Menginjakkan kaki di hunian penuh kenangan adalah kebahagiaan terbesar bagi setiap insan. Begitupun dengan Raniya. Gadis itu tidak menyangka jika hari ini dirinya akan kembali hadir di tengah mansion keluarga Lycett.
Selepas berdebat dengan Aron, Raniya akhirnya pasrah diajak pulang. Aron sendiri tak henti-henti tersenyum siang ini. Kakaknya pulang ke rumah!
“Mommy! Mommy... lihat, Mom, siapa yang datang!” teriak Aron antusias. Lelaki itu bahkan berlari menaiki tangga dengan cepat menuju kamar sang mommy.
Hei, bocah! Kamu bisa terjatuh jika berlari secepat itu!
Sedangkan Raniya terdiam di posisi, bingung ingin melakukan apa. Alhasil, gadis itu memilih menyibukkan diri dengan memperhatikan sekitar. Semua masih sama, nggak ada yang berubah.
“Raniya..?”
Merasa dipanggil, Raniya menoleh ke asal suara. Ia tersenyum melihat sosok wanita paruh baya yang menatapnya penuh haru. Tak menunggu lagi, kedua perempuan berbeda generasi itu saling berpelukan, menumpahkan segala rindu yang membuncah di dada.
“Putri Mommy pulang..” lirih May—mommy Aron dan Raniya.
“Mommy jangan nangis,” ucap Raniya mengusap air mata yang keluar dari pelupuk May selepas merenggangkan rengkuhan.
May tersenyum lembut. “Gimana kabar kamu, Sayang? Kamu tinggal di mana, hm? Terus sama siapa aja? Kamu makan makanan sehat, kan? Hidup kamu baik, kan? Kamu nggak kekurangan sesuatu, kan, Sayang?” tanya May bertubi-tubi.
Raniya terkekeh kecil. “Raniya fine, Mom. Semua baik-baik aja, Raniya nggak kekurangan.”
“Beneran?”
“Iya, Mommy-ku Sayang.”
May menghembuskan napas lega. Ia bersyukur putrinya hidup sejahtera di luar sana.
Membayangkan Raniya terlantar di jalanan tanpa uang dan makanan selalu menghantui May sebelas tahun. Diam-diam wanita itu membayar seseorang untuk mencari Raniya, namun tidak pernah ada hasil.
May pun membawa Raniya duduk di sofa yang tersedia. Aron yang melihat turut tersenyum bahagia. Ia berharap dalam hati bahwa daddy-nya akan menerima kembali kehadiran kakaknya dengan suka cita seperti sang mommy.
“Kamu tinggal sama siapa, Sayang?” tanya May lembut sembari mengusap kepala Raniya yang bersandar di dadanya.
“Ada banyak, Mom. Kapan-kapan Raniya kenalin Mommy sama saudara angkat Raniya,” jawab Raniya.
“KAMU!!”
Raniya, May, dan Aron terlonjak kaget. Ketiganya menoleh bersamaan ke arah pintu utama yang telah terbuka lebar, menampakkan sosok pria paruh baya yang masih terlihat tampan di usianya sekarang. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Raniya, tetapi tatapan tajam yang dilayangkan.
“Apa yang kamu lakuin di sini?” seru Aldy—daddy Raniya dan Aron.
Aron bangkit mendekati sang daddy. “Dad, Kak Raniya pulang. Dia—”
“Bukankah saya sudah mengatakannya padamu, jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di sini,” ucap Aldy tak mengindahkan perkataan Aron. “Saya tidak punya anak perempuan seperti kamu!”
Jduuaaarr!!
Sepasang manik Raniya mengembun. Itu kalimat yang sama...
Kalimat yang sama seperti sebelas tahun lalu. Kalimat yang selalu menjadi kelemahan Raniya selama ini.
Raniya mencoba tegar. Ia memasang senyum terbaiknya dan bergerak mendekati Aldy. “Dad, Raniya—”
“Stop it! Saya tidak mau mendengarmu berbicara!” bentak Aldy dengan wajah memerah.
Raniya terjingkat mendengar seruan bernada tinggi dari Aldy. Air mata yang terkumpul di satu titik berjatuhan tanpa diminta. Perlahan, kepala gadis itu menunduk ke bawah, tidak berani merasakan sakit yang lebih dalam dengan menatap daddy-nya itu.
“Daddy! Jangan bicara seperti itu sama Kakak!” sahut Aron yang tidak tega melihat tubuh Raniya bergetar. Bagaimanapun kejadian di masa silam bukanlah kesalahan kakaknya ini.
May menyentuh lengan suaminya. “Dad, bagaimana kalau kita bicara baik-baik? Mungkin Raniya—”
“Mom!” tegur Aldy dengan sorot datar.
May mengalihkan pandangannya cepat. Tanpa sengaja dirinya bersitatap dengan Raniya. Jantungnya serasa diremas melihat putrinya tersenyum manis dengan air mengalir di pipinya. Raniya...
Aldy menarik lengan Raniya kasar dan menyeretnya keluar mansion. Seolah tidak ada rasa belas kasih, pria itu mendorong tubuh Raniya keluar. “Pergi dari sini! Sekali lagi kamu berani datang, saya akan melakukan sesuatu lebih dari ini!” ancam Aldy tak main-main.
Aron dan May menghampiri Raniya di luar setelah Aldy menenggelamkan diri di kamar.
“Ada yang sakit, Kak?” tanya Aron cemas.
“Kamu nggak kenapa-napa, kan, Sayang?” ucap May khawatir.
Raniya tersenyum kecil. “Its okay, Mom, Aron. Kalau gitu, Raniya pulang dulu, ya.”
May menatap Raniya sendu. “Tapi, rumah kamu di sini, Sayang.”
“Kapan-kapan Raniya ke sini lagi, Mom, kalo daddy udah nggak marah. Its okay, semua akan baik-baik saja.”
Dada May terasa sesak mendengar kalimat terakhir Raniya. Kata ‘semua akan baik-baik saja’ sudah tercipta sejak putrinya berusia 5 tahun. Raniya selalu mengucapkan hal yang sama untuk menenangkan May, Aldy, ataupun Aron ketika suasana terasa suram.
Hingga gadis kecilnya berusia 17 tahun pun, Raniya masih menggunakan kalimat itu.
“Raniya pulang dulu, Mom,” pamit Raniya.
...🔫🗡️🔫...
Keesokan harinya...
Seharusnya, ya, bertemu dengan keluarga setelah belasan tahun berpisah adalah hal paling membahagiakan bagi seorang anak. Mereka pasti mengharapkan pelukan kasih sayang, ucapan rindu, dan kecupan cinta dari orang tua mereka.
Sayangnya, apa yang terjadi pada Raniya malah sebaliknya.
Bukan pelukan kasih sayang, melainkan tatapan tajam yang melayang.
Bukan ucapan rindu, melainkan cacian yang menggebu.
Bukan lagi kecupan cinta, tetapi ucapan kebencian yang tercipta.
Meskipun begitu, Raniya menerima setiap perlakuan dengan lapang dada demi sang adik. Sekalipun hatinya tergores dalam karena luka yang dibuat keluarganya sendiri, Raniya tidak bisa marah.
Raniya terlampau mencintai keluarganya dengan segala sifat dan sikap mereka.
“Lo kenapa, sih, Ran? Lesu amat,” heran Anna melihat ekspresi masam di wajah Raniya sejak pagi.
Anna, Alice, Thalia, Zahra, Rafael, dan Jayden—para penghuni Mansion Callys sekaligus saudara angkat Raniya. Keenamnya merasa aneh dengan tingkah Raniya hari ini. Gadis itu seperti tidak punya gairah hidup.
Raniya hanya sekadar melirik, tidak menjawab. Ia fokus menyantap sarapannya walau tidak berselera hingga tandas. Kemudian dirinya pergi dari mansion tanpa berpamitan kepada siapa pun.
“Tuh anak kenapa, sih?” Alice jadi ikutan kepo. Ada apa dengan sosok kulkas itu?
Zahra mengedikkan bahu. “Entah.”
“Jangan-jangan Raniya ngambek sama kita lagi?” heboh Alice.
“Hah? Ngambek?” Rafael cengo.
Alice mengangguk yakin. “Mungkin dia ngambek karena semalem jatah ayamnya kita makan!” serunya menggebu-gebu.
Semua yang mendengar terdiam, berusaha mencerna perkataan Alice. Masa iya Raniya ngambek gara-gara ayam?
...🔫🗡️🔫...
Bukan cuma di mansion, di sekolah pun aura mendung dari tubuh Raniya masih terasa. Ekspresi wajah masam, sorot datar, dan bibirnya melengkung ke bawah. Eh, kok, kayak sadgirl, sih?
“Mau ke kantin, Kak?” tawar Aron yang memang duduk di sebelah Raniya. Bel jam istirahat baru saja berbunyi.
Gadis itu menghela napas sebentar sebelum menoleh ke samping. Ia susah payah menarik kedua sudut bibirnya agar melengkung tipis. “Nggak usah, Aron. Kakak di kelas aja.”
Aron tahu, mood Raniya sedang anjlok sekarang. Kakaknya itu terlihat murung sejak pagi.
Biasanya, Raniya akan menyapanya dengan senyuman setiap masuk ke kelas. Namun, pagi ini, Raniya hanya diam dan tidak memedulikan kehadiran Aron yang jelas-jelas duduk di sebelahnya.
Kakak pasti sedih gara-gara perlakuan daddy semalem..
Aron mengembangkan senyumnya dan menarik lengan Raniya paksa. “Ayo ke kantin!” serunya semangat.
Raniya memberontak, rasanya malas untuk pergi ke kantin yang identik dengan keramaian. Namun, Aron tetap bersikukuh mengajaknya ke sana. “Aron, Thalia sama Rafa nggak ada, Kakak males tau,” ucap Raniya masih berusaha menolak.
Pasalnya, Rafael dan Thalia memang mendapat tugas lain hari ini. Jadi, kedua bocah itu absen kelas.
“Nggak pa pa, kan, ada gue.” Aron membusungkan dada dengan bangga, seolah tengah menjadi pahlawan bagi Raniya di tengah kesepian yang melanda.
Raniya menggeleng pelan melihat tingkah adiknya itu. Masih sama rupanya, agak absurd.
Akhirnya, Raniya pasrah saja. Dia mengikuti langkah Aron dengan lunglai. Sampai-sampai lelaki itu menariknya ke depan dan mendorong Raniya dari belakang.
“Go, Kak! Semangat!” seru Aron kegirangan.
Raniya terkekeh jadinya. Dan, suara tawa itu membuat Aron tersenyum diam-diam. Syukurlah, Kakak udah bisa senyum sekarang.
Raniya dipaksa duduk di meja kantin yang biasa Aron pakai bersama kelima sahabatnya. “Hai, guys. Kenalin, ini Raniya, kakak gue.”
“Lo....”
^^^To be continue...^^^
...🔫🗡️🔫...
Sampai di chapter ini, apa pendapat kalian soal cerita ini?
Terus ikuti ceritanya, ya.
See you di chapter selanjutnya:)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments