“Kita harus berarti untuk diri kita sendiri dulu sebelum kita menjadi orang yang berharga bagi orang lain.” – Ralph Waldo Emerson.
“Mama, Papa.” Ucap Dave kaget melihat keua orang tua di depannya. “Dave, aduh mama kangen.” Mamanya Dave langsung memeluk dengan hangat anak semata wayangnya itu. “Kok kalian ada disini?’ Tanya Dave masih heran. “Emang gak boleh orang tuanya kangen sama anaknya ?” Jawab Mama Dave yang masih memeluk Dave. “Gimana kabarmu?” Tanya Papa Dave yang sudah berdiri dari tempat duduknya.
“Baik Pa.” Dave pun menyalami tangan Papanya. “Ini siapa Dave?” Tanya Mamanya Dave melihat diriku yang ada di belakang Dave. “Saya Sarah Tante.” Aku pun menyalami tangan Mamanya Dave. “Sarah? Oh anaknya Risty? Apa kabar? Wah jadi cantik ya sekarang.” Ucapnya sambil membelai rambut hitam panjangku.
“Baik Tante, Tante apa kabar?” Tanyaku. “Tante baik Sarah, Dave sering cerita tentang kamu sama Tante, kamu masih ingat kan Tante Rita sama Om Albert, dulu kamu sering main ke rumah Tantekan?” “Iya Tante, Sarah masih inget kok.” Ucapku.
“Pa, inget Sarah gak Pa? itu anaknya Bu Risty sama Pak Alex, temen kecilnya Dave waktu SD.” Ucap Tante Rita kepada Om Albert. “Oh Sarah, apa kabarnya?” Tanya Om Albert. “Baik Om, Om apa kabar?” Tanyaku. “Om Baik, gimana kabar orang tua kamu?” Tanya Om Albert yang membuatku gugup.
“Me-mereka.” Ucapku terbata. “Ma, Pa, Dave ke atas dulu ya, mau pergi lagi abis ini, mau urut tangannya Sarah, tadi jatuh terkilir waktu di Sekolah.” Ucap Dave yang langsung menarik tangan kananku dan mengajakku ke kamarnya di lantai atas. “Iya, nanti Sarah kita ngobrol-ngobrol lagi ya, Tante sama Om juga mau pergi ketemu temen Tante disini.” Ucap Tante Rita. “I-iya Tante, hati-hati di jalan.” Setelah itu orang tuanya Dave keluar dari Rumah Dave menaiki mobil mewah berwarna putih yang aku lihat dari jendela kamar Dave. Mereka suka aku gak ya.
“Kamu kenapa?” Tanya Dave yang sudah duduk disebelahku di tepi tempat tidurnya setelah dia mengambil barang barang yang dipinjamnya dari Ivan. “Ehmm Gak pa-pa.” Ucapku. “Yakin?” Ucapnya dan melingkarkan tangan kirinya di bahuku. “Iya gak pa-pa, ya udah yuk kita berangkat sekarang.” Ucapku langsung bangkit dari dudukku dan keluar dari kamar Dave. Apa yang harus aku lakukan, apa aku harus memberitahukan Dave yang sebenarnya.
Keesokan harinya di Sekolah, setelah kemarin tanganku di urut oleh tetangga yang ada di rumah Ivan, aku masih memikirkan sesuatu yang sejak kemarin mengganggu pikiranku. “Sayang, Sayang.” Panggil Dave kepadaku lembut. “Eh Dave, kenapa?” Ucapku kaget karena dipanggil Dave saat kami berada di Kantin Sekolah.
“Kenapa makanannya gak dimakan? Kamu sakit?” Dia meletakkan punggung tangannya di keningku. “Enggak kok, gak pa-pa Dave.” Aku menarik tangannya dari keningku. “Atau tangan kirinya masih sakit?” Tanyanya lagi penuh cemas. “Gak pa-pa beneran, udah jangan khawatir gitu ya.” Aku mengelus pipinya yang ditumbuhi bulu halus itu, dia pun mengambil tanganku dan memberikan kecupan disana. “Ya udah kalo gak pa-pa, sekarang kamu makan dulu ya.” Ucap Dave. “Iya.” Ucapku dengan mengangguk.
Aku pun berusaha memasukkan makanan yang ada di piringku dengan pikiran yang terbang memikirkan sesuatu. “Oh iya, besok nanti sabtu, orang tuaku ngajak kamu buat makan malam, kamu mau ya?” Dia melihatku lekat penuh harap. “Iya aku mau.” Jawabku. “Sip, nanti aku jemput ya.” Ucap Dave. “Iya Dave.” Aku melihat lagi nasi yang ada di piringku. Tuhan apa yang harus aku lakukan.
Aku melihat ke atas langit biru berawan putih yang hangat karena sinarnya sang surya dengan pikiranku yang ikut melayang bersama awan putih itu. Ibu apa yang harus aku lakukan.
Aku tertunduk dan tak terasa air mataku jatuh membasahi pipiku. Sarah jahat ya Bu, Sarah bingung harus bagaimana lagi.
“Kamu gak pulang?” Aku terkejut dan dengan cepat menghapus air mataku. “Kak Indra, ngapain Kak disini, Kakak gak pulang?” Aku berusaha tersenyum kearahnya saat dia sudah berada disampingku di balkon lorong sepi lantai tiga Sekolah ini. Dia mengusap kepalaku dan ikut tersenyum. “Belum.” Aku melihat dia sedang membawa bola basket ditangannya.
“Dave kemana?” Tanyanya. “Oh Dave tadi udah balik duluan Kak, dia tadi ada urusan diluar, jadi buru-buru baliknya.” Ucapku. “Ohh.” Entah mengapa setiap jawaban singkat dari Indra sudah tidak pernah lagi menjadi masalah untukku. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke atas langit sana.
“Kamu kenapa?” Tanya Indra. “Gak pa-pa Kak.” Ucapku tertunduk dan menghembuskan napasku dengan berat. “Jangan pura-pura tegar kalo lagi sedih.” Ucapan Indra seketika membuat kristal air mata yang sedari tadi aku tahan pecah seketika, aku tetap tertunduk dengan isakan tangisan yang tidak dapat lagi kutahan. Indra mengusap kepalaku membuatku semakin menumpahkan kesedihanku. “Menangislah, keluarkan semuanya biar hatimu tenang.” Tanpa ada kata-kata lagi dari Indra membuat lorong sepi itu dipenuhi hanya dengan isakan tangisanku.
Setelah kejadian pulang sekolah di lorong sepi lantai tiga tadi, aku sekarang duduk di pinggiran lapangan basket melihat laki-laki yang mendengar tangisanku tadi dengan lihainya memasukkan bola bundar merah ke dalam ring basket.
“Hebat Kak, dari tadi masuk terus.” Teriakku kepada Indra dan dia hanya tersenyum kearahku. “Mau coba main?” Tanyanya. “Ehmm gak bisa Kak, nanti malah jatuh lagi.” Ucapku. “Enggak sini, aku ajarin ngelemparin bolanya aja, ayo sini.” Aku pun berdiri dari dudukku dan mendekati Indra.
“Sini kamu didepan, pegang bolanya kayak gini biar enak waktu ngelemparnya.” Ucapnya. “Gini Kak.” Ucapku dengan posisi yang di tunjukkan oleh Indra. “Tangannya agak naik sedikit.” Ucap Indra dan dengan tidak sengaja telapak tangannya menyentuh punggung tanganku dengan posisinya yang ada tepat dibelakangku. Aku pun menoleh ke belakang, membuat mata kami bertemu selama beberapa detik. Perasaan ini.
Dan tiba-tiba wajah Indra sudah berada di depanku yang membuat bibirku dan bibirnya bertemu, bola basket yang aku pegang jatuh ke lapangan basket yang hanya ada aku dan Indra. “Kak.” Ucapku. “Maaf.” Dia langsung mundur beberapa langkah sehingga menjauhkan pertemuan bibir kami tadi.
Aku hanya tertunduk dan seketika hatiku merasa bersalah dengan Dave. “Aku balik dulu ya Kak.” Dengan cepat aku mengambil tasku di pinggir lapangan dan berjalan dengan cepat menuju ke gerbang sekolah tanpa melihat lagi ke belakang sosok Indra yang masih berdiri mematung di lapangan basket itu. Apa yang kamu lakukan Sarah, dasar bodoh kamu Sarah.
Setelah sampai di gerbang sekolah, saat aku sedang mencari handphone yang ada di dalam tasku yang sedari tadi berbunyi saat aku meninggalkan lapangan basket, tetapi saat aku sedang mencari handphone di dalam tasku aku melihat ada mobil hitam yang masih terpakir di parkiran Sekolah yang aku kenal sekali mobil siapa itu. Kak Edgar.
BERSAMBUNG.
Mohon vote, love, like dan komentarnya readers, terus ikuti kisahku ya.
Terima kasih supportnya!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
🏕ℛ𝓲𝓷𝓪ᷞ ͧ ͨ ͣ ͥ ͫ ᏩεšᖇεҜ๏❥࿐
kenapaa pada langsung2 main gass ajaa sih bang 🤔🤔
2021-05-31
0
🍾⏤͟͟͞͞★<мαу ɢєѕяєк>ꗄ➺ᶬ⃝𝔣🌺
dihhhh kenapa pada main nyosor semua bang 🤣🤣
2021-05-27
0
Ita Ta'nifah
sarah lebih baik terbuka terhadap dave dan kedua orang tua dave,walaupun berat untuk me gutarakannya...
semangat sar....💪🏻😊
2021-01-24
0