Mendekati hari raya memasuki bulan Ramadhan. Berziarah menjadi salah satu kebiasaan sebagian orang.
Mereka sekeluarga juga melakukannya. Mengunjungi makam almarhum ayah mereka.
Ibu selalu tak mampu menahan tangisnya setiap berziarah.
"Anak-anakmu sudah semakin dewasa. Edelweis membantuku menerima pesanan makanan."
Mereka berdoa dengan khusyuk.
Edelweis menumpahkan segala kesedihannya.
"Kak!" Basil mengusap punggung kakaknya sedangkan Amarilis menggenggam tangannya. Berusaha meredam tangis Edelweis yang menyayat hati.
Tangisan Edelweis kali ini begitu memilukan. Tidak seperti biasanya.
Ibu mengusap airmatanya berulang kali.
"Kau jangan menangis seperti itu! Hatiku tidak kuat mendengarnya. Lihat adik-adikmu juga turut bersedih. Seperti mendapat musibah besar yang tidak dapat termaafkan. Kau harus mengikhlaskan kepergian ayahmu!"
Tangis Edelweis semakin keras dan deras.
Ibu memeluk Edelweis erat-erat.
"Maafkan ibu, yang selalu membebanimu semenjak kepergian ayahmu!"
Tangis Edelweis kembali pecah.
"Aku tidak ingin membebanimu. Aku juga ingin kau seperti anak lainnya. Menikmati hidupmu tanpa beban. Tapi aku tidak punya pilihan lain."
Edelweis hanya menggelengkan kepala dan tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Matanya bengkak. Dadanya sesak dipenuhi tangis. Hidungnya merah. Wajahnya dipenuhi air mata dan ingus.
Edelweis sendiri merasa nyekar kali itu membuatnya bisa mengeluarkan semua emosi terpendamnya.
Kesakitannya akan kejadian buruk yang menimpanya. Semua kesedihannya. Mengeluarkan semua emosi negatifnya.
Sepulang dari tempat nyekar. Mereka mampir ke sebuah kedai bakso. Kedai yang kerap mereka datangi kalau mereka berziarah ke tempat almarhum ayah.
Kedainya tidak besar tetapi bersih. Makanannya juga sangat enak.
Bakso, mie ayam, aneka gorengan, lontong yang bisa dimakan bersama bakso, pengganti nasi. Kerupuk dan kacang goreng.
Edelweis memesan semangkuk bakso dengan dua buah lontong, satu kerupuk, sebungkus kacang goreng, satu buah bakwan dan tahu isi goreng.
Basil sendiri memesan semangkuk mie ayam bakso. Kerupuk. Tiga bakwan, dua tahu isi dan dua pisang goreng.
Amarilis memesan semangkuk bakso, satu buah lontong, dua bakwan dan kerupuk.
Ibu sendiri, memesan bakso, satu buah lontong dan bakwan, kerupuk. Empat buah teh tawar hangat.
"Bu, ada yang ingin kusampaikan." Basil membuka suara.
"Apa itu?"
"Aku mendapatkan pekerjaan freelance."
"Lalu?"
"Kupikir aku bisa membantu kakak dan ibu."
"Sebaiknya, kau sekolah dulu."
"Tidak mengganggu sekolah, kok, bu. Pekerjaannya secara online dan flexible time."
"Kalau mengganggu, bagaimana?"
"Aku sudah menjalaninya selama enam bulan."
"Kau keras kepala! Aku tidak ingin sekolahmu berantakan."
"Ada yang ingin kukatakan juga, bu. Amarilis membuka suaranya.
"Apa itu?"
"Temanku mendaftarkan aku ikut pemilihan model. Aku lolos. Aku mendapatkan pekerjaan sebagai model."
"Kalian sangat keras kepala! Ibu tidak ingin sekolah kalian berantakan."
"Aku bisa mengatur waktuku, bu. Kau tidak usah khawatir. Aku tetap sekolah. Melanjutkan kuliah serta berusaha mencapai cita-citaku."
"Tapi itu tidak mudah."
"Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin, bu."
Pesanan mereka datang.
"Aku dan Basil berpikir bahwa kakak sudah bisa bekerja kembali dan tidak perlu membantu ibu lagi."
"Maksudnya, bagaimana?" Edelweis bertanya dengan suara sengau.
"Ibu tidak usah menerima pesanan lagi. Uang dari aku, kak Basil dan kalau kakak nanti bekerja kupikir cukup. Untuk apa ibu bekerja menerima pesanan lagi?"
"Kau benar!" Edelweis mengganggukkan kepalanya.
"Kau menyetujuinya?" Ibunya menatap wajah putri sulungnya.
"Mereka bisa dipercaya dan selalu menepati kata-kata mereka. Selama mereka tetap sekolah dan berjanji melanjutkan kuliah mereka sampai selesai. Kupikir tidak ada salahnya."
"Kalau kalian semua bersikeras, ibu bisa apa."
"Ibu tidak perlu menerima pesanan lagi. Aku akan menerima pekerjaan yang ditawarkan Ryan untukku."
"Kau akan meninggalkan ibu dan adik-adikmu?"
"Aku tidak meninggalkan tetapi aku mengejar pekerjaan impianku. Sebulan sekali aku akan menelponmu, bu!"
"Baiklah! Kalau kau bersikeras. Ibu tidak akan menerima pesanan lagi. Ibu akan mengatur uang yang kalian berikan pada ibu. Bagaimana?"
Edelweis memeluk ibunya dengan sangat erat. Mencium pipinya.
"Terima kasih,bu."
Dia juga mencium kedua adiknya. Memeluk keduanya. Matanya mengaca. Bulir bening jatuh meluncur di kedua pipinya.
"Kak! Jangan menangis. Kami akan menjaga ibu dengan baik. Kau tidak usah khawatir!"
Tenggorokan Edelweis tercekat. Dadanya dipenuhi rasa haru yang tidak bisa digambarkannya dengan kata-kata.
"Aku akan meraih impianku!" bisiknya lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments