#16
Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di lokasi, sebuah danau alami yang sangat indah dan bersih, sayang, karena kita berangkat kesorean, kami tiba saat hari sudah malam.
Para pria memasang senter pada beberapa titik, aku bersama Sisca mengeluarkan kayu kering dari bagasi yang kami beli di pinggir jalan tadi. Untuk membuat api.
Kemudian kami bersama-sama mendirikan tenda, dua tenda besar, satu untuk para pria, dan satu untuk para wanita.
Tenda yang didirikan tim pria sudah berdiri, sedangkan kami para wanita, malah sibuk membolak-balik tak berhasil mendirikannya, ternyata cukup sulit, tak semudah saat melihatnya saja.
"Sini," Kak Arsen mengambil alih kawat yang ada di tanganku, begitupun Hadi yang menggantikan pekerjaan Nirina, dan Yoyo? Dia justru bersantai di atas tikar yang sudah digelar, berbaring menghadap danau.
"Iiish,,, dasar berandal, bukannya bantuin malah enak-enakan nyantai," gerutu Sisca karena Yoyo tak datang membantunya.
Gelak tawa kami pecah, aku menggandeng tangan Nirina untuk mengajaknya menyiapkan bahan makanan.
"Oke, kali ini gua serahkan sama kalian, semangat!" Sisca melepas tenda yang belum jadi, mengangkat tangan sambil dikepalkan ke udara memberi semangat pada Hadi dan Kak Hengky, ikut berhambur mengejar langkahku yang sudah pergi terlebih dulu bersama Nirina.
Kami para wanita menyiapkan makanan, cukup sederhana, nasi yang sudah masak kami bawa dari cafe, dan kami akan membakar aneka jajanan sosis yang kami beli tadi di Alfaindo. Selain begitu banyak Snack sebagai camilan tambahan.
Beberapa sosis sudah batang, baunya menyeruak memenuhi penciuman menggugah selera. Yoyo datang terlebih dulu dan langsung nyicip, tanpa pikir panjang Sisca memukul tangannya yang sekali lagi hendak mengambil sepotong sosis.
"Pelit amat, sih." geram Yoyo yang akan memulai perdebatannya lagi dengan Sisca.
"Bodo amat, Lo nggak ada jatah ya, Panjul! Ini cuman buat yang mau nolongin kita ngediriin tenda, buat Hadi sama Mas Hengky," celoteh Sisca tak mau kalah. Dan dengan cepat Yoyo justru menarik piring yang ada di atas tikar dan ia membawanya lari.
"Yoyo!" teriak Sisca mengejar.
Nirina tertawa melihat tingkah mereka, sedangkan aku? Ingatan tentang Kak Arsen kembali memenuhi pikiran.
Apa dia sudah makan? Apa dia mencariku? Dia pasti akan sangat marah padaku besok, tapi aku marah padanya, kenapa dia harus membawa Nindy ke rumah? Tidakkah dia sedikit saja memikirkan perasaanku? Sakitnya hatiku?
"Hei, sosisnya gosong!" Kak Hengky datang menyadarkanku dari lamunan.
"Ya Tuhan," buru-buru aku membalik sosok yang kupanggang tapi percuma, sudah tak terselamatkan.
Kak Hengky tertawa kecil.
"Mikirin dia terus, ya? Susah banget buat melupakan." ucap Kak Hengky yang mengoles sosis baru dengan margarin, kemudian ia tata rapi di atas pemanggangan.
"Kamu tahu, hati kamu itu ibarat sosis yang kamu bakar sampai gosong tadi, kamu ngebiarain hati kamu terus-terusan tersakiti, dan nanti, saat kamu sadar, semua akan terlambat, mungkin perasaan kamu akan mati, dan tak bisa diselamatkan lagi, seperti sosis tadi."
Aku tak begitu memahami apa yang diucapkan Kak Hengky, tapi aku menanggapinya dengan tersenyum saja. Membolak-balik sosis agar tak lagi gosong.
Aku celingukan, baru menyadari kalau Nirina yang tadi bersamaku sudah tidak ada.
"Yang lain mana?" tanyaku.
"Di sana!" Kak Hengky menunjuk sebrang danau, entah bagaimana mereka sudah ada di sana. Hadi, Nirina, Yoyo dan Sisca, mereka semua bersua foto pada sebuah ayunan di tepi danau seberang. Meski malam pemandangan nampak cukup jelas karena bulan purnama bersinar terang.
Cuaca memang tak bisa ditebak, seringkali berubah-ubah, sebentar terang, sebentar lagi mendung.
"Sebenarnya tempat ini lebih cantik saat pagi, tapi setiap pagi dan sore selalu ramai oleh pengunjung lain. Itu kenapa aku mengajak kalian Camping, biar sepi." ucap Kak Hengky.
"Damai," sahutku pelan, mengoreksi kata sepi yang kurasa lebih pantas jika disebut damai.
"Elena,"
"Hemm?"
Kuangkat sosis yang sudah matang dan kuletakkan rapi di atas piring.
"Aku,,,,"
Jantungku berdegup kencang, akankah kak Hengky kembali membahas tentang perasaannya padaku? Aku gugup sekarang.
"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan?"
"Kak, please! Aku sudah nyaman dengan hubungan kita kayak gini, menjadi teman dan sahabat, please jangan rusak kebersamaan kita dengan jatuh cinta sama aku, aku nggak bisa, Kak! Aku hanya,"
"Kakak tahu, kamu hanya mencintai Arsen, fine. Kakak terima."
Aku menunduk, air mataku luruh berlinangan, dan kak Hengky lekas merengkuh tubuhku, memelukku hangat.
"Andai aku bertemu Kak Hengky sebelum menikah dengan Kak Arsen, aku pasti sudah lama jatuh cinta sama kak Hengky, tapi aku tidak bisa sekarang, maaf!"
"Ssuut,,, nggak perlu nangis. Kamu nggak salah, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan jatuh cinta, dan kepada siapa kita jatuh cinta. Kakak nggak papa kamu nggak nerima kakak, tapi, Kakak harap kamu bahagia sama hidup kamu, Kakak nggak tega kamu terus disakitin sama Arsen, karena itu Kakak sangat berharap kamu mau melepasnya. Cerai dari dia."
Dering ponsel Kak Hengky membuyarkan pembicaraan kami, ia merogoh kantong jaket meraih ponselnya. Sebuah panggilan masuk.
"Arsen!" lirih Kak Hengky bicara padaku.
Sontak kedua mataku membola.
"Nggak usah diangkat!" ucapku sedikit berteriak. Panik.
Kak Hengky diam beberapa saat, kemudian ia meletakkan ponselnya yang masih berdering dengan layar menyala di atas tikar tempat kami duduk.
Yah, posisi kami duduk di tikar, tempat pembakaran sosis kami letakkan di atas tanah depan tikar.
Panggilan berhenti dengan sendirinya, kemudian ponsel itu berdering lagi, mati lagi, berdering lagi, mati lagi, terus berulang hingga panggilan ke lima.
Satu pesan masuk.
"Boleh Kak Hengky buka?" ijin Kak Hengky padaku. Aku mengangguk sebagai persetujuan.
"Kau bersama Elena?"
Kak Hengky membacakan pesan yang dikirim Kak Arsen padanya. Belum sempat Kak Hengky membalas, pesan baru masuk.
"Ke mana kau membawa istriku, bangsat!"
Kak Hengky tertawa saat membaca pesan itu, ada kepuasan dalam sorot matanya mengetahui Kak Arsen marah.
"Cepat katakan di mana kalian?"
Tiba-tiba Flash kamera mengenai wajahku, Kak Hengky mengambil fotoku begitu saja untuk ia kirim sebagai pesan balasan.
"Tenang saja, aku hanya membantumu menjaganya, dia aman bersamaku!" pesan balasan yang kak Hengky kirim, kemudian ia mematikan ponselnya.
"Kak Hengky?" protesku yang hanya ditanggapi gelak tawanya.
"Sedikit membuatnya cemburu," ujar Kak Hengky membuat hatiku menghangat.
Cemburu? Benarkah Kak Arsen cemburu? Jika iya, bukankah itu artinya Kak Arsen mencintaiku? Tapi dia tidak pernah mengakui itu, dia hanya menganggapku sebagai tanggung jawabnya, bukan istrinya.
***
Kami semua makan bersama, bercerita, bergurau, kemudian bernyanyi, Hadi memainkan gitar dan kami semua ikut mengiringi dengan tepuk tangan. Sangat menyenangkan.
Malam semakin larut, kami masuk tenda setelah gerimis datang. Sudah kukatakan, cuaca tak bisa ditebak. Berubah dengan cepat.
"Hei, pakai jaketku!" Kak Hengky melepas jaketnya, kemudian memakaikannya padaku.
"Nanti Kakak kedinginan!" tolakku halus.
Kak Hengky menggelengkan kepala sambil tersenyum manis dengan tatapan matanya yang sendu.
"Selama kamu baik-baik saja, Kakak juga akan baik-baik saja. Selamat malam, selamat tidur, selamat istirahat,"
"Selamat ngontrak buat para jones." seloroh Sisca saat ia lewat, yang baru saja memasukkan tikar ke dalam bagasi mobil, dan dia melangkah menuju tenda.
"Selamat malam," balasku mengulas senyum untuk Kak Hengky.
Kak Hengky, senyumannya, dan tatapan matanya, mengingatkanku dengan senyuman dan tatapan mata Kak Arsen saat dulu.
***
Malam terlewati dengan cepat. Pagi-pagi sekali kami semua sudah berkemas untuk pulang.
Danau juga sudah mulai ramai oleh para pengunjung yang sedang lari pagi, atau para pemuda dan pemudi yang sekedar menikmati pagi sambil berkumpul bersama.
Ini hari Minggu, kami semua bersiap untuk pulang, cafe kuliburkan satu hari.
Kak Hengky mengantar anak-anak ke cafe untuk mengambil motor mereka, kemudian mengantarku pulang.
"Are you okay?" tanya Kak Hengky karena sedari tadi aku hanya diam.
"Hem, I'm okay!" sebenarnya aku sangat khawatir, bagaimana nanti jika Kak Arsen masih ada di rumah, dan bagaimana jika mereka bertemu? Aku takut Kak Arsen tak dapat mengendalikan diri dan menghajar Kak Hengky. Please, jangan sampai itu terjadi.
Mobil berhenti di depan halaman rumah.
"Kak Hengky nggak usah mampir, ya? Maksud Elena, lain kali saja." aku mengatakannya secara terbuka.
"Okay, istirahat yang cukup, dan juga jangan lupa makan,"
"Hem," aku mengangguk. Mobil Kak Hengky perlahan berputar dan bergerak menjauh dari halaman rumah.
Aku menghela napas kasar, lega, untunglah Kak Hengky dan Kak Arsen tidak saling bertemu.
Aku berjalan menuju rumah, membuka pintu kemudian masuk.
"Aahh,,, aah,,,, Arsen!"
Langkahku sontak terhenti, dengan jantung yang berdebar kencang.
"Engh,,, aahh,,, Arsen!"
Kulihat Kak Arsen bergerak naik turun maju mundur di atas sofa, ia melihatku datang sambil tersenyum sinis, dahinya berkeringat dan punggungnya polos tanpa baju.
Keparat, mereka melakukannya di sofa ruang tamu.
Aku memalingkan muka, berjalan cepat melewati mereka tanpa berniat menoleh sedikit pun, segera masuk ke dalam kamar, mengunci pintu dari dalam.
"Mamah,,,," aku menjatuhkan diri di atas ranjang, tengkurap membenamkan wajah di atas bantal, meredam suara isak tangis yang menyerukan hatiku yang terluka parah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Frida Fairull Azmii
cinta apa obsesi tuh sampe lupa pake logika
2022-08-26
1
Amalia Pamujo
kok marah len trima ajaaaaa kan cintaa
2022-08-07
1
𝕸y💞Alrilla Prameswari
harus kah ku komen 💔💔💔 terus thor
2022-07-19
1