Rajasa
Hati wanita kalau diibaratkan sebuah buku atau novel merupakan cerita yang sangat sulit dipahami apalagi jika yang membaca tidak mampu memahami kalimat atau maksud atau menarik kesimpulan dari buku yang dibacanya.
Edelweis mengantarkan kepergian Rajasa dan Ryan sedangkan Roy sedang sibuk mengurusi usaha kaos sablonnya dan tidak bisa mendelegasikannya kepada siapapun karena dia belum menemukan pegawai yang bisa menggantikan pekerjaannya saat ini.
"Aku akan mencari kopi untuk kita." Ryan berjalan mendahului mereka.
"Sebaiknya kita bareng saja mencarinya." saran Edelweis.
"Tidak perlu. Ada sesuatu juga yang harus kucari. Untuk tanda mata lurah di sana dan aku lupa membelinya karena begitu banyak persiapan yang harus dilakukan."
"Terserah kau saja."
"Mengapa kau tidak ikut aku dan Ryan? Dulu kau sampai membuatkan aku dan Roy steak untuk membujuk kami agar memberikanmu cuti tambahan. Apa kau memang senang melawan peraturan? Atau berbohong tentang pekerjaan impianmu atau takut dipacarin harimau?" Rajasa bertanya setelah Ryan berlalu dari hadapan mereka.
Edelweis tergelak.
Rajasa melotot marah, "Aku tidak berniat melucu. Meminta pertanggungjawabanmu."
"Tanggung jawab? Memang aku menghamilimu dan memang kamu bisa hamil?" Edelweis semakin tergelak.
Rajasa terdiam membisu.
"Sudah puas tertawanya?"
"Lucu kan?"
Rajasa hanya terdiam.
"Kau kenapa sih?"
"Kau yang kenapa?"
"Baiklah kau mau tau alasannya?"
Rajasa menganggukkan kepalanya dan memusatkan perhatiannya.
"Kau kan suka sekali mengejar wanita-wanita cantik. Supaya tidak terganggu aku tidak ikut. Bagaimana?"
"Alasan macam apa itu? Kau tau persis kalau aku mengejar mereka aku pasti sangat membutuhkan bantuanmu." sahutnya tersenyum sinis dan kecewa, "Aku tidak bisa menerima alasanmu yang sangat tidak masuk akal dan mengada-ada. Faktanya aku kehilangan orang yang bisa kuperbudak dan eksploitasi!"
Giliran Rajasa tertawa melihat Edelweis mendadak jutek.
"Ya itu alasannya! Aku tidak mau diperbudak dan dieksploitasi!" wajahnya ditekuk menjadi seribu lipatan.
"Copy cat dan licik sekali, membajak alasan yang ku buat asal-asalan."
"Bukan asal-asalannya tapi nilai kebenarannya sangat akurat!"
"Terserahlah!"
"Aku tidak tega meninggalkan ibu dan adik-adikku. Tidak ada sinyal di hutan dalam waktu lama. Mereka akan kesulitan menghubungiku. Aku tidak mau menyusahkan pikiran ibuku."
"Kalau adik-adikmu kan malah bahagia kalau kau tak ada!" Rajasa tergelak.
"Sok tahu!"
"Mengapa kau tolak beasiswa dan pekerjaan sebagai jurnalis? Kau dulu yang melamar dan menginginkannya. Begitu kau dapatkan, kau lepaskan begitu saja? Begitukah caramu menginginkan sesuatu hanya berdasarkan ego dan obsesi? Hanya sekedar pembuktian bahwa kau bisa memperolehnya? Jangan katakan tidak ada sinyal di negara semaju itu?"
"Aku masih trauma dan aku tidak tau apakah aku siap dengan semuanya karena semua terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan? Bagaimana kalau terulang lagi? Aku bisa gila dan hancur berkeping-keping. Belum lagi...."suara Edelweis menggantung terpotong ucapan Rajasa.
"Aku ,kau dan Roy. Hanya kau sendiri yang menyerah dan melepaskan semuanya?"
"Aku....."mata Edelweis memanas.
"Hey! Kita harus check in!" panggil Ryan.
"Maafkan aku, nanti kita sambung lagi oke? Kalau kau berubah pikiran kau sudah tau kan harus menghubungi siapa? Aku dan Ryan menunggumu bergabung. Anytime!"
Edelweis menganggukkan kepalanya.
"Jaga dirimu baik-baik! Jangan genit!"
Kontan Edelweis tertawa.
"Hmm, kumat! Dibilangin jangan pasti kebalikannya yang kau lakukan!"
"Kau selalu curiga! Padahal yang genit itu kau bukan aku!"
"Entahlah! Aku tidak ingin kau dilirik lelaki lain apalagi kalau kau sampai jadian dengan Roy, awas saja!"
"Memangnya kenapa?"
"Aku tidak akan memaafkan kalian berdua!"
"Yang mau minta maaf padamu siapa? Yang merasa bersalah siapa? Kapan cinta pernah salah?"
Rajasa menghentikan langkahnya.
Menatap lurus kepada Edelweis.
"Kau mencintai Roy?"
"Emang aku ngomong apa sih?"
"Kau tidak mencintaiku?"
"Kau kenapa sih?"
"Siapa sih yang kau cintai?"
"Benar kau mau tahu?"
Rajasa menganggukkan kepalanya.
Edelweis tersenyum lebar.
"RAHASIA!!!"
"Awas kau!!!"
Edelweis tergelak.
"Kau sendiri yang bilang kau dan Roy akan menungguku dewasa dan membiarkanku memilih tanpa ada paksaan."
"Menyesal aku mengatakannya. Bisa kukoreksi?"
"Tentu bisa."
"Baiklah, aku tidak jadi menunggumu dewasa dan aku tidak peduli kalau kau memilihku dengan terpaksa."
"Baiklah, nanti ya satu abad lagi."
"Satu abad lagi?"
"Kau bisa mengkoreksinya satu abad lagi. Kau kan tetap harus memberikanku waktu."
"Ah! Sudahlah! Bisa berantakan otakku meladenimu. Aku dan Ryan pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik."
"Kau juga ya?"
"Kau tidak berpesan supaya aku tidak jelalatan di sana? Kalimantan banyak wanita cantiknya."
"Memangnya bisa kularang?"
"Tidak sih...."
Edelweis tertawa, " dasar mata keranjang! Hati-hati kau dan Ryan."
"Ok, kau juga!"
"Edelweis, kami pergi dulu ya?" pamit Ryan.
"Ya, kau hati-hati ya."
"Kau juga. Kalau kau berubah pikiran, kau tau kan harus menghubungi siapa?" Ryan mengingatkan.
"Ya, terima kasih. Jaga dirimu baik-baik...."
"Kau juga...."
Mereka saling melambaikan tangan dan Edelweis kembali pulang seorang diri berniat memanggil taksi ketika ada suara yang dikenalinya.
"Apakah aku terlambat?" Roy datang tergesa-gesa.
"Mereka baru saja masuk."
"Aku baru selesai dan langsung ke sini secepat kilat."
" Aku telpon Rajasa ya?"
"Biar aku saja."
Roy menelpon Rajasa.
"Halo bro! Lo udah dimana? Gue baru aja sampai. Begitu selesai langsung cuzz ke sini."
Terdengar suara Rajasa menjawab dari seberang telpon.
"Lo mah modus."
Keduanya tergelak.
"Jaga diri lo dan Ryan baik-baik ya ...."
"Gue juga titip Edelweis ya...."
"Gak usah khawatir, bro. She is in the right hand."
"Gak sih sebenernya cuma gue gak ada pilihan aja."
Mereka kembali tergelak.
"Gue bisa ketemu lo sama Ryan last minute?"
"Gak usah ya, kita udah check in dan sekarang lagi antri nunggu masuk ke dalam pesawat."
"Ok deh kalau begitu...."
"Ok, see you."
"See you...."
Roy mematikan gadgetnya. Menoleh pada Edelweis.
"Temenin makan yuk...."
"Heran, seneng banget minta temenin makan."
"Kamu udah makan?"
"Tadi Ryan beliin kopi sama donat."
"Itu ngemil namanya. Ayolah temenin aku makan."
Roy memilih food court masakan tradisional.
Memesan nasi campur kesukaannya, dua gelas es dawet untuknya dan Edelweis. Edelweis sendiri memesan nasi pecel dan lontong.
"Ini kamu mau gak?" Edelweis menyodorkan donat yang dibeli Ryan.
"Gak deh kenyang. Bawa pulang aja nanti makan kalau pas kamu laper atau kamu kasih siapa kek....Aku udah kenyang."
Edelweis meneruskan makannya.
"Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini sering keliatan kayak mau nangis?"
"Masak sih?"
"Kalau gak mau cerita gak apa-apa."
"Kamu bisa dipercaya gak?"
"Emang aku pernah ember bocor?"
"Gak sih. Tapi janji ya jangan kasih tau siapa-siapa."
Roy tersedak dan nyaris meledak tawanya.
"Kamu kenapa sih?"
"Kayak anak sd aja. Jangan bilang siapa-siapa."
Mereka berdua tertawa.
"Sahabatku menghilang."
"Kamu sedih?"
"Iyalah, aku sama dia kan udah bersahabat sejak lama sejak smp dan sampai dia menghilang."
"Kamu gak jatuh cinta kan sama dia?"
"Aku gak tau. Yang jelas aku sedih dia menghilang. Aku juga gak mau persahabatan kami berubah jadi cinta. Aku juga gak mau dia meninggalkan pacarnya."
"Ribet amat!"
Mereka kembali tergelak.
"Masak?"
"Iya. Kalau pake lampu aladin, pusing deh jinnya menuhin permintaanmu dan dengan frustasi dia bakal bilang, hey! gak bisa ya minta yang biasa-biasa aja kayak rumah gedong, permadani tebal, makanan enak?"
Mereka kembali tergelak.
"Dia gak suka kalau aku berubah menjadi bukan diriku yang dia kenal dan suka."
"Memang kau bunglon, bisa berubah-ubah?"
"Bukan, aku power ranger."
Mereka kembali tergelak.
"Ketika aku jadi sekretaris. Dia tidak suka melihatku dandan, sibuk sampai ganti nomor supaya lebih fokus dengan pekerjaanku. Gaya berpakaianku. Semuanya."
"He is not for you then."
"Tapi aku bisa mengerti sikapnya."
"Tetap aja kau sedih karena dia tidak bisa mencintai keseluruhan dirimu. Ada yang dia sukai dan tidak darimu. Sedangkan kau sendiri kan tidak bisa mengelak dari itu semua. Tuntutan pekerjaanmu."
"Ya itu sebabnya aku tidak ingin semuanya berubah. Berteman tanpa saling mencampuri kehidupan masing-masing."
"Itu kalo judul lagu love is hurt, love is ain't enough sama bojo galak!"
kontan mereka berdua tertawa.
Tiba-tiba Edelweis tidak bisa menahan emosinya. Bahunya berguncang dan air matanya turun dengan deras.
"Menangislah kalau kau ingin menangis."
Edelweis tidak bisa menahan air matanya. Semua emosinya keluar begitu saja. Dia menyedot ingusnya dan mengambil tissue untuk menghapus airmatanya yang terus keluar dan tidak mau berhenti.
Setelah puas menangis. Dia menghapus sisa tangisnya.
"Maafkan aku!"
"Buat apa kau minta maaf? Kau tidak salah apa-apa."
"Aku menganggu makanmu. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa menahan air mataku."
"Wajar saja kau sedih. Semua orang yang berada di posisimu sama. Love is ain't enough."
"Aku senang kau bisa mengerti. Kadang akal sehat kita sudah paham tapi perasaan kita seperti gak mau diajak kompromi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Aerik_chan
Ayo kak semangat....
Saling dukung yuk, #By Your Side
2023-05-25
0
Gembelnya NT
Smangat, Kak
2022-08-01
0