Deru mobil yang berhenti di depan rumah membuat Alisha berlari ke arah pintu. Ia yakin, itu pasti Darren yang baru pulang dari mengunjungi Asya. Alula dan Gara yang sedang duduk di ruang tengah menggeleng melihat tingkah putri mereka. Alisha selalu seperti ini. Alisha membuka pintu dan langsung berlari menghampiri mobil Darren.
Lelaki itu baru saja selangkah menjauh dari mobilnya. Melihat Alisha yang berlari ke arahnya, ia menghentikan langkahnya. Berdiri tegap, menanti adiknya yang sudah ia tebak, akan memeluknya.
"Kak," Alisha memeluk erat tubuh Darren, yang juga dibalas olehnya. Darren mengusap pelan rambut Alisha.
Jiyo yang berada tak jauh dari Darren menatap Alisha. Mulutnya selalu tidak tahan mengganggu satu-satunya putri Gara itu.
"Alisha. Kamu nggak mau peluk Kak Jiyo?"
Ucapannya langsung mendapat tatapan tajam Darren. Sementara Alisha, ia mengarahkan pandangannya pada Jiyo. "Enggak!" Jawabnya, lalu dengan cepat mengalihkan tatapannya pada Darren.
"Kak, gimana keadaan Kak Asya? Dia baik-baik saja kan?"
"Asya baik-baik saja."
"Kenapa Kakak gak angkat telpon Alisha sama Ibu semalam? Kami sangat khawatir saat Kak Jiyo bilang Kakak pergi tiba-tiba."
"Alisha, kita masuk dulu, ya?" Anak itu mengangguk. Ia sadar, ia bertanya di saat yang tidak tepat.
"Aku akan pulang. Sampaikan salamku pada Paman dan tante." Ucap Jiyo, lalu memasuki kembali mobilnya.
Setelah Jiyo pergi, Darren dan Alisha memasuki rumah. Keduanya berjalan ke arah Gara dan Alula. Darren duduk di sebuah sofa kosong. Sementara Alisha, gadis itu sudah duduk menempel pada Ibunya.
"Bagaimana keadaan mereka?" Gara bertanya terlebih dulu. Ia yakin, putranya bukan hanya mengunjungi Asya. Dia pasti menyempatkan waktunya mengunjungi Darrel.
"Mereka baik. Gak ada yang perlu di khawatirkan." Jawab Darren. Tampangnya sangat datar tanpa ekspresi.
Meskipun wajah Gara begitu serius bertanya pada putranya, tidak dengan Alula dan Alisha. Ibu dan anak itu saling melempar senyum lalu memandang Darren.
"Ibu pikir, terjadi apa-apa pada Asya atau Darren. Kamu terburu-buru pergi seperti itu."
"Bu, Kak Darren kan selalu begitu jika mendapatkan pesan dari Kak Asya." Timpal Alisha.
Darren menatap kedua perempuan itu. Tatapannya melembut dengan segaris senyum di bibirnya. "Aku akan ke kamar." Ujarnya lalu berdiri, melangkah menuju kamar.
Dia tidak ingin menanggapi Ibu dan adiknya. Jika ia melakukannya, sudah pasti ia mendapatkan rentetan pertanyaan.
Alula dan Alisha yang melihatnya terkekeh kecil. Mereka tahu, Darren menghindari mereka. Anak itu selalu melakukan hal yang sama setiap kali pulang dari mengunjungi Asya.
Gara yang sejak tadi terdiam, terus menatap Darren hingga anak itu menaiki tangga. Ia lalu menatap Alula dan Alisha yang terlihat terus tersenyum.
"Aku jadi khawatir." Ujar Gara tiba-tiba. Meskipun ia berkata khawatir, ekspresinya yang tenang tidak menunjukkan kekhawatiran sedikitpun. Hal itu membuat Alisha dan Alula mengernyitkan kening mereka.
"Ayah, Ayah mengatakan ayah khawatir. Tapi, ekspresi Ayah gak sedikitpun menunjukkan jika Ayah sedang khawatir."
"Nak, hati dan wajah itu bisa saja tidak sejalan." Ujar Gara.
"Kamu khawatir tentang apa?" Alula menatap suaminya.
"Aku khawatir, Darren melakukan semua ini hanya karena dia menganggap Asya seperti Alisha. Bukan menganggap Asya seperti seorang laki-laki pada perempuan. Dia sangat sulit di tebak. Aku khawatir Asya akan terluka."
Alula terdiam, begitupun Alisha. Keduanya hanya menatap Gara dalam diam. Memikirkan ucapan Gara, keduanya jadi ikut merasa khawatir.
***
Darren sudah rapih dengan stelan kantornya. Grisam Group sudah Gara percayakan pada putranya itu. Saat ini, dia hanya ingin menghabiskan waktunya bersama sang istri. Meskipun kadang-kadang ia akan mengunjungi perusahaan itu dan terlibat dalam beberapa urusan disana.
Alisha berlari dari arah dapur dan langsung menyalimi tangan Alula dan Gara. Ia bangun kesiangan dan harus begitu buru-buru ke sekolah.
"Ayah, Ibu, Alisha berangkat dulu." Anak itu berlari. Belum sempat ia mencapai pintu, suara Alula terdengar.
"Bekalnya, sayang." Teriakan Alula tak membuatnya berhenti. Anak itu membalas sambil berlari keluar.
"Udah aku bawa." Balasnya.
Darren yang memang berdiri di tempat itu sejak tadi hanya menatap adiknya yang super ceria itu. Tangannya terulur mencium tangan Gara. Kemudian mencium tangan Alula. Baru saja ia melepaskan tangan Alula, Alisha kembali muncul.
"Kak Darren! Ayo, cepetan! Lisha udah telat. Nanti gak dibolehin masuk." Teriaknya dari ambang pintu.
Darren berjalan ke arahnya, lalu merangkul gadis itu. "Ayo!" Menuntun Alisha menuju mobilnya.
Darren menoleh sebentar pada Alisha, lalu mengusap kepalanya lembut. Sambil tetap fokus menyetir.
"Besok jangan kesiangan lagi." Ujarnya lembut, namun tersirat ketegasan didalamnya.
"Iya, Alisha janji." Ujarnya.
Setelah beberapa menit, mobil tiba di sekolah. SMA tempat dimana Darren dan Darrel juga Asya dan Jiyo bersekolah. Alisha membuka pintu mobil dan bergegas turun. Tapi tak lama, ia kembali mengetuk kaca mobil Darren. Membuat lelaki itu menurunkan kaca mobilnya.
"Hehehe... Alisha lupa pamit." Cengirnya sambil mengulurkan tangannya yang dibalas oleh Darren. Anak itu mencium tangan Darren.
"Belajar yang rajin." Ujarnya.
"Iya, Kak." Balasnya. "Emm... Ngomong-ngomong, Kakak nggak kasi Alisha uang jajan?"
Darren tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan dompet. Tidak banyak uang tunai, hanya beberapa lembar seratus ribu, juga beberapa kartu kredit miliknya.
"Cuman segini uang cash nya. Cukup buat jajan?"
"Semua ini buat Alisha?"
"Hmm.."
"Alisha cuman butuh 3 lembar. Udah di kasi Ayah juga tadi."
Darren mengangguk, tanpa bertanya banyak untuk apa uang-uang itu. Dia tahu, bagaimana adiknya. Dia tidak akan meminta uang melebihi uang jajannya jika dia tidak benar-benar membutuhkannya.
"Ya sudah, Kakak ke kantor dulu."
"Iya. Hati-hati, Kak." Alisha melambaikan tangannya pada Darren. Setelah mobil Darren menjauh, dua orang siswi langsung menghampirinya.
"Alisha, yang anter kamu tadi siapa?"
"Iya. Siapa tadi? Ganteng banget."
"Kakak aku."
Dua gadis yang berdiri di samping kiri kanan Alisha melotot mendengar jawaban Alisha. Jadi, selama ini yang Alisha bilang Kakaknya yang selalu mengantarnya adalah orang setampan ini.
"Ya Tuhan, kenapa kamu baru bilang sekarang? Jika tahu dari dulu, aku akan datang lebih pagi dari kamu dan terus berdiri di depan gerbang menunggumu."
"Ya. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku akan tersenyum sepanjang dia berada disini."
"Ck. Sudahlah. Percuma saja. Kakak ku sangat dingin dan jarang tersenyum. Terutama pada wanita, apalagi gadis kecil seperti kalian. Dia mengantarku saja gak sampai turun dari mobil. Turunin kaca mobil juga enggak. Hidupnya dia isi dengan pekerjaan. Gak ada yang lain."
Kecuali keluarga kecil kami dan Kak Asya. Lanjut Alisha dalam hati.
Memikirkan Asya, dia jadi rindu dengan perempuan cantik itu.
"Yah..." Kedua teman Alisha mendesah kecewa.
"Sudah. Ayo, masuk! Bentar lagi bel." Ujar Alisha melenggang terlebih dahulu.
***
Darren tiba di kantor bertepatan dengan Jiyo yang keluar dari kantor. Laki-laki itu berjalan ke arahnya.
"Selamat pagi, tuan muda."
"Hmm.." Balas Darren lalu melangkah memasuki kantor. Jiyo juga mengikutinya. Sebenarnya, lelaki itu hendak ke cafe yang tak jauh dari perusahaan. Karena bertemu Darren, ia membatalkan niatnya.
Darren melepaskan jas yang dikenakannya dan menggantungnya di kursi. Ia meraih sebuah dokumen dan membacanya. Sementara Jiyo, dia masih berdiri di ruangan itu.
"Kembali lah bekerja!" Ujar Darren tanpa melihatnya.
Jiyo tertegun mendengarnya. "Aku mau minta izin ke cafe depan perusahaan." Ujarnya lancar. Sebenarnya dia tiba-tiba merasa gugup meminta izin pada Darren. Mungkin karena laki-laki itu terlihat lebih dingin dari hari-hari kemarin.
Darren mendongak menatapnya. Keningnya yang mengerut membuat Jiyo paham dan langsung menjelaskan alasannya.
"Aku godain anak gadis tetangga sampai nangis. Aku dihukum Mama gak dikasi sarapan pagi. Gara-gara takut telat juga, aku buru-buru gak sempat pesan makanan." Jelasnya.
Darren lalu kembali menunduk membaca berkas yang ada di tangannya. "Pergilah!"
Senyum mengembang di wajah Jiyo. Ia sedikit menunduk mengucapkan terima kasih. Tapi, sebelum ia benar-benar melewati pintu, ia berhenti dan menoleh.
"Ren. Kamu gak mau beli juga? Sekalian aja. Biar..." Ucapan Jiyo terhenti saat Darren melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Ia meneguk ludahnya kasar. "Gak jadi. Aku pergi dulu." Ujarnya, dengan cepat menarik pintu ruangan Darren dan keluar.
Rasanya sangat lega berada di luar ruangan Darren. Jiyo mengusap-usap dadanya, sembari berjalan menuju lift.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Wislan Thu Wislan
kok cmn sekitaran mereka ya mna yng lainya dong?
2022-07-22
1
Evelyn
dasar kulkas
2022-07-05
1
Hanna Humairah
lanjut thor
2022-07-05
1