Maaf nggak bisa update.
Diusahakan ke depannya selalu bisa, ya. Seenggaknya, sehari minimal satu chapter, deh. Kalo bisa lebih, ya, alhamdulillah...
...Happy reading:)...
.......
.......
.......
“Maaf, Nona. Saya kecolongan,” cicit Sean ketakutan.
“Ada apa?” tanya Raniya tenang.
“Saya gagal melaksanakan perintah Anda. ‘Dia’ mendapat sedikit serangan peringatan dari musuh, Nona.”
Raniya tidak berkomentar. Gadis itu larut dalam pemikirannya sendiri. Beberapa saat melamun, Raniya menghela napas kasar. “Its okay,” ucapnya pasrah.
Sean mengembangkan senyum. Pikirnya, lelaki itu akan mendapat hukuman sadis seperti sebelumnya kala dirinya berbuat kesalahan. Namun, sepertinya bos cantiknya ini sedang dalam mode mood yang baik. Jadi, Sean selamat malam ini.
“Maafkan saya, Nona. Saya tidak akan lengah ke depannya,” ucap Sean membungkukkan badannya kepada Raniya.
“Ya, pergilah. Lakukan tugasmu. Jangan buat kesalahan lagi,” titah Raniya.
Buru-buru Sean memberi penghormatan, lalu pergi dari area tersebut. Jika sampai Raniya berubah pikiran, tamatlah riwayat lelaki berusia 24 tahun itu.
“Tumben nggak lo kasih hukuman, Ran?” heran Anna. Jayden dan Rafael pun turut tidak menyangka. Biasanya, kan, Raniya selalu bertindak kejam kepada anggotanya yang berbuat salah. Kok, ini diistimewakan, sih?
Jangan-jangan...
Raniya menghela napas. “Gue lagi males, An. Ayo cabut,” ajaknya sembari berdiri.
Tak ingin membuat suasana hati Raniya bertambah buruk, Anna, Rafael, dan Jayden menurut saja. Keempatnya berjalan beriringan keluar dari club.
“Raf, setelah ini, lo retas CCTV sana dan lo sambungin sama laptop lo biar bisa kita pantau langsung, paham?” kata Raniya memerintah sewaktu keempatnya sudah menenggelamkan diri di dalam kendaraan beroda empat.
Rafael mengangguk patuh. “Iya, Ran.”
...🔫🗡️🔫...
Raniya frustrasi!
Kenapa, sih, masalah hidupnya tidak selesai-selesai?! Dia, kan, ingin hidup tenang juga.
Belum kelar masalah sebelumnya, kini masalah baru menghantui. Walaupun Raniya terlihat santai-santai saja semalam, tapi sebenarnya gadis itu memikirkan betul-betul perkataan Sean. Ternyata rencana yang ia rancang masih kurang sempurna. Ada beberapa bagian yang masih cacat dan perlu perbaikan.
Dan, karena memikirkan masalah ini, Raniya jadi kesulitan tidur hingga pagi menyingsing. Sumpah, ya, rasanya capek banget. Tubuhnya serasa habis diremas-remas, remuk gitu.
Karena malas melakukan rutinitas yang biasa, Raniya memilih untuk berangkat sekolah lebih awal. Kalau biasanya, kan, dia pergi ke gym yang tersedia di mansion, melatih tubuh agar ototnya tetap terjaga. Entah kenapa, hari ini Raniya rasanya tidak bersemangat sekali.
Gadis itu berharap akan berjumpa dengan Aron di sekolah atau setidaknya sahabat-sahabat barunya itu. Mungkin dengan begitu dirinya bisa sedikit terhibur.
“Lo udah mau berangkat, Ran?” heran Anna. Ini baru jam 06.04 pagi, lho, tapi Raniya sudah siap dengan seragam dan tas di bahu. Padahal, kan, jam masuk sekolah pukul 7 pagi.
“Hm,” gumam Raniya tak niat. Ia melangkah keluar mansion tanpa memedulikan panggilan Anna yang menggema bagaikan toa.
“RAN, LO NGGAK SARAPAN DULU?” teriak Anna.
Anna berdecak sebal dengan kepala menggeleng. “Masa dia masih marah gara-gara ayam, sih? Heran gue.”
Alice datang dari lantai dua dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa? Kenapa, An? Kenapa lo teriak-teriak?” tanyanya panik. Akibat suara menggelegar Anna, dirinya jadi terbangun. Ia pikir terjadi sesuatu yang urgent sampai gadis itu berteriak begitu kencang.
Anna cengengesan. Apalagi melihat wajah bantal Alice membuatnya merasa sedikit bersalah. “Nggak pa pa, Lice. Gue lagi kesel aja.”
Alice berdecak sebal. “Kesel sama siapa, sih?”
“Sama cicak-cicak di dinding. Gue bingung, kenapa mereka warnanya abu-abu? Kenapa nggak pink atau biru gitu? Kan, keren,” celetuk Anna ngawur.
Alice mengibaskan tangannya jengah. Ia tak habis pikir dengan pikiran absurd sahabatnya itu. “Bodo amat, anjir. Pikirin sendiri sono. Kalo nggak ketemu, lempar aja cicaknya ke kolam cat biar warnanya berubah.”
...🔫🗡️🔫...
Raniya tiba di sekolah dengan mobil sport Lexus kesayangan pukul 06.21 pagi. Ia turun dan berjalan santai memasuki gedung sekolah. Benar ternyata. Masih sepi.
Hanya petugas kebersihan dan beberapa siswa rajin saja yang terlihat. Sisanya, entah kapan datangnya.
Tau gitu tadi gue cari sarapan duluan.
Mendadak Raniya menyesal karena datang terlalu pagi. Perutnya keroncongan minta diisi. Sudah gitu ia yakin adiknya pasti belum tiba. Seingat Raniya, Aron itu tipe lelaki yang sulit bangun sewaktu kecil. Butuh perjuangan ekstra jika ingin menyadarkan lelaki itu dari alam bawah sadar.
Gue pengen tidur, hiks..
“WOY! BERHENTI LO!!”
Raniya kaget. Refleks kepalanya menoleh ke sekitar, mencari sosok yang baru saja berteriak begitu keras. Ia sempat berpikir jika dirinyalah yang menjadi lawan bicara. Untungnya, sih, tidak.
Raniya mengerutkan dahinya bingung. Tidak ada siapa pun yang terlihat mencurigakan di sini, semua biasa-biasa saja. Terus tadi suara siapa? Kenceng banget, lho.
“GUE NGGAK MAU TAU!”
Teriakan itu terdengar lagi. Karena penasaran, kaki Raniya mengayun menuju sumber suara. Semakin dirinya melangkah, suaranya kian bertambah jelas.
Tiba di sebuah lorong, Raniya mendapati beberapa siswi yang mengerubungi siswa di depan laboratorium kimia. Lebih tepatnya tiga siswi dan satu siswa. Suara keras tadi adalah milik salah satu siswi. Karena kepo, Raniya bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
Moga gue nggak kena masalah, deh.
“Lo harus kerjain tugas gue, Le!” teriak salah satu siswi murka.
Siswa itu balas menatap tajam ketiga siswi yang menghadang jalannya. “Kalo aku bilang nggak, ya, nggak! Kamu nggak bisa maksa aku terus, Des! Kemarin aku udah bantuin kamu!”
Wih, ada pembullyan. Des, ya? Des siapa? Duh, nggak kenal gue. Tapi, keknya seru.
Raniya mengerutkan dahi, masih agak bingung dengan situasi di depan sana. Karena ingin tahu kelanjutannya, ia memilih untuk tetap memperhatikan dari posisinya sekarang. Pandangan Raniya sempat terpaku pada sosok siswa berkacamata yang menjadi objek teriakan. Hm, dia manis juga.
Ah, gue jadi kegatelan, anjir. Semua cowok gue katain ganteng.
Tapi, emang ganteng beneran.
“Sialan lo!” teriak gadis tadi. “Inget, Leon! Perbuatan lo ini bakalan berdampak sama pekerjaan bokap lo!”
Raniya bisa melihat jika siswa yang dipanggil Leon itu menegang. Tak berselang lama, kepala lelaki itu menunduk ke bawah, kedua tangannya mulai mengepal di samping tubuh. Huh, kayaknya gue tau permasalahannya.
Berdasarkan otak cerdas Raniya, Leon tengah dipaksa oleh ketiga siswi itu untuk mengerjakan tugas sekolah mereka. Seandainya Leon menolak, maka siswi itu akan melakukan sesuatu kepada pekerjaan papa Leon.
Menurut perkataan Leon sebelumnya, sepertinya ini bukan kejadian pertama kalinya. Lelaki itu pernah menerima situasi yang sama. Kasihan sekali, ya.
“Terserah! Aku nggak mau!” seru Leon memalingkan wajah.
Wah, dia ngelawan! Bagus, anak muda! Lanjutkan.
“Oh, jadi itu pilihan lo?” Gadis itu tersenyum sinis. Tangannya terangkat ke atas, gerakan hendak menampar seseorang. Sontak Leon menutup matanya, pasrah jika harus dipukul.
Melihat hal itu, Raniya langsung berlari dan meraih tangan gadis yang ingin menampar Leon.
Grep!
Huh, gue tepat waktu.
Lengan gadis itu berhasil dicekal oleh Raniya. Karena geram, ia menoleh ke arah Raniya dengan raut penuh emosi. “Siap—” Ia terdiam melihat Raniya tengah menebar senyum cantiknya. “Lo!”
“Iya? Aku kenapa?”
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments