Dena.
Wanita itu duduk di kursi, dekat ranjang yang ditiduri Rafa, yang sedang dirawat inap. Imun tubuhnya sangat lemah dikarenakan kebanyakan setres dan kurang gizi.
Dena tidak mengerti mengapa Rafa seperti ini. Meski memang terlihat wajahnya pucat akhir-akhir ini, tapi kenapa harus sampai pingsan? Rasanya Dena juga tidak membebankan pekerjaan berat padanya seperti Rafa pada Dena sewaktu kehidupan masih menatap Rafa.
Berjam-jam Dena menunggu, pria itu tidak kunjung bangun juga. Dena sudah tidur lebih dari tiga jam sejak pukul dua pagi.
Dena melihat jam keberangkatan mereka kembali ke Jakarta, sekitar pukul enam. Sekitar satu jam lagi pesawat berangkat.
Tapi Rafa yang sedang sakit, apa harus dibiarkan? Sebenarnya bisa saja. Tapi sebagai atasan, tidak mungkin Dena membiarkan bawahannya sendirian di rumah sakit ini. Seharusnya dia menjaganya! Pergi bersama, pulang bersama.
Namun, di rumah ada suami dan putranya yang menunggu. Dena ada janji akan bersama-sama mereka di liburan akhir pekan. Lagipun liburan akhir pekan sudah menjadi kebiasaan Dena dan keluarga kecilnya bahkan sebelum Dena menjadi orang 'hebat' saat ini.
Apa yang harus Dena lakukan?
Ketika kepusingan wanita itu perihal dia akan berangkat sendiri atau diam di sini bersama Rafa menunggu pria itu bangun, suara deringan ponsel dari tas kantor Dena berbunyi.
Dena berdiri dan melihat siapa yang sedang menghubunginya. Ray.
Sangat cemas juga, takut kalau Ray salah paham. Mana Ray menghubunginya dengan panggilan video pula lagi itu.
Setelah panggilan ketiga dari Ray, yang tetap berusaha menghubunginya, akhirnya dengan berat hati Dena menggeser layar ponselnya ke tanda warna hijau. Terangkat.
"Allo, Bunda! Lama ada di cini," suara girang dari Ray yang sedang menyuarakan suara Rama.
Dena tidak hanya melihat Ray, tapi juga Rama. Putranya itu duduk di depan layar dengan tangan diangkat dan dilambai-lambaikan Ray.
"Hallo, sayangnya Bunda. Apa kamu baik-baik saja di sana?" tanya Dena terharu. Dua hari ada pertemuan beruntun di kota Batam, membuat Dena tidak melihat Rama selama itu. Ia sangat rindu, dan tanpa sadar air matanya keluar.
"Lama baik-baik aja di cini. Ayah baiiiikkk banget cama Lama! Lama dikacih mandi dan digendong tiap hali!" lagi-lagi Ray yang menyuarakan suara Rama. Meski tidak sejelas suara Ray yang hanya bisa mengatakan, 'Ayah dan Bunda', tetap saja ada kemiripan sedikit!
"Apa benar itu, Rama sayangnya Bunda?" aku bertanya pada Rama yang asli. "Bukannya yang selalu rawat kamu adalah Bi Inah? Kapan Ayah jadi teman kamu?" sejenak, pusingnya kepala hilang karena melihat putraku baik-baik saja. Apalagi Ray yang sangat dekat dengan Rama, membuatku tidak perlu takut dengan pikiran buruk, kalau Rama akan dijahati oleh Ray teringat Rama bukan putra kandungnya.
"Bi Inah ada urusan semalam, ibunya sakit di kampung dan katanya akan menuju ajal. Jadi harus buru-buru berangkat, aku sudah mengongkosinya, jadi tidak perlu berpikir tentang biaya dan sebagainya."
Aku mengangguk paham. "Jadi setelah bi Inah pergi, kamu yang jaga Rama?"
"Yah, begitulah. Oh, ya kau masih dalam rapat? Soalnya terdengar sepi… Coba kasih liat gimana keadaannya."
Aku terpaku untuk sejenak. Apa aku harus mengatakan kalau kami tidak ada dalam rapat melainkan sudah di rumah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments