Edelweis datang agak terlambat karena membantu ibu dan adiknya, Amarilis membantu ibu mereka menerima pesanan makanan.
Semenjak Edelweis berhenti bekerja maka pencari nafkah tunggal kembali ibu mereka.
Ibunya mengerti keadaan Edelweis yang sedang tidak semangat dan patah hati juga arang.
"Kau mau bertemu Roy?"
"Iya."
"Ya sudah tapi jangan pulang terlalu malam."
"Tapi kalau masih mau mengobrol bagaimana?"
"Mengobrol saja di rumah kan bisa?"
"Baiklah, bu...."
Edelweis sangat bersyukur ibunya tidak mempermasalahkan keputusannya menolak pekerjaan sebagai jurnalis dan bea siswanya.
Walaupun ibunya sering mengomeli dan memarahinya tetapi di saat dia membutuhkan dukungan dan pengertian, ibunya adalah yang terbaik di dunia.
"Bu, aku pergi dulu ya...." Edelweis mencium ibunya mesra.
"Kak, bawa martabak dong!" pesan Amarilis.
"Martabak aja?"
"Iya. Keju apa coklat?"
"Keju!"
"Baiklah."
Roy menjemput tepat pukul 7.
"Kita ke Bandar Jakarta, yuk...."
"Gak kejauhan?"
"Gaklah, aku pengen ngobrol santai dan gak mau buru-buru pulang!"
"Ijin dulu sama ibu! Karena tadi ibu pesen gak boleh pulang malam."
"Baiklah!" Roy turun dari mobil dan mencari ibu Edelweis.
"Tante, selamat malam."
"Malam, Roy! Jangan pulang malam ya, Roy?"
"Justru itu tante... Mau minta ijin ajak keluar Edelweis sampai malam karena kita mau ke Bandar Jakarta."
"Jauh banget, Roy! Deket sini kan banyak sea food. Yang di tenda enak loh, murah meriah, gak mahal. Disitu kan mahal, Roy? Jauh lagi...."
"Gak apa-apa, tante...Refreshing. Tempatnya enak buat ngobrol apalagi kalau ambil spot di pinggir deket pantai."
"Ya sudah terserah aja. Tapi tante minta kamu jaga Edelweis baik-baik ya? Jaga batas pergaulan."
"Iya tante, insya Allah."
"Ya sudah, yang penting tau batas pergaulan sesuai aturan agama. Jangan dilanggar kepercayaan tante. Kalau memang kamu suka sama Edelweis, ya menikah tapi kalau tidak ya, jaga pergaulan."
"Iya tante, saya juga tau cuma Edelweisnya kan gak mau tante dan memilih berteman aja."
"Dia kayaknya patah hati sama Aksa."
"Sepertinya begitu."
"Dia juga gak mau pacaran dulu apalagi menikah. Mau mengejar cita-citanya dulu. Menyenangkan tante dan adik-adiknya."
"Iya tante, saya juga paham. Makanya saya juga gak bisa memaksakan kan kalau Edelweisnya belum mau menikah."
"Di pikirannya cuma pendidikan dan karir. Dia ambisius seperti almarhum ayahnya."
"Iya tante."
"Mau berangkat jam berapa?"
"Sekarang tante."
"Baiklah. Hati-hati, ya?"
"Iya tante, pamit dulu...."
Mobil meluncur di jalan raya. Lagu 'At my worst' kesukaan Edelweis mengalun.
"Kamu tau aja aku suka lagunya."
"Aku juga suka. Gak usah ge er deh. Lagunya memang banyak yang suka karena memang enak." Roy tergelak.
Edelweis melihat cover cdnya dan melihat kumpulan lagu-lagu favoritenya.
"Ini enak semua lagunya...."
"Makanya aku beli. Aku beli satu juga buat kamu."
"Mana?"
"Buka laci dashboard."
Edelweis membuka laci dashboard dan mengeluarkan sebuah bingkisan segi empat bujur sangkar yang dibungkus indah dengan kertas kado warna old pink dan pita broken white.
"Ini cd bukan?"
"Iya, cd yang sama dengan yang aku beli."
"Repot amat dibingkis seperti ini."
"Yang membungkus bukan aku." Roy tergelak.
"Maksudku buat apa dibungkus begini?"
"Ya gak apa-apa. Tapi kamu suka kan?"
"Iya sih, cuma kan kamu jadi repot."
"Gak, aku gak repot."
"Terserah lah!"
"Bagaimana Angela?"
"Aku tidak berminat mencari tahu tentangnya."
"Kau patah hati?"
"Dia obsesiku mau bagaimana lagi tapi aku sudah berusaha yang terbaik sesuai batas kemampuanku."
Sesampainya mereka di Bandar Jakarta. Mereka memilih tempat yang dekat dengan view pantai.
"Mengapa kau pilih tempat ini? Jauh dan mahal." tanya Edelweis.
"Aku ingin santai mengobrol dan menikmati suasana."
Roy memesan nasi, ikan bakar, udang goreng tepung krispi, kepiting saos padang dan tumis kangkung saos tiram. Dua buah kelapa muda.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Roy.
"Baik."
"Aku tidak melihatnya begitu. Kau kehilangan semangat."
"Setelah apa yang kulalui, aku bisa apa? Pemulihan itu tidak serta merta membuat nama kita bertiga bersih kembali. Aku tidak siap dengan predijuce orang lain dan takut kejadian itu terulang lagi. Aku bisa gila!" air mata Edelweis turun dengan deras.
Di depan Roy dia bisa mengeluarkan semua emosi dan perasaannya.
"Kau sesensitif itu! Bagaimana kau mau memperjuangkan semua mimpimu? Tidak ada yang mengasihanimu. Life must go on!"
"Aku tidak minta belas kasihan!"
"Kau memang tidak memintanya tapi sikapmu itu merugikanmu dan menguntungkan orang yang membencimu. Mereka akan memanfaatkanmu untuk kepentingan mereka dan tidak peduli apa akibatnya bagimu!"
"Aku tidak mau mendengar lagi!" Edelweis menangis setengah berteriak.
"Kita ke pantai! Sambil menunggu makanan tiba."
"Untuk apa?"
"Ikut aku! Ini perintah!"
"Aku sudah tidak bekerja untukmu lagi."
"Kau melawanku?"
Edelweis mematuhi keinginan Roy.
Mereka beranjak dari tempat duduk mereka menuju pantai.
Angin semilir sepoi-sepoi dan bulan mengintip di balik awan.
"Kau mau apa?"
"Bukan aku tapi kau? Berteriaklah! Keluarkan semua emosimu! Menangis sekeras yang kau bisa!"
"Aaaghhhhhhhh...Aaaghhhhhhhh......Aaaagghhhhh...." Edelweis berteriak sekuat tenaga. Melampiaskan semua kemarahan, kecewa, sedih dan frustasinya.
Edelweis menangis dan menangis. Suara tangisannya ditelan kegelapan malam.
Sedih, kecewa dan marah semua bercampur menjadi satu.
Dia menyepak pasir-pasir hingga berhamburan.
Air matanya mengucur dengan sangat deras.
Dia berteriak dan berteriak. Menangis dan menangis. Tangis tak berdaya dan menyimpan kesedihan, kemarahan dan kekecewaan.
Setelah habis emosi dan perasaannya terkuras. Dadanya terasa lega.
Perlahan tangisnya menghilang.
Air matanya mengering.
Roy menyodorkan seplastik tissue .
Edelweis menggunakannya untuk menyedot ingus dan menyeka air matanya.
"Sudah lega?"
Edelweis menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih ya...Kau mengajakku jauh ke sini agar aku bisa meluapkan emosi dan perasaanku. Jangan terlalu baik kepadaku. Bagaimana kalau aku tidak bisa membalas perasaanmu?" air mata Edelweis kembali mengalir.
"Aku laki-laki. Jangan kau pikirkan hal remeh seperti itu. Penolakan tidak akan membuatku menjadi putus asa. Jodoh tidak bisa dipaksakan tetapi ijinkan aku memperjuangkan perasaanku sampai aku tahu, bisa atau tidak."
"Aku tidak ingin memikirkan cinta."
"Aku tau. Pikiranmu terlalu rumit belum lagi memang keadaannya sendiri tidak mendukung dan semakin menambah semua keruwetan pikiranmu. Belum masalah yang menimpa kita bertiga."
"Apakah kau tau kenapa aku mendapatkan pekerjaan dan beasiswa itu?"
"Bukannya kau lulus semua kriteria?"
"Awalnya kupikir begitu. Ada surat kaleng menerorku. Walaupun kita mendapatkan pemulihan tetapi tetap saja secara kenyataan mereka menganggapku melakukan perbuatan tersebut."
"Maksudmu?"
Edelweis kembali menangis.
"Andai aku bisa memeluk dan menghiburmu pasti kulakukan tapi kau pasti marah dan menganggapku melecehkanmu."
"Kita bukan muhrim dan kau kan tau aturannya. Kau juga sudah berjanji kan kepada ibuku untuk mematuhi adab pergaulan."
"Aku tidak tega melihat keadaanmu tapi aku bisa apa?"
"Kau bisa mengerti perasaan dan keadaanku saja sudah bagus."
"Apakah Angela ada hubungannya dengan ini?"wajah Roy mendadak mendung.
"Mengapa kau mencurigai Angela?" Edelweis kembali menyedot ingusnya.
"Setelah apa yang dia lakukan dan memberi jalan masuk pada Clara dan perusahaan fiktif itu ke perusahaan. Memfitnah kita bertiga. Kau masih percaya dia memiliki hati dan akal yang sehat? Dia mengkhianatiku sejak awal dan berlaku seperti sosok isteri yang setia. Kau mau aku bersikap apa?"
"Bukti Angela melakukan hal ini. Kau berasumsi."
"Angela itu ular. Kau tidak bisa mempercayai ular. Dia juga memiliki dendam seperti tikus. Aku memang tidak memiliki bukti saat ini tapi perasaanku mengatakan dia ingin menghancurkanmu."
Edelweis kembali menangis.
"Aku pikir hidupku sudah berakhir sejak kasus itu menimpa kita dan tidak akan pernah bisa dipulihkan lagi. Rajasa pergi meninggalkan perusahaan dengan sebab yang sama."
"Aku dan Rajasa lelaki. Hal semacam itu tidak akan mempengaruhi kami berdua. Dia tidak tahan dengan semua kenangan yang ada. Aku tau dia. Dia menunggumu bergabung bersama Ryan untuk berjuang meraih impianmu kembali."
"Apa yang bisa kusembunyikan darimu?" Edelweis mempermainkan kakinya di antara pasir yang bercampur dengan kulit kerang yang bertebaran di sana sini."
"Kau menyayangi banyak orang?"
Edelweis memandang ke arah Roy dengan pandangan tanya.
"Pikiranmu rumit."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Aerik_chan
Kayak nggak asing nama Amarilis...bagus namanya....
2023-10-25
0