Pagi ini, Raniya kembali beraktivitas seperti biasa. Tidak peduli dirinya baru saja keluar dari rumah sakit, Raniya malas berdiam diri di mansion.
“Lo serius mau sekolah, Ran?” tanya Alice memastikan keputusan sang sahabat. “Mendingan lo istirahat dulu.”
“Gue cuma kegores, bukan sekarat yang perlu perawatan intensif dari lo semua,” balas Raniya membungkam seluruh insan.
Tidak ada yang bisa menghalangi Raniya lagi. Gadis itu melenggang pergi dengan tas di bahu dan seragam sekolah.
...✨✨✨...
“Kok lo masuk, sih, Kak?” kata Aron tidak terima. Kakaknya itu seharusnya masih berada di ranjang, tidur manis memulihkan diri.
Raniya mengedikkan bahu. “Kakak bosen di rumah.”
“Tapi, kan, lo masih—”
“Aron, come on!” sela Raniya. “Luka Kakak nggak separah itu sampe harus dirawat berhari-hari. Kakak fine, oke?”
Aron tertegun. Sorot mata kakaknya sedikit berbeda dari biasanya. Sepertinya gadis yang menjabat sebagai saudara kembarnya ini sedang mengalami masalah atau punya beban pikiran lain.
Kakak kenapa??
Beberapa jam kemudian...
Tok tok..
“Permisi.”
Guru yang sebelumnya sibuk menjelaskan materi mendadak berhenti. Ia menoleh ke pintu, menatap guru lain yang datang. “Iya, ada apa, Pak?”
“Maaf, saya mengganggu. Saya ingin memanggil Raniya, Bu,” kata guru itu.
Gadis yang disebut namanya terkejut. Ia segera menoleh ke arah pintu. Ada gerangan apa sampai dirinya dipanggil?
“Raniya, kamu bisa ikut saya sebentar?” pinta guru tadi.
“Saya, Pak?” Raniya menunjuk dirinya sendiri. Siapa tahu Raniya yang dimaksud bukan dirinya, melainkan insan lain.
Guru tersebut mengangguk. “Iya, kamu.”
Walaupun diselimuti rasa bingung nan heran, Raniya tetap menurut. Ia bangkit dari kursi, hendak melangkah keluar. Namun, lengannya malah ditahan oleh Aron yang memandang cemas.
“Lo ada masalah, Kak? Kok lo dipanggil, sih?” tanya lelaki itu.
Raniya menggeleng pelan, kode jika dirinya sama tidak tahu. “Kakak juga nggak tau, Aron. Mungkin ada sedikit problem. Kakak ke sana dulu, ya.”
Mau tak mau, Aron melepas cekalan, membiarkan Raniya berjalan keluar, menghampiri guru yang menanti di ambang pintu. Kedua insan itu pergi usai berpamitan pada guru yang mengajar di kelas XII MIPA 2.
Sepanjang kakinya berayun, otak Raniya terus diputar, mencari-cari titik permasalahan yang menjadi sebab dirinya dipanggil. Tapi, nihil. Ia tidak mendapat informasi apa pun.
Seingat gue, gue nggak ada salah apa-apa. Kenapa jadi dipanggil, sih?
Guru tadi menuntun Raniya hingga ke ruang para guru. Di sana, beberapa guru lainnya sudah berkumpul, menunggu kedatangan Raniya. Bahkan, wakil kepala sekolah saja hadir.
Gila! Ini ada apa, sih?!! Serius amat.
“Raniya, silakan duduk. Ada yang ingin kami bicarakan dengan kamu.” Pak Wakil Kepala Sekolah menunjuk kursi di depannya, mempersilakan Raniya duduk sebelum membahas inti percakapan. “Bagaimana, Raniya? Betah bersekolah di sini?” tanyanya basa-basi.
Raniya mengangguk. “Iya, Pak.”
Pria paruh baya itu manggut-manggut. Usai menghela napas panjang, raut wajah Pak Wakil berubah serius. “Raniya, ada seseorang yang melapor jika ada murid yang telah memanipulasi nilai.”
Raniya mengerutkan dahi. Lah? Terus hubungannya sama gue apa?
“Dan, menurut laporan itu, kamu pelakunya.”
He? Gue?
...✨✨✨...
Seandainya ada lomba estafet berita, Best High School pasti akan menjuarai. Kabar mengenai pemanipulasian nilai yang KATANYA dilakukan oleh Raniya sudah tersebar seantero sekolah dalam sekejap. Siswa dan siswi yang ada begitu heboh membicarakan masalah ini.
Mereka sama sekali tidak menyangka jika sosok seperti Raniya bisa melakukan itu. Pasalnya, Raniya terlihat seperti gadis baik-baik dilihat dari tindak-tanduknya selama ini. Tapi ternyata, dia sama saja dengan gadis bermuka dua.
“Gila banget, sih, di Raniya. Dia berani ngelakuin itu.”
“Tau tuh. Nggak ngerti gue, dia mikirnya kek gimana.”
“Cih! Pantes kalo di kelas dia kadang nggak merhatiin guru. Gini toh kelakuan aslinya.”
“Manipulasi nilai? Nggak ada akhlak banget.”
“Keliatannya aja kayak cewek baik-baik. Eh, busuk di belakang.”
“Ogah, ah, gue temenan sama dia.”
“Bener. Entar salah pergaulan.”
Raniya menghela napas berat mendengar ocehan-ocehan tidak bermutu dari para siswa-siswi. Hanya karena satu masalah, pola pikir mereka langsung berubah. Padahal, itu baru tuduhan, bukan kenyataan.
Sialnya, Rafael dan Thalia sedang tidak ada di sekolah. Keduanya sibuk mengerjakan tugas darinya di mansion.
Kenapa kebetulan banget, sih?
Ting!
Raniya merogoh saku dan membuka ponsel.
...____________________...
...Aron❣️...
...online...
• Kak, lo di mana?
• Gw di kantin
• Lo ke sini aja
^^^Ngapain? ✓^^^
• Gw temani🙂
^^^Kakak gpp ✓^^^
• Sok gpp😒
• Sini deh
• HARUSS!!
...____________________...
Raniya tertawa pelan. Ia memasukkan benda pipih berlogo apel itu ke dalam saku, lanjut mengayunkan kaki menuju kantin. Sepertinya memang cuma Aron yang bisa memperbaiki suasana hatinya.
“Dia, Pak, pelakunya!”
Raniya terperanjat. Ia membalikkan badan, menengok ke arah guru dan Desia yang datang dengan raut emosi.
“Dia, Pak, pelakunya! Saya saksinya!” seru Desia menggebu-gebu seraya menuding Raniya.
Ini kenapa lagi, astaga...
“Ada apa, ya, Pak?” tanya Raniya berusaha menetralkan perasaannya yang sempat berkobar.
“Ada apa lo bilang?! Lo nggak sadar sama kesalahan lo?!” sentak Desia berani.
Raniya mengerutkan dahi. “Emang aku ngelakuin apa?” Gue yakin, bukan masalah manipulasi nilai yang Desia maksud.
“Lo, kan, yang ngerusak properti penting sekolah!” ucap Desia ke inti topik. Melihat ekspresi terkejut Raniya, Desia tersenyum puas diam-diam. Mampus lo, Ran. Gue jamin, lo nggak akan selamat!
Raniya terdiam. Sudah dituduh memanipulasi nilai, sekarang Desia mengatakan yang tidak-tidak. Ini kenapa sekolahnya jadi sumber masalah, sih? Dia datang ke sini, kan, demi adiknya, bukan untuk menjadi pusat kambing hitam atas kesalahan orang lain.
“Apa benar kamu yang merusak komputer di laboratorium komputer, Raniya?” Guru yang datang bersama Desia angkat bicara.
Raniya menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Bukan saya pelakunya.”
“Halah.. nggak usah ngeles lo. Gue liat lo masuk ke lab komputer kemarin! Ngaku nggak lo?!” desak Desia. Raniya bersikukuh membantah—karena memang dirinya tidak tahu apa-apa.
“Komputer utama di laboratorium rusak, Raniya. Di dalamnya ada banyak data sekolah dan review tugas TIK murid-murid. Apa benar kamu merusaknya?” tanya guru itu ikut mendesak gadis di hadapannya.
“Bukan saya, Pak!”
“Tapi, Desia bilang—”
“Mungkin saja Desia berbohong, Pak,” sela Raniya cepat.
Desia membelalak. “What?! Gue bohong?! Buat apa gue bohong?!”
“Kamu, kan, sering buat aku dalam masalah. Mungkin aja, kan,” balas Raniya berani. Jika sudah seperti ini, tidak ada cara lain. “Kasih saya waktu, Pak. Saya akan buktikan bukan saya pelakunya. Besok saya akan membawa buktinya.”
Guru itu terdiam sejenak, lanjut menganggukkan kepala setuju. Ia menegaskan jika besok Raniya harus bisa menyelesaikan semua masalah yang terjadi.
Selepas kepergian sang guru, Raniya berbalik ingin ke kantin. Namun, lagi dan lagi, Desia berulah dengan menahan tangannya.
“Mau ke mana lo?” tanya Desia sinis.
“Ketemu Aron,” kata Raniya menyentak tangan Desia.
“Nggak! Lo nggak boleh ketemu sama dia!!”
“Atas dasar apa kamu larang aku ketemu sama adik aku sendiri?”
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments