#18
Aku sudah rapi, mengenakan sepatu kets, celana jeans, kaos, jaket, dan rambut panjangku yang lurus kukuncir kuda, tas selempang coklat selalu menemani.
Setelah memakai jam tangan, aku membuka pintu, keluar dari kamar.
Di sofa ruang tengah, Kak Arsen sedang bekerja, terlihat sibuk dengan laptop dan beberapa berkasnya.
"Aku pergi," ucapku menyita perhatian Kak Arsen.
Kak Arsen melihat jam di pergelangan tangan. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 4 sore.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Ada janji sama temen,"
"Hengky?"
Aku diam, tak menjawab.
"Kakak antar!"
Aku mendongak, kaget. Untuk pertama kalinya Kak Arsen berniat mengantarku tanpa aku minta.
Ia menutup laptop, kemudian meraih ponsel dan kontak mobil di atas meja.
"Nindy?" tanyaku, bukankah wanita itu sedang ada di rumah ini?
"Sudah pulang, aku mengantarnya tadi setelah kamu datang."
Pulang?
Kak Arsen hendak melangkah, namun aku kembali mencegahnya.
"Kak Arsen nggak ganti baju dulu?"
Lihatlah penampilannya, dia hanya mengenakan celana pendek, untung bukan bokser, dan sebuah kaos lengan pendek warna hitam.
"Nggak perlu, gini aja Kakak udah ganteng, emangnya kamu mau suami kamu dilirik banyak cewek ntar di jalan? Nggak cemburu?"
'Cih!'
Lihat gayanya, seakan ketampanannya sudah mengalahkan WWH, oppa Seokjin-ku saja.
***
Mobil berjalan dengan kecepatan sedang versi Kak Arsen, tapi pemandangan pohon maupun mobil di tepi jalan yang kami lewati hanya sekelebat dalam penglihatanku, bisa dibayangkan bagaimana kalau Kak Arsen berkendara dalam kecepatan tinggi versinya.
Aku memegang sabuk pengaman dengan erat, selalu saja senam jantung saat naik mobil bersamanya.
"Kau takut?" tanya Kak Arsen sesekali melirik padaku.
"He em!" aku mengangguk. Dia justru tertawa renyah. Dan kurasakan kecepatan mobil mulai ia pelankan.
"Mau ngapain ketemu sama Hengky?" tanyanya lagi.
"Kamu bilang kamu nggak cinta sama dia, nggak ada rasa, ini kenapa mau ketemu?"
"Bukan urusan Kakak," jawabku sedikit ketus, tapi Kak Arsen tidak tersinggung, ia justru tersenyum. Aneh.
Apakah dia berusaha menerima pria lain di hidupku sebelum aku ninggalin dia? Begitukah maksudnya?
"Nanti Kakak tunggu di mobil saja, ya? Aku nggak mau Kak Arsen ikut turun,"
Kak Arsen menyipitkan kedua matanya menatapku tajam.
"Kenapa nggak boleh?"
"Pokoknya nggak boleh, titik. Aku selalu nurutin Kak Arsen selama ini, sekarang apa susahnya giliran Kak Arsen yang nurutin maunya aku!"
Kak Arsen menghembuskan napas kasar, ia mengacak rambutku bagian depan yang sengaja kutata sebagai poni.
"Iihh,,,, Kak Arsen, rusak tahu tatanan rambut Elena!" protesku yang hanya ditanggapi senyuman manis.
Kak Arsenku benar-benar telah kembali, inilah Kak Arsenku dulu, saat kami pertama kali menikah, meski sembunyi dibalik kata pertemanan, persahabatan, atau persaudaraan, tapi sikap hangatnya, kasih sayangnya, perhatiannya, sempurna membuatku jatuh cinta berkali-kali, andai saja tidak pernah ada Nindy dalam cerita kami.
***
Mobil berhenti, kami telah sampai di sebuah stand nongkrong anak muda di tengah kota.
"Pokoknya Kak Arsen nggak boleh keluar dari mobil, nggak boleh nyamperin, tunggu Elena di sini, janji?"
"Iya, iya. Kak Arsen janji."
Aku menghembuskan nafas lega. Kemudian turun dari mobil menuju sebuah meja yang masih kosong, Kak Hengky belum datang. Memanggil penjual minuman lalu membuat pesanan.
Sebenarnya, aku sedikit bingung dengan perubahan sikap Kak Arsen, dia tidak marah maupun melarangku untuk bertemu dengan Kak Hengky, dia bahkan meminta Nindy untuk pulang, dan dia bersikap sangat ramah padaku sejak tadi, tapi aku tak mau terlalu banyak berpikir, mungkin dia sudah menyadari kesalahannya. Dan ingin memperbaiki hubungan kami, entahlah, semua terasa tiba-tiba. Tapi aku suka.
***
"Sudah lama?" Kak Hengky datang, aku berdiri. Ia hendak memelukku tapi aku mencegahnya, mengulas senyum kaku.
"Ough, sorry!" ucap Kak Hengky tak enak.
Kami duduk pada kursi berseberangan saling berhadapan.
"Sudah pesan?" tanya Kak Hengky.
"Baru minuman."
Setelah itu Kak Hengky melambaikan tangan memanggil penjual, dua kebab dan minuman untuknya.
"Ada apa?" tanya Kak Hengky setelah penjual yang mencatat pesanannya pergi.
"Apa semua baik-baik saja? Apa Arsen memarahimu?"
Aku menggeleng pelan.
"Ada sesuatu yang ingin Elena tanyakan sama Kak Hengky, please jawab jujur."
Tatapan mata Kak Hengky berubah, lebih serius.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Apa Kakak menyukai Nindy?" tanyaku terus terang.
Kak Hengky menarik diri, menyandarkan punggung di sandaran kursi, mencoba lebih santai, namun nampak jelas pada gurat wajahnya ia memendam sesak.
Kak Hengky menghembuskan napas berat.
"Jadi benar, Kak Hengky menyukai Nindy." ulangku.
"Itu dulu," serbu Kak Hengky. Aku diam mendengarkan.
"Sebelum bertemu denganmu, tapi semenjak mengenalmu, Kakak tak lagi mencintai Nindy, Kakak jatuh cinta sama kamu."
Aku tersenyum getir, apa pernyataan itu bisa diterima? Tidak, sayangnya hatiku menolak untuk percaya.
Jadi inilah teka-teki yang tersimpan selama ini, pada setiap kalimat wejangan yang ia berikan padaku, karena dia juga merasakan hal yang sama, mencintai seseorang yang tak bisa ia miliki. Seseorang yang tidak mencintainya.
"Aku tidak menyangka Kakak akan setega ini,"
"Apa maksudmu? Apa Kakak melukai hatimu? Tolong maafkan Kakak, Kakak tidak sengaja, tapi percayalah, Kakak benar-benar cinta sama kamu."
Kak Hengky berusaha meraih tanganku di atas meja, dan aku lekas menepisnya.
"Bukan sama Elena, tapi sama Nindy, bagaimana Kakak bisa memberikan obat perang.sang di minuman Nindy dan membawanya ke hotel? Apa Kak Hengky segila itu?"
"Itu fitnah!" Kak Hengky berdiri memukul meja. Rahangnya mengeras dan tatapan matanya merah berair. Nanar.
"Aku dijebak, aku sendiri tidak tahu bagaimana waktu itu aku bisa berada di kamar yang sama dengan Nindy. Sumpah Kakak tidak pernah melakukannya."
"Bohong, maling mana ada yang mau ngaku." aku berdiri, hendak pergi dan Kak Hengky mencekal tanganku.
"Arsen yang menceritakan ini semua padamu? Karena dia ingin agar kau membenciku."
Kutepis kasar tangannya. Menatapnya tajam sambil menunjukkan telunjukku di hadapan matanya.
"Dia suamiku, jangan lupakan itu!" aku pergi setelah mengatakannya. Mengabaikan setetes air mata yang menitik membasahi pipi Kak Hengky.
Aku terus berjalan cepat menuju mobil Kak Arsen yang terparkir di badan jalan, Kak Arsen berdiri bersandar badan mobil sambil merokok, kemudian membuang puntung rokok lalu menginjaknya saat melihat aku kembali.
"Elena! Elena, dengarkan aku!" Kak Hengky berlari mengejarku.
"Ayo, Kak!" pintaku pada Kak Arsen.
Aku masuk ke dalam mobil, begitu Kak Arsen.
"Elena, Elena, dengarkan penjelasan Kakak."
Mobil melaju meninggalkan Kak Hengky yang berteriak memanggil namaku berusaha mengejar, sebelum akhirnya ia memilih berhenti dan menendang tanah beraspal, kulihat tingkahnya dari spion, meraup wajah hingga keseluruh kepala dan mengacak rambutnya.
"Ada apa? Apa yang membuat kalian bertengkar?" tanya Kak Arsen.
"Tidak ada, lagi pula kita tak memiliki hubungan apapun, lantas, kenapa harus ada pertengkaran tanpa adanya sebuah hubungan?"
Aku sendiri tak mengerti, kenapa hatiku nyeri saat melihat setetes air mata Kak Hengky, dan saat ia berlari mengejarku tadi, hatiku merasakan getaran lembut yang sama sekali tak aku pahami.
Biarlah, kami memang tidak seharusnya dekat dalam hubungan apapun, pertemanan sekalipun. Aku tak ingin lagi melibatkan Kak Hengky dalam hidupku.
'Ping!' satu pesan DM masuk.
"Please, percaya sama Kakak, Kakak cinta sama kamu, dulu Kakak memang pernah suka sama Nindy, tapi itu dulu, dan Kakak juga tidak pernah memberikan obat perang.sang di minuman Nindy, Sumpah demi apapun itu fitnah keji yang Kakak terima."
Aku segera memblokir semua akun Kak Hengky, termasuk nomor barunya, semuanya, aku tak ingin berurusan lagi dengannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kak Arsen yang lagi nyetir.
"Hemm,,,," aku mengangguk.
"Boleh Elena tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Jika kalian pernah ribut besar, terus, bagaimana kalian baikan?"
Kak Arsen tertawa kecut.
"Baru beberapa bulan yang lalu, saat kami semua dipertemukan dalam acara reuni, kami semua sudah dewasa, jadi sama-sama berpikir jika ribut dan bertengkar tidak ada gunanya, memilih untuk saling memaafkan,"
Aku masih menatap dalam Kak Arsen, belum puas dengan jawaban yang ia berikan.
"Seseorang mengirimiku sebuah foto, Nindy dan Hengky yang tidur bersama di hotel, aku langsung pergi ke sana, hatiku hancur melihat mereka berdua di atas ranjang, dalam pesan itu mengatakan jika Hengky memberikan obat pada minuman Nindy, tapi saat Hengky dan Nindy bangun, keduanya bersumpah tidak melakukan apa-apa, bahkan keduanya tidak sadar telah tidur bersama, aku tidak mengerti, aku tidak tahu bagaimana mau percaya. Aku ingin putus dari Nindy, tapi aku tidak bisa, aku terlalu mencintainya, jadi aku tetap mempertahankan hubungan kami." Kak Arsen menarik napas dalam, jelas terlihat ia merasakan sesak saat kembali harus menceritakan hal yang melukai perasaannya.
"Dan harus menyalahkan Hengky, sahabatku." ada rasa sesal dalam nada bicaranya.
"Siapa orang itu? Yang mengirimi Kakak pesan?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, sampai sekarang pun aku tidak tahu. Nomornya langsung mati setelah mengirim pesan itu pada Kakak!"
Aku mengangguk, mencoba mengerti meski sebenarnya semua sangat mengganjal di hati. Kami kembali melanjutkan perjalanan dalam keheningan.
Jadi, Kak Hengky tidak sepenuhnya salah? Aah,,, entahlah. Otakku buntu memikirkannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Ursula Ursula
elena bodoh percaya dgn suaminya 7g munafik
2022-08-05
1
𝕸y💞Alrilla Prameswari
tenang elena tenang
siapa tahu nindy sendiri yang menjebak hengky🤔🤔🤔
2022-07-19
2
Cucu Jahriah
lanjutt 👍👍👍
2022-07-16
0