jiyo terhenti oleh tatapan tajam Darren. Lelaki itu meneguk ludahnya.
"Baiklah. Aku akan melakukannya." Jawabnya. Ia menatap Darren. Tiba-tiba, rasa ingin tahu kenapa Darren membatalkan semua kegiatannya setelah makan siang besok.
"Ekhm." Jiyo pura-pura berdehem. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu membatalkan semua kegiatan setelah makan siang besok? Apa kamu akan mengunjungi Asya lagi?"
"Asya kembali." Jawab Darren seadanya. Bagaimana pun, Jiyo juga sahabat Asya. Dia juga berhak tahu.
"Apa? Asya kembali? Kenapa dia tidak memberitahuku? Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku akan menelponnya." Jiyo mengeluarkan handphonenya ingin menelpon Asya. Namun, gerak tangannya terhenti saat ia merasakan hawa-hawa tak bersahabat di ruangan itu.
Jiyo menatap Darren. Benar saja. Lelaki itu sedang menatapnya dengan tatapan tak bersahabat. Membuat tenggorokannya terasa kering dan sulit untuk menelan salivanya.
"A-aku tidak akan menelponnya. Aku keluar dulu." Jiyo kembali menundukkan kepalanya pada Darren, lalu dengan cepat berjalan keluar dari ruangan itu.
Jiyo menarik nafasnya saat tiba di ruangannya. Ia duduk di kursi dan mengeluarkan handphonenya. Ia akan menelpon Darrel.
"Hallo," Suara serak terdengar saat panggilan tersambung.
Jiyo sedikit mengernyitkan keningnya. "Kau baru bangun?"
"Bukan urusanmu!"
"Ck. Kau ini." Decak Jiyo. "Ku dengar, Asya akan kembali besok."
"Hmm."
"Dia tidak memberitahuku."
"Ck. Jangankan kau, Darren saja tidak diberitahunya. Bahkan Paman Edo ataupun tante Irene juga tidak. Dia ingin membuat kejutan."
"Kalau begitu, bagaimana Darren bisa tahu?"
"Aku yang memberitahunya. Aku memberitahu Paman dan tente juga. Aku meminta mereka merahasiakannya agar Asya senang. Hanya Darren yang tidak."
"Kenapa?"
"Ck. Kau ini, banyk tanya sekali."
"Ayolah, beritahu aku alasannya."
"Ck. Asya datang bersama seseorang. Jadi, aku membiarkan Darren menjemputnya. Ya, walaupun aku melarangnya, Darren pasti akan tetap menjemput."
"Siapa? Perempuan atau laki-laki?"
"Perempuan."
"Asiiikk, bis..."
"Ku peringatkan! Jangan coba-coba bersikap lembut padanya."
"Kenapa?"
"Aku rasa, dia bukan teman yang baik buat Asya."
"Baiklah. Jangan khawatir."
"Ya sudah. Kembalilah bekerja."
"Aku..." Panggilan terputus membuat ucapan Jiyo menggantung. Dia dengan kesal meletakkan ponselnya di meja.
"Kalian berdua memang bersaudara. Sama-sama ngeselin." Gerutunya.
***
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Jiyo sudah melakukan tugasnya untuk membatalkan semua jadwal Darren setelah makan siang. Tapi, dia sedikit kesal saat Darren masih memberinya pekerjaan yang otomatis menghalanginya untuk ikut menjemput Asya.
Jiyo duduk di kursinya dengan setumpuk dokumen diatas meja yang harus di periksanya.
"Darren benar-benar menyiksaku kali ini." Gumamnya sembari meraih sebuah dokumen.
Sementara Darren, lelaki itu melajukan mobilnya menuju bandara. Setelah beberapa menit, ia pun tiba. Darren memperhatikan jam nya. Sesuai jadwal, pesawat yang di tumpangi Asya akan mendarat 10 menit lagi.
Darren berdiam diri dalam mobilnya. Setelah pesawat benar-benar landing dan penumpangnya turun, Darren keluar mobil dan berjalan menuju lobi. Kacamata hitam yang membingkai wajahnya, menambah ketampanannya. Namun, tak bisa menghilangkan aura dingin dan mendominasinya.
Setiap langkahnya, menarik banyak pasang mata untuk memperhatikannya.
Asya bersama Naomi menyeret koper masing-masing sembari menyusri lobi. Langkah Asya tiba-tiba terhenti. Tatapannya jatuh pada seorang laki-laki bertubuh tegap yang berdiri di depan sana, tak begitu jauh darinya. Tubuhnya menegang sesaat. Meski ada bagian wajahnya yang terhalang kacamata, ia masih mampu mengenalnya dengan baik.
"Darren?" Gumamnya. Membuat Naomi yang juga berhenti dan menatapnya heran, menolehkan kepalanya ke objek yang Asya tatap.
"Asy..." Ucapan Naomi terhenti oleh Asya yang tiba-tiba berjalan meninggalkannya. Ia merasa kesal. Namun, segera ia sembunyikan perasaannya itu dan mengekori Asya.
Asya semakin mempercepat langkahnya saat Darren terlihat begitu dekat. Ia melepaskan kopernya dan menumbruk tubuh lelaki itu. Asya memeluk Darren dengan erat. Begitupun Darren, ia membalasnya tak kalah erat.
"Aku merindukan mu." Ujar Asya. Darren tak membalasnya. Dia tetap diam tanpa melonggarkan pelukannya.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Darren membuat Asya merasa tak enak. Ia hendak melepaskan pelukannya, namun Darren semakin memeluknya erat.
"Aku tahu, kamu pasti marah. Aku nggak ada maksud buat gak kasi tahu kamu. Aku hanya mau beri ke..."
"Aku nggak marah." Ucap Darren langsung memotongnya.
Asya tersenyum dalam pelukan Darren. Sementara di belakangnya, Naomi berdiri sembari menatap Asya dan Darren. Meski ia belum pernah bertemu Darren, tapi dari apa yang Asya ceritakan, ia sudah bisa mengenalinya.
Ku rasa... Sekarang aku lebih menyukai Darren daripada Darrel. Gumamnya dalam hati.
Pamer kemesraan didepan ku. Aku pastikan akan merebut Darren dari kamu. Lanjutnya dalam hati.
Asya melepaskan pelukannya saat ingat untuk memperkenalkan Naomi pada Darren. Ia menatap wajah Darren.
"Aku mau mengenalkan seseorang padamu." Asya menoleh pada Naomi. "Naomi, kemari!"
Gadis yang dipanggil Asya itu berjalan mendekat dan berhenti di samping Asya. Keberadaannya tak membuat Darren menatapnya. Lelaki itu hanya terpaku pada Asya. Tangannya bergerak melepaskan kacamatanya. Seolah benda itu menghalanginya untuk menatap Asya.
Naomi yang melihatnya terkejut. Wajah dingin dan tegas Darren membuat hatinya melemah.
Dia benar-benar sangat tampan. Begitu mirip Darrel. Tapi, dia terlihat sangat dingin dibandingkan Darrel. Dan matanya, berbeda dengan Darren. Jika tidak bisa mendapatkan Darrel, aku harus bisa mendapatkan Darren. Batinnya.
Asya tersenyum pada Naomi yang berdiri di sampingnya. Ia kemudian menatap Darren yang sejak tadi tak pernah melepaskan tatapannya dari nya.
"Kenapa kamu menatapku?" Asya bertanya dengan sedikit tersenyum. Dia lalu meraih tangan Darren. "Perkenalkan. Dia Naomi, dia akan tinggal bersamaku, Mama dan Papa."
"Ayo, pulang!" Bukannya membalas ucapan Asya, Darren malah menggenggam tangan Asya dan mengajaknya pulang.
Asya terkejut dan menatap Naomi. Gadis itu juga balas menatapnya. Ia memperlihatkan senyum palsunya. Meskipun begitu, Asya tetap merasa tidak nyaman. Wajah Naomi memerah. Entah karena malu atau marah, Asya tak dapat menebaknya.
Darren tak peduli dengan interaksi keduanya. Ia meraih koper Asya, dan menarik pelan tangan gadis itu. Membiarkan Naomi sendiri.
"Darren..."
"Jangan membuat kesalahan, Asya. Aku bisa bersikap baik dan juga bisa bersikap buruk." Ujar Darren, dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Wislan Thu Wislan
asya da msuh dlam selimut kok nggak tau ya?!
2022-07-22
1
Andi Nurdiana
Asya nya susah di bilangin...naomi itu ada maksud jahat...yaaa sudah lah....kan bodoh polos beda tipis....cuma ga tau nich si Asya di bodoh nya apa polos
2022-07-17
2
Dian Susantie
ternyata Asya miara ular betina.. 😖😖
2022-07-10
1