Mimisan lagi

Aku keluar dari cafe bersama Sisca dan Hadi, sampai di halaman belakang, sebuah mobil yang sangat kukenal datang. Kak Arsen.

'Brak!'

Kak Arsen keluar dari mobil dengan raut muka menahan emosi. Langkahnya cepat dan teegesa. Aku tahu, dia pasti kesal atas ulahku.

"Ngapain aja di cafe sampai malam begini? Emangnya pekerjaan nggak bisa ditunda esok hari?" bentak Kak Arsen menatap tajam pada Sisca dan Hadi bergantian.

Hadi membalas tatapan Kak Arsen dengan datar, dari semuanya, dia memang yang paling berani, tidak pernah menunjukkan ketakutannya sama sekali. Sedangkan Sisca, dia menunduk kicut di belakangku.

"Kalian, pergilah, suamiku datang menjemputku, aku akan baik-baik saja sekarang," ucapku lirih pada Sisca dan Hadi.

"Oke, kita permisi, selamat malam, Mas Arsen!" ucap Sisca yang tak mendapat respon dari Kak Arsen.

"Masuk," perintah Kak Arsen padaku untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Aku bawa motor." balasku lirih sambil melenggang meninggalkannya menuju motor maticku.

"Tinggalin motornya di sini, masuk mobil."

"Nggak," tolakku.

"Elena!" geram Kak Arsen karena aku tak menurutinya.

Aku memejamkan kedua mata, membiarkan buliran bening itu lolos begitu saja.

"Baik," ucapku lirih, mematuhi perintahnya.

Perjalanan kami terjebak oleh keheningan, tak ada percakapan sama sekali, bahkan sekedar menanyakan keadaanku yang jelas nampak sembab usai menangis dan kacau pun Kak Arsen tak menanyakannya.

Aku memalingkan muka, melihat ke luar lewat kaca pintu mobil, meski di luar sana hanya gelap yang kulihat, tapi itu lebih baik dari pada harus menatap wajah Kak Arsen saat ini.

Ponselku berdering, sebuah panggilan masuk. Aku mengeluarkannya dari tas, nomor baru.

"Halo!"

"Please, jangan tutup dulu teleponnya, aku mau minta maaf," suara Kak Hengky. Ia menggunakan nomor baru agar dapat menghubungiku, karena aku sudah memblokir nomor lamanya.

Aku tahu apa yang ia rasakan, diabaikan oleh orang yang kita cintai itu sama sakitnya dengan patah hati. Karena aku juga merasakan itu dari Kak Arsen.

Kulirik Kak Arsen yang juga menatapku sebelum ia kembali fokus pada jalan di depan.

"Siapa? Hengky?" tanya Kak Arsen menyelidik.

"Bukan, aku sudah memblokir nomornya," bohong. Yah, aku berbohong. Entahlah, kehadiran Kak Hengky selalu mampu menjadi obat atas semua rasa sakitku. Dan aku ingin dirinya ada sebagai tempat keluh kesahku.

"Ada apa?" tanyaku pada Kak Hengky di telepon.

"Kamu di mana? Aku datang ke cafe dan lampunya sudah padam, tadi Sisca memberitahuku jika kamu belum mau pulang, aku sangat khawatir, kamu di mana? Motor kamu masih di sini, apa kamu di dalam? Kamu baik-baik saja?" jelas terdengar jika Kak Hengky mengkhawatirkanku, tapi mau bagaimana? Hatiku tidak bisa mencintainya, aku terlanjur menganggapnya sebagai sahabatku, seperti Kakakku. Mungkin itulah yang juga dirasakan Kak Arsen terhadapku, ia menyayangiku namun hanya sebagai adiknya, tanggung jawabnya, tidak lebih, dan cintanya hanya untuk Nindy. Seperti cintaku yang hanya untuk Kak Arsen.

"Aku baik-baik saja, sekarang dalam perjalanan pulang, Kak Arsen menjemputku,"

Kak Arsen menoleh saat aku menyebut namanya dalam sambungan telepon.

"Siapa?" tanyanya penasaran.

"Teman." jawabku singkat.

"Baiklah, kalau begitu istirahatlah yang cukup, jangan lupa makan, oh ya. Please, jangan blokir nomorku yang ini. Aku tidak sanggup, kumohon, maaf karena telah membuatmu tidak nyaman dengan menyatakan perasaanku, tapi aku sadar, cinta tak bisa dipaksakan, aku terima keputusanmu tidak menerima cintaku, tapi tetaplah menjadi teman seperti kemarin, kumohon."

Aku menghela napas kasar, rasa bersalah memenuhi relung hati. Kenapa aku tidak bisa mencintainya saja? Itu pasti lebih menyenangkan.

"Hem,,,, tentu!" aku mengangguk walaupun Kak Hengky tak dapat melihat ekspresiku. Setelah itu ia mematikan sambungan telepon. Aku menyimpan nomornya dengan nama 'teman.'

Dan perjalanan kami kembali terjebak dalam keheningan.

***

Pagi ini kami sarapan dalam diam, sampai Kak Arsen mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung perasaanku.

"Aku akan pergi selama satu Minggu."

Sontak kepalaku mendongak menatapnya yang juga menatapku.

"Mau ke mana?"

"Singapur,"

"Nindy?" tanyaku lirih.

"Aku akan ajak kamu jalan setelah pulang dari Singapura." Kak Arsen berdiri, mengenakan jasnya yang tersampir di sandaran kursi.

"Aku berangkat, kamu baik-baik di rumah." Kak Arsen mengecup puncak kepalaku untuk pertama kalinya sebelum ia pergi. Tapi aku tak merasa bahagia, justru lukaku terasa semakin menganga.

Mereka pengantin baru, dan pasti perjalanan mereka untuk bulan madu.

Aku mulai benci keadaan ini, lelah. Aku sangat lelah. Terkadang, pilihan untuk mengakhiri hidup terlintas memenuhi isi kepala, namun aku menepisnya karena aku tahu itu dosa besar.

***

Kepalaku terasa pusing saat aku hendak berangkat ke cafe. Kurasakan sesuatu yang kental dan hangat mengalir dari hidungku. Aku mimisan.

Cepat-cepat aku masuk ke dalam kamar mandi. Melihat pantulan wajah pada cermin di wastafel. Kenapa aku pucat sekali?

Kubersihkan darah yang keluar dari hidung, membasuh muka, mendongakkan kepala agar darah mimisan tak lagi keluar, cukup berhasil. Darahnya mampet, sekali lagi aku membasuh muka, kemudian keluar dari kamar mandi. Mentouch up dengan make up tipis, kemudian berangkat ke cafe.

***

Cafe sudah cukup ramai saat aku datang, aku memang kesiangan, selain tadi harus menenangkan hati dan pikiran yang terguncang karena Kak Arsen yang akan pergi ke Singapura bersama Nindy, aku yang mimisan juga menjadi kendala tambahan keterlambatanku.

"Aku pikir kamu nggak dateng!" seloroh Sisca saat aku mendudukkan diri di salah satu kursi pelanggan yang kosong.

Aku melempar senyum sebagai tanggapan.

"Pelayan!" seru seseorang memanggil Sisca.

"Iya, Tuan!" Sisca segera berhambur menghampirinya, meninggalkanku yang mulai menyibukkan diri dengan laptop.

Pemasukan bulan ini cukup baik, lebih baik dari bulan sebelumya, malah. Dan ada bookingan untuk acara pesta ulang tahun seleb applikasi tik tok dua hari ke depan. Kuyakin itu bisa menjadi sarana ampuh untuk mempromosikan cafe ini, agar lebih ramai lagi.

"Coffe," Hadi datang dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap panas.

"Thanks!" seruku memberikan senyum hangat.

"Mbak Elena baik-baik saja?" tanya Hadi terdengar cemas. Ia mendudukkan diri pada kursi di hadapanku.

"Seperti yang kamu lihat," jawabku mengulas senyum.

Hadi menatapku sedih, membuatku merasa menyesal karena masalahku mereka yang menyayangiku turut merasakan dampaknya.

"Hei, ayolah,,,, kau ini kenapa? Semangat. Sebentar lagi akhir bulan dan kalian gajian." aku berceloteh seceria mungkin. Menutupi hati yang sebenarnya patah berkeping-keping.

"Yah, aku ingin melamar cewekku besok saat gajian, akan kugunakan uang itu untuk membelikannya cincin sebagai tanda ikatan pertunangan."

"Really?" aku sangat senang mendengar kabar bahagia yang Hadi sampaikan. Aku ingat gadis yang pernah Hadi bawa main ke Cafe, gadis SMA yang tiga tahun lebih muda dariku.

"Tahun ini dia lulus, dan memintaku untuk menikahinya, kurasa tidak ada alasan untuk menunda, dia tidak mempunyai biaya untuk kuliah, dan aku pun tak sanggup membiayai kuliahnya, jadi kami sepakat akan menikah saja,"

"Uuhh,,,, so sweet," rasanya sedih mendengar penuturan Hadi, tapi aku sendiri tak bisa melakukan apa-apa, biaya kuliah memang tidak murah.

"Baiklah, semoga keputusan yang kalian ambil adalah yang terbaik, oh ya, ajak dia main lagi ke sini, aku merindukannya, bahkan aku sampai lupa siapa namanya, saking lamanya tidak bertemu."

"Nirina," sahut Hadi.

"Iya, Nirina, dia gadis yang baik, aktif dan ceria,"

"Dan pecinta K-Pop, seperti mbak."

Aku tertawa mendengar penuturan Hadi, kami memang sama-sama K-popers meski idola kami berbeda, aku menyukai BTS, dan aku masih ingat, Nirina menyukai EXO.

"Aku akan mengajak Nirina main ke mari setelah ia selesai dengan ujiannya."

"Hemm,,,, semoga dia lulus dengan nilai terbaik," doaku tulus.

"Aamiin,,,,"

"Bagaimana dengan persiapan perayaan ulang tahun seleb tok yang udah booking cafe kita?" tanyaku mengganti topik.

"Beres, baby!" seloroh Sisca yang tiba-tiba sudah bergabung saja.

"Guys,,,, kalian tahu nggak kalau Mas Arsen lagi berlibur ke Singapura? Lihat, mereka mengabadikan momen kebersamaan mereka di laman IG," teriak Yoyo berlari ke arah kami sambil fokus melihat layar hp, tak menyadari kehadiranku.

Seketika ia mendapat dua hadiah pukulan bersamaan dari Sisca dan Hadi. Menyadarkannya dari kecerobohannya yang tanpa sengaja menyakiti perasaanku.

"M-m mbak Elena?"

Aku terdiam, menikmati perih itu yang kembali memenuhi hati. Kak Arsen, apa kau sangat bahagia bersama Nindy? Bagaimana dengan diriku yang selalu menantimu di sini?

***

Terpopuler

Comments

Vita Zhao

Vita Zhao

elena ayolah nyerah ajah kenapa sih masih ajah buta karna cinta, makin sebel nih.
lemah banget jadi cewek

2022-07-11

1

Hetty Nirawati

Hetty Nirawati

ko lebay n bucin banget sih si elena bikin kita jadi sebel ,aku suka tokoh wanita yg.kuat n dan cerdik klo tokoh gini hadeh perut mules baca sikap elena yg super zuper Bodoh dan bloon !!!

2022-07-07

2

Masitoh Masitoh

Masitoh Masitoh

maaf Elena bodoh sekali...Hajar arsen supaya menyesal

2022-07-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!