Chapter 17 | Dirawat [Revisi]

Mengandalkan Smartbee yang sempat Raniya pasang di tubuh Aldy, Raniya berhasil menemukan tempat Aldy disekap. Ya, pria itu kalah dalam pertarungan dan dibawa ke suatu tempat. Sepanjang perjalanan, tangan Raniya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih.

Raniya bersumpah, siapa pun dalang dibalik semua ini akan menerima akibat. Untung saja dirinya sempat memasang chips ketika memeluk Aldy—walaupun sebenarnya Raniya ditepis, sih. Tapi, ya udahlah. Tujuan Raniya kecapai, kok.

Setelah melepas jubah putihnya, gadis itu bersembunyi dibalik pohon. Lokasi saat ini tengah hutan, di antara pepohonan ada sebuah gubuk kumuh. Di sanalah Aldy dan Joe disekap oleh sekumpulan pria berbaju hitam.

Situasi aman. Raniya mengendap-endap ke jendela gubuk, mengintip ke dalam.

“Akh!” pekik Joe kesakitan. Baru saja dirinya menerima hantaman kuat dari balok kayu besar.

Raniya melotot. Uncle...

Kondisi Aldy tidak jauh berbeda. Kedua pria itu berusaha memberontak. Tapi, sayang, tangan dan kaki mereka diikat pada kursi.

Karena terlampau geram, Raniya langsung melangkah cepat ke pintu, mendobrak kencang hingga engsel pintu lepas. Sorot mata gadis itu menghunus tajam, ia siap menghabisi orang-orang berbaju hitam itu dengan tangannya.

Aldy dan Joe terkejut melihat kedatangan Raniya. Pun dengan sekumpulan pria lainnya. Tidak ada yang menyangka jika bala bantuan yang diharapkan adalah seorang gadis bersetelan putih. Lengkap dengan paras ayunya yang siap mengamuk.

“Kamu! Ngapain kamu di sini?! Pergi!” pekik Aldy. Ia yang sudah panik semakin dibuat kalang kabut melihat pria-pria yang menyiksanya mendekati Raniya. Jumlah mereka ada 13 jiwa, dan seluruhnya siap menerkam Raniya.

Sayangnya, mereka belum tahu saja siapa lawan mereka kali ini.

Bugh! Brakk!!

“Berani sekali kalian menyentuh daddy-ku.” Kedua tangan Raniya terkepal di samping tubuh. Orang yang barusan berlari menerjang ke arahnya seketika tak sadarkan diri setelah mendapat tendangan darinya.

Aldy dan Joe melongo. Sama-sama terperangah dengan kekuatan putri Aldy itu.

Raniya bergerak maju dan....

Bugh! Bughh!!

Brakk!!

“Akh! Sakiit..”

Plaakk! Plak!

Bugh!

Set! Bughh!

“Ampun, Nona!”

Gadis itu tersenyum puas melihat para pria tadi tergeletak tak berdaya di tanah.

Srettt..

Raniya kaget. Ia tidak menyadari serangan dari belakang. Salah satu pria yang sebelumnya tumbang membalas menggunakan pisau. Pria itu berhasil menggores panjang lengan Raniya hingga berdarah.

“Raniya...” lirih Aldy dengan tubuh gemetar. Sumpah, ia kagum dan takut di saat bersamaan.

Raniya memutar kepala dengan tatapan menghunus. Tanpa basa-basi, gadis itu menendang perut sang pria hingga menghantam dinding gubuk. Kemudian meraih pisau yang terjatuh di tanah dan melempar tepat ke dada kiri.

Mati.

Pria itu mati dalam sekejap karena pisau itu menancap pada jantungnya.

Aldy dan Joe tidak bisa berkata-kata lagi mengenai tingkah gadis di depan. Raniya mampu menumbangkan ketigabelas pria berbadan kekar hanya dalam hitungan menit. Dan itu tanpa senjata!

Memang mau dikata apa lagi?

“Dad, Uncle...” Usai membuat para pria tadi ambruk, Raniya bergegas menghampiri Aldy dan Joe. Ia melepas ikatan keduanya.

Tenaga Joe habis. Pria itu hampir tumbang seandainya Raniya tidak cepat menopang.

“Dad, kita langsung ke rumah sakit, ya. Kayaknya uncle luka parah, deh,” pinta Raniya memapah Joe ke mobilnya. Aldy mengikuti dengan patuh. Untuk saat ini, ada nyawa yang harus ia prioritaskan.

Joe tertawa hambar dalam hati. Uncle nggak luka parah, Raniya. Uncle syok lihat kamu ngalahin mereka dalam hitungan menit!

...🔫🗡️🔫...

“Kondisi Tuan Joe tidak terlalu parah, Nona, Tuan. Dia hanya perlu dirawat satu hari saja,” kata dokter yang barusan memeriksa Joe.

Aldy dan Raniya menghembuskan napas lega. Keduanya sama-sama panik tadi karena Joe sempat kehilangan kesadaran. Untung saja tidak ada yang serius.

Perawat yang berdiri di samping sang dokter melirik lengan Raniya. “Nona, lengan Anda berdarah.”

Refleks seluruh pandangan teralih pada lengan Raniya. Gadis itu baru ingat jika dirinya pun terluka.

“Lebih baik diobati dulu, Nona. Takutnya infeksi,” tambah dokter.

Raniya mengiyakan. Selepas berpamitan dengan Aldy, ia pergi mengikuti si perawat yang menuntunnya ke suatu ruangan. Sedangkan Aldy akan menemani Joe di ruang rawat inap.

“Kamu butuh sesuatu, Joe?” tanya Aldy bersimpati.

Joe menggeleng pelan. “Nggak, Kak.” Melirik ke sembarang arah. “Raniya mana?”

“Dia lagi diobatin. Lengannya luka.”

Joe mengerutkan dahi. “Kakak temenin aja sana. Kasihan dia sendiri.”

“Dia udah gede. Ngapain pake ditemenin segala?” ucap Aldy malas.

“Tapi, kan, dia udah nyelametin kita, Kak.”

Tok tok tok..

Ceklekk..

“Permisi, dengan keluarga Nona Raniya?” tanya perawat yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Aldy menunjuk dirinya sendiri sebagai orang tua—sekalipun ia tengah marah, Raniya tetaplah sosok yang menyelamatkannya dari maut. “Nona Raniya harus mendapat perawatan. Bisa Anda pergi ke bagian administrasi lalu menemui dokter?”

“Keponakan saya kenapa, Sus?” tanya Joe khawatir.

“Luka di lengan Nona Raniya ternyata disebabkan oleh pisau yang sudah berkarat, Tuan. Demi mencegah infeksi tetanus, dokter meminta Nona untuk dirawat terlebih dahulu.”

Dua kalimat panjang itu sukses menggetarkan hati Aldy. Pria itu gelisah, jelas karena khawatir. “Lalu kondisinya bagaimana sekarang?”

“Untuk lebih jelasnya, dokter yang akan menerangkan. Maka dari itu, Anda diminta untuk menemuinya, Tuan,” papar perawat itu lagi.

Aldy mengangguk. “Baik, saya ke sana sekarang.”

...🔫🗡️🔫...

May dan Aron tiba di rumah sakit. Usai mendapat kabar dari Aldy mengenai Raniya, keduanya bergegas menyusul. Sampai di ruang rawat inap, May merasa sesak melihat putrinya terbaring di brankar dalam keadaan mata tertutup.

Pakaian Raniya berubah menjadi biru—ala pasien. Lengan kanannya dibalut perban, sedangkan tangan kiri diinfus. Napas gadis itu nampak teratur, jelas sekali sedang terlelap.

“Kak..” lirih Aron sedih.

May mengusap lengan Aron, berusaha memberi putranya kekuatan. Keduanya tahu jika kondisi Raniya tidak terlalu buruk. Hanya saja, melihat si pemeran utama yang satu ini terbaring lemah membuat mereka turut sedih.

Tidak ada suara lagi di ruangan itu. May pun Aron hanya duduk di samping brankar, menanti sang putri yang masih setia dalam lelapnya. Sama sekali tidak menyadari atensi lain yang berdiri di luar ruangan.

Aldy tidak berani masuk. Pria itu berdiri di depan pintu, mengintip dari jendela kaca, menengok keadaan putrinya yang terbaring lemah karena menolong dirinya. Tanpa sadar, tangan pria itu terangkat, mengusap kaca transparan itu dengan sorot sendu.

Beginilah situasi berjalan. Keluarga kecil yang seharusnya saling bahu-membahu, kini terhalang dinding besar. Membatasi satu sama lain.

Maaf udah buat kamu kayak gini, Raniya...

...🔫🗡️🔫...

Keesokan harinya...

Ceklekk..

“RANIYA!”

“WOY!”

BRUKK!

Raniya meringis melihat Rafael yang jatuh, kemudian ditimpa oleh tubuh Jayden ditambah Alice. Anna, Thalia, dan Zahra malah terbahak di belakang.

“Anjir! Yang bener dong kalo buka pintu!” seru Alice kesal belum sadar posisi.

“Woi, Bego! Bangun cepet! Lo berdua ngejatuhin gue, Anying!” pekik Rafael merasa keberatan dengan bobot sahabatnya. Apalagi tubuh Jayden yang besar—bukan gendut, ya. Lelaki itu memiliki cetakan otot alami, kok. Emang proporsi tubuh Jayden lumayan besar dan kekar.

Alice dan Jayden cengengesan, lanjut segera bangkit.

“Gila kali! Dikata gue kasur apa, lo tindih-tindihin?” sungut Rafael.

“Lah? Lo, kan, emang—”

“Ekhem!”

Terhenti. Percakapan antara Rafael, Jayden, dan Alice tidak dilanjutkan ketika suara deheman kencang itu mengalun. Raniya sebagai si pelaku tersenyum, melirik ke arah May, Aldy, dan Aron yang ada di bilik.

“Eh?” Mereka berenam kaget.

^^^To be continue...^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!