#3 Ulang tahunku

"Oh, jadi kamu masih keluarganya Arsen?" tanya Hengky setelah aku menjelaskan padanya, kenapa aku yang kini menjadi pemilik cafe ayahnya Kak Arsen.

"Iya," jawabku menunduk, ada rasa malu sebab tak bisa mengatakan yang sejujurnya tentang hubunganku dengan Kak Arsen sesungguhnya pada Hengky.

Hengky mengangguk mengerti, ia menyeruput kopinya yang tinggal sedikit lagi, asap yang semula mengepul sudah hilang, menandakan kopinya telah dingin.

"Aku dan Arsen sahabat dekat, hanya saja, karena sekarang kami sudah sama-sama sibuk, jadi jarang bisa ketemu,"

Aku mendengarkan, sesekali mengulas senyum sebagai tanggapan.

"Tadi aku kebetulan lewat, jalanan tidak jelas karena hujat lebat, jadi aku mampir, kemarin Nindy juga habis nongkrong dari sini katanya, oh, sorry. Apa kau mengenal Nindy?" tanya Hengky membuatku merasa gugup.

Nindy, hanya dengan mendengar namanya saja sudah mampu membuat hatiku ngilu seperti tertusuk jarum.

"Tidak, tapi aku tahu dia teman Kak Arsen."

"Begitu, ya!"

'Ting.' Satu notifikasi masuk. Pesan dari Kak Arsen.

"Aku otw pulang!"

Seketika kedua mataku membola membaca pesan yang kuterima. Aku lekas berdiri.

"Ada apa?" Hengky menahanku pergi.

"Aku harus pulang," jawabku singkat tanpa menoleh, memakai tas selempang yang ada di kursi lain. Tak menghiraukan bagaimana ekspresi Hengky yang melihatku pergi meninggalkannya begitu saja.

Aku Berlari kecil menuju meja kasir di mana Sisca berada.

"Sis, aku pulang dulu ya, Kak Arsen dalam perjalanan pulang, sampein maaf sama Yoyo dan Hadi, ya? Aku berhutang pada kalian. Kita pergi besok lagi saja, oke?"

"Oke, siip,,,, hati-hati, baby!" Sisca melambaikan tangan dan kubalas lambaian tangannya sambil berlari.

Sampai di luar aku segera menghampiri motor matic milikku yang terparkir di laman depan, memakai helm kemudian menyalakan motor dan melajukannya membelah jalan kota menuju rumah dengan kecepatan sedang, terkesan pelan, aku memiliki trauma masa kecil jika berkendara dengan kecepatan tinggi, karena Mamah meninggal kecelakaan saat aku masih kecil dulu.

Hujan sudah reda, menyisakan rintik gerimis kecil. Beberapa genangan air menjadi pemandangan sepanjang jalan, selain langit yang mendung, suasana sore juga semakin menambah kesyahduan, ralat, kesenduan, hawa dingin juga terasa menusuk tulang, dengan Angie yang bersemilir kencang.

Ada rasa bahagia karena Kak Arsen mengirimiku pesan singkat, dan dia sudah pulang, namun rasa rinduku yang kupendam seorang diri begitu membuncah, membuatku merasa sedih, karena 3 hari ini selalu diabaikan olehnya, aku ingin marah tapi tentu saja aku tidak bisa.

***

Sampai di rumah aku memarkir motor di garasi, kemudian berlari memasuki rumah di mana pintu utamanya sudah terbuka. Masing-masing dari kami memegang kunci rumah.

"Dari mana?" cercanya saat melihat aku yang baru datang dengan nafas terengah.

"Kakak sudah sampai rumah?"

Yah, tentu saja Kak Arsen sampai rumah lebih dulu, ia seperti seorang pembalap saat mengendara, sedangkan aku ibarat seekor siput melajukan motor maticku.

"Ditanya itu jawab, bukannya balik nanya. Kamu dari mana jam segini baru pulang?"

"Ehm, itu Kak. Aku dari cafe." Aku melangkah masuk, melewati Kak Arsen sambil menundukkan kepala, takut karena dia marah.

"Sesore ini?" Kak Arsen melirik jam tangan yang menghiasi pergelangan tangannya. Ini memang terlalu sore. Sudah lewat jam 5.

"Maaf," lirihku merasa bersalah.

Setelah itu tak ada lagi tanggapan, Kak Arsen masuk menuju kamarnya, yang berseberangan dengan kamarku.

Aku bersih-bersih, mandi, ganti baju dan bersolek sebisaku, berdiri di depan cermin mematut diri.

"Mah, aku tidak sejelek itu, kan? Sampai Kak Arsen tidak mau denganku? Aku cantik kan, Mah? Tapi kenapa Kak Arsen tidak mencintaiku?" gumamku lirih menatap pantulan diri dalam cermin.

"Elena!" teriak Kak Arsen dari luar kamar terdengar, membuyarkan pikiranku yang hanya berpusat tentangnya.

"Iya, Kak?" kubuka pintu kamar, Kak Arsen sudah berdiri di depan pintu kamarku mengenakan baju santainya saat di rumah, celana bokser dan kaos polos biasa yang kali ini berwarna biru. Sangat cocok dengan kulit putih tubuh atletisnya, membuat ia terlihat semakin tampan dan gagah.

"Aku lapar, tidak ada makanan di dapur."

"Ah, iya. Aku baru mau masak, Kak. Tunggu sebentar, ya?"

"Hem,,,,"

Dia berjalan mendahuluiku, aku mengikuti dari belakang, sementara ia menuju sofa ruang tengah, aku berputar hendak masuk dapur, namun mendengar ucapannya, langkahku kontan terhenti.

"Besok lagi sebelum aku pulang, makanan seharusnya sudah siap. Kamu niat nggak sih ngerawat suami?"

Hatiku nyeri mendengar komentarnya tentang diriku, aku hanya pulang terlambat sekali ini, dan dia sudah menganggapku seolah menjadi istri yang tidak berbakti.

"Iya, Kak. Maaf!" ucapku melanjutkan langkah menuju dapur untuk memasak.

Yah, hari ini aku memang sangat terlambat, karena biasanya aku pulang jam 3 dari cafe, dan Kak Arsen pulang saat pukul 5 sore. Dan saat dia datang, makanan sudah tersaji rapi di meja makan menyambutnya, ia biasa makan sebelum malam.

Sedangkan tadi, karena keasyikan ngobrol dengan Hengky, dan mengira Kak Arsen belum pulang, aku tetap di cafe sampai kesorean.

***

"Hari ini ulang tahun kamu?" tanya Kak Arsen tanpa melirikku, menggerakkan kedua tangan yang menggerakkan sendok dan garpu, fokus melihat makanan di piringnya.

"Iya," jawabku.

"Aku lupa, jadi aku tidak beli apa-apa."

Aku menahan sedih dan kecewa yang datang menyerbu perasaanku secara bersamaan, mungkin Kak Arsen melihat update tweetku yang ku posting siang tadi. Sebuah kue ulang tahun pemberiannya tahun lalu.

"Tapi aku ada ini,"

Aku mendongak, melihat Kak Arsen yang mengulurkan sesuatu di atas meja makan. Sebuah kotak kecil.

Senyumku langsung mengembang sempurna, ternyata dia tidak sejahat itu. Kak Arsen masih menyiapkan hadiah untukku meski tanpa ia bungkus dengan kertas kado.

Kuraih cepat benda itu lalu membukanya, sepasang anting kristal yang cantik. Aku sangat senang menerima hadiah yang Kak Arsen berikan.

"Aku membeli itu untuk Nindy, tapi dia tidak suka. Jadi kau bisa memilikinya sekarang."

Retak. Hatiku seketika patah mendengar penuturannya yang sangat menyakitkan.

Aku menatapnya nanar yang dengan santai melanjutkan makannya tanpa memikirkan perasaanku, mataku sudah berkaca-kaca dengan air mata yang menganak sungai.

Jadi, anting ini ia beli untuk Nindy? Bukan untukku?.

Kak Arsen berdiri, aku bersuara mencegah langkahnya.

"Aku tidak mau," kuletakkan kembali kotak berisi sepasang anting kristal itu dan berdiri hendak pergi.

"Kamu tidak menghargai barang pemberianku?"

Kedua mataku terpejam, meloloskan buliran-buliran bening yang sedari tadi berdesakan.

"Apa susahnya untuk menerima ini? Anting itu harganya mahal, kalau kamu tidak mau, ya sudah. Biar aku buang saja."

"Jangan!" aku lekas menyeka pipi yang basah, berbalik dan kembali meraih kotak anting yang Kak Arsen berikan sebagai hadiah, meski itu sebenarnya ingin ia berikan pada Nindy.

"Baik kamu nurut, aku nggak suka cewek yang suka ngebangkang."

Kak Arsen pergi setelah mengatakan kalimat itu, kalimat yang sudah sering kudengar sejak dulu, yang baru kusadari kini betapa kalimat itu ternyata mantra yang sangat menyakitkan.

'Brak!' suara pintu kamar Kak Arsen ditutup.

***

Terpopuler

Comments

Rini Mustika

Rini Mustika

pengen q getok pake balon kepala nya.

2022-12-16

1

Ekawati Hani

Ekawati Hani

Ini seperti baca kisah Siya dan Mahend thor, bikin nyesek baca nya di bagian awal awal.

2022-08-05

0

💞 Hati Hampa 💞

💞 Hati Hampa 💞

kepala nyut² bacanya 😀

2022-07-11

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!