POV Dena
"Sebenarnya yang namanya pembagian hak warisan harus dibicarakan di depan keluarga. Apa kau punya keluarga lain selama ini?"
Aku termenung sejenak. Memikirkan apakah aku punya keluarga atau tidak. Selama tinggal bersama Ibuku, aku memang hanya punya beliau di sampingku. Tapi Ibu meninggal dua tahun yang lalu.
Suami dan keluarganya, memang mereka adalah keluargaku. Tapi melihat sifat Ibu mertua yang agaknya cinta harta, aku takut dia melakukan trik gila lagi untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Ya, memang. Aku tau dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Dia tidak menyukaiku, maka dia menghasut putranya untuk membenciku. Dan kalau aku undang mereka untuk pembacaan hak warisan ini, bisa-bisa dia bertambah jahat karena warisan ini bukan sesuatu yang mudah dibicarakan. Ini uang, bukan uang dengan nominal kecil. Aku saja sempat terkejut mendengar berapa jumlahnya.
Apalagi ibu mertua yang senang harta, hah! Dia mungkin akan membelanjakan semua uang itu hari ini kalau memilikinya.
"Dena Aulia. Kenapa kau termenung?" suara pak tua Gilang menyadarkanku.
Aku tersadar dan melihat kepada Rayyan dan Gilang. "Aku baik-baik saja," ucapku berusaha tenang.
Gilang mengangguk. "Apa kau punya saudara kerabat atau apapun yang bisa dijadikan bukti atas penyerahan semua aset-aset ini, Dena Aulia?"
Segera aku menggeleng. "Aku tidak punya apapun, Pak. Orangtuaku meninggal dan tidak ada orang lain selain beliau."
"Bukankah orangtuamu memang sudah meninggal sebelum dan sesudah kau lahir, Dena Aulia?" terdengar pria tua itu penasaran.
"Orangtua angkatku, maksudnya." Oh Tuhan, aku menyebut wanita yang benar-benar kuanggap sebagai Ibu adalah orangtua angkat.
Mungkin memang benar, karena dari semua cerita ayah mertua, ibu kandungku sudah meninggal beberapa saat setelah aku lahir. Dan aku menghilang entah ke mana hingga bertemu setelah dewasa.
Tapi aku merasa sangat berdosa setelah almarhum merawatku meski tidak melahirkanku, tetap saja aku berhutang banyak padanya.
Yang beliau meninggalnya sebelum kabar ini, kalau tidak aku akan membahagiakannya dengan membangun rumah masa kecilku yang sudah mirip seperti rumah rongsokan menjadi istana besar seperti mimpiku semasa kecil.
Tapi apa daya, beliau sudah pergi ke sisi-Nya. Aku tidak bisa berbuat apapun karena pasti Ibu sudah merasakan bagaimana surga itu. Ibuku orang baik, tidak mungkin masuk neraka.
"Tapi bukannya kau pernah bilang punya suami tapi diceraikan? Itu termasuk keluargamu loh." Pria di sampingku, Rayyan. Entah sadar atau tidak malah membuka apa yang terjadi belum lama ini.
Mata Gilang terlihat menelisikku dalam. "Apa benar itu, Dena Aulia?"
"Be-nar…" jawabku ragu. "Tapi aku tidak ingin mereka hadir di sini. Perlu bapak tau saja, mereka sudah membuatku kehilangan banyak hal termasuk tubuh dan hatiku yang utuh."
"Maksudmu?"
"Sekitar tujuh bulan yang lalu, aku bertemu Ayah Mertua Dimas, kata beliau, dia berteman dengan Ayah kandungku. Awalnya memang aku tidak percaya. Tapi dia menjelaskan banyak hal bahkan melakukan tes DNA. Terdapat kecocokan, yang hampir mendekati sembilan puluh sembilan persen, yang menyatakan kalau aku benar anaknya. Dan mungkin dia melihat kecocokan antara aku dan putranya, Rafa. Maka menjodohkan kami. Sifat keluarga yang sangat baik tidak kusangka akan sangat buruk saat Ayah Mertua meninggal."
"Maksudmu, mereka memperlakukanmu kasar?" tebak pak Gilang.
Aku mengangguk. "Seperti itulah, bahkan lebih kejinya mereka mengusirku setelah menceraikanku. Aku sedang mengandung," kuelus perutku yang segera dilihat pak tua Gilang.
Terlihat rahang pak tua Gilang mengeras dan tampaknya dia sangat marah saat ini. "Beraninya keluarga sialan itu mencelakai putri Beriq!"
"Ayah, jangan marah gitu. Ingat jantung Ayah!" Ray mendekati pak tua Gilang. Dia memenangkan pria tua itu seraya memberikan minum padanya.
Ini membuatku sangat bersalah. Padahal niat awalku hanya mendapatkan harta yang ditinggalkan Ayahku padaku untuk balas dendam.
Aku akan membuat mereka bertekuk lutut seperti anjing pada majikannya. Memiliki obsesi membuatku lupa Gilang sudah tua.
"A-aku sudah tidak apa, pak Gilang. Mungkin sudah nasip… Mungkin pak tua bisa sekedar bacakan saja apa surat wasiat yang diberikan Ayah saya pada saya. Perusahaan itu perusahaan besar, mungkin selama kehamilan saya bisa mempelajari cara perusahaan itu berkembang, saya akan coba semaksimal mungkin supaya saya layak dalam jajaran kepemimpinan perusahaan itu," ucapku merendah.
Pria tua itu mengangguk. "Baiklah, mungkin itu jalan terbaiknya. Ray bisa jadi walinya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments