“Nona Raniya, mereka perwakilan dari perusahaan Lycett Group. Tuan Rinaldy dan Tuan Joe,” ucap sekretaris Raniya memperkenalkan klien mereka. Karena tahun ini, Lycett Group terdaftar sebagai salah satu pihak yang bekerja sama dalam proyek besar Mill Group.
Raniya berdiri dan menghampiri hingga berada tepat di hadapan kedua pria tadi. “Selamat datang di perusahaanku, Daddy, Uncle Joe.”
Sekretaris yang mendengar sebutan Raniya untuk tamu yang datang tersentak. Refleks dirinya mencuri panjang ke arah sosok perwakilan Lycett Group ini. J–Jadi, salah satu dari mereka adalah ayah Nona Raniya?
“N–Nona, mereka....” Kalimat sekretaris Raniya menggantung.
Raniya mengangguk. “Dia daddy-ku. Lalu, ini Uncle Joe, sekretaris daddy.”
“Ah, maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu jika Anda adalah ayah Nona Raniya. Mari, silakan.” Karyawati itu bersikap lebih sopan. Bahkan, sampai menundukkan kepala dengan rasa segan dan hormat. Mana berani ia bersitatap dengan tuan besarnya sendiri?
“Kamu! Tolong siapkan dua teh chamomile dan bawa ke ruangan saya,” titah Raniya kepada sang sekretaris.
“Baik, Nona.” Wanita itu menundukkan kepala sejenak sebelum benar-benar keluar dari ruangan CEO ini.
Senyum lebar nan cerah tersungging. Raniya menyambut kehadiran dua pria kesayangannya dengan antusias. Kedua tangannya merentang, hendak memeluk Aldy.
Sayangnya, pria paruh baya itu melangkah mundur, menghindari pelukan Raniya. Sorot mata Aldy begitu datar, seolah tidak ada emosi yang dirasakan.
Air muka Raniya berangsur berubah. Binar keceriaan di mata gadis itu meredup. “Daddy...” lirihnya.
Merasa kasihan, Joe mengambil langkah maju dan memeluk Raniya erat. “Apa kabar, Sayang? Udah lama Uncle nggak lihat kamu.”
Raniya balas merengkuh, menutupi sesak yang menyeruak dalam dada. “Baik, Uncle. Raniya baru aja balik ke negara ini.”
“Emangnya kamu tinggal di mana?” tanya Joe lagi.
“Di Negara S, Uncle.” Raniya melepas pelukan. “Ayo duduk dulu, Uncle, Dad.” Menunjuk dua sofa besar yang tersedia.
Tidak seperti Joe yang menurut dengan mudah, Aldy tampak bergeming di posisi. Pria itu sibuk mengamati anak terbuangnya yang duduk dengan gaya elegan di sofa tunggal. Mengingat kecerdasan Raniya sejak kecil, pribadi bersetelan jas itu tidak keheranan melihat kesuksesan Raniya sekarang.
“Tuan!” pekik Joe sengaja.
Aldy terperanjat. Ia menoleh cepat dengan sorot tajam. “Bisakah kamu tidak mengagetkanku seperti itu?!!” desisnya kesal.
Joe terkekeh. Ia melirik sofa sebelah, kode agar Aldy duduk di sana. “Duduklah, Tuan. Nona Raniya sudah meminta Anda duduk bukan?” tutur Joe.
Mau tak mau, Aldy turut duduk di sofa sebelah Joe, mengabaikan kecamuk di dadanya akibat menatap langsung paras Raniya. Sesekali pria paruh baya itu melirik sang gadis dengan binar kosong, menyembunyikan rasa rindu yang bersemayam.
Terlepas dari masa lalu dan perlakuan Aldy selama ini, pria itu pun merasakan sakit luar biasa membayangkan putrinya luntang-lantung di dunia luar. Entah hidup dengan siapa, tinggal di tempat seperti apa, dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya di kepala Aldy.
Sayangnya, lelaki itu tidak bisa menampik rasa kecewa di hati akibat perbuatan Raniya dahulu. Entah apa yang terjadi pada gadis kecilnya itu sampai berani berbuat nekat terhadap adiknya sendiri.
“Uncle sama Daddy ngapain ke sini?” tanya Raniya dengan senyum manisnya, pura-pura tidak menyadari berkas di tangan Joe. Gadis ini sudah bisa menebak jika tujuan kedua pria ini datang berhubungan dengan bisnis.
“Em, sebenarnya kami ingin mengajukan beberapa kerja sama ke perusahaan kamu ini, Raniya,” kata Joe menjelaskan.
Raniya mengerutkan dahi. “Bukannya perusahaan Daddy udah bergabung sama proyek tahunan Mill Group? Kenapa masih mau ngajuin kerja sama?” herannya.
Aldy berdecih. “Setiap pebisnis harus bisa mengambil kesempatan, Nona. Sepertinya Anda kurang tahu soal itu,” sindir Aldy terang-terangan.
Raniya memejam. Sebelah kakinya dinaikkan ke atas kaki lain, lanjut bersandar dengan gaya elegan. Ketika sepasang matanya terbuka, gadis itu melayangkan tatapan tajam. “Dan, Anda harus tahu, Tuan Aldy, perusahaan kami tidak sembarangan menandatangani kontrak kerja sama,” balas Raniya dingin.
Glek!
Aldy dan Joe tertekan. Aura Raniya mendadak terkuar dan menyerap atmosfer.
“Anda memang daddy saya. Tapi, Anda tahu bukan, urusan pribadi dan bisnis tidak bisa dicampuradukkan?” tutur Raniya menarik tekanannya. “Tapi, jika memang Anda masih bersikukuh, silakan datangi sekretaris saya. Dia akan menyerahkan proposal Anda ke bagian selection untuk ditelaah.”
Buru-buru Joe mengiyakan, takut Raniya akan bertindak lebih keras dari sebelumnya. Tadi saja gadis itu hanya mengeluarkan sedikit auranya dan Joe sudah menelan saliva. Apalagi kalau Raniya marah. Bisa-bisa dirinya keluar cuma tinggal nama.
Tiiinnggg....
Raniya mengambil remote untuk membukakan. Ia memang sengaja memasang pintu otomatis dengan kunci remote supaya tidak ada pihak yang masuk tanpa seizinnya.
Sekretaris Raniya masuk ke dalam dengan nampan di tangan. “Ini tehnya, Nona.”
“Hm, sajikan.” Dua teh dengan aroma khas yang menyegarkan terhidang di meja. “Kamu, bawa berkas proposal kerja sama yang mereka ajukan ke bagian selection. Telaah baik-baik dan hasilnya berikan padaku,” titah Raniya santai.
Wanita itu mengangguk patuh. “Ada lagi yang Anda butuhkan, Nona?”
“Tidak ada. Keluarlah.” Usai menerima tiga berkas dari Joe, sekretaris Raniya keluar dari ruangan. Raniya beralih menatap kedua pria di hadapan. “Minum tehnya dulu, Uncle, Dad. Itu kesukaan Daddy, kan?”
Kali ini, Aldy tidak membantah. Pria itu menyeruput teh favoritnya dengan perasaan tak menentu. Entah mengapa, setiap ia melirik ke arah Raniya—yang parasnya sangat mirip dengannya juga putranya—membuat jantung pria itu berdebar. Jujur, Aldy sangat kagum dengan kemampuan berbisnis Raniya.
“Uncle penasaran.” Suara Joe memecah keheningan. “Apa perusahaan ini kamu yang bangun? Setau Uncle, perusahaan ini udah berdiri lama banget.”
Raniya mengetuk-ngetuk lengan sofa beberapa kali, berpikir sejenak. “Perusahaan ini bukan punya Raniya, kok, Uncle.” Ia menjeda kalimatnya. “Raniya cuma pemimpin sementara.”
“Sementara?” beo Joe bingung.
Raniya mengangguk. “Perusahaan ini punya orang tua angkat Raniya dulu. Mereka sebenarnya punya anak, satu dan perempuan. Namanya Kak Zahra. Tapi, dia belum siap buat mimpin dan milih fokus sama kuliahnya. Jadi, ya, Raniya yang gantiin sementara.”
Orang tua angkat?
Aldy tersenyum tipis. Ternyata putrinya hidup dengan baik di luar sana. Ada orang baik yang mau merawat Raniya. Kalau begini, Aldy jadi merasa lega.
“Kalo dia yang mimpin, kamu?” tanya Joe lagi.
“Uncle tenang aja. Raniya punya perusahaan sendiri, kok.” Raniya menyeringai. “Perusahaan yang Raniya bangun sendiri dan lebih besar dari Mill Group.”
Joe dan Aldy saling berpandangan. Keduanya tidak terkejut lagi. Dengan kemampuan Raniya dan penghasilan uang dari perusahaan Mill Group saja sudah sangat melimpah. Semua itu cukup untuk menjadi modal bagi Raniya mendirikan perusahaan sendiri.
...🔫🗡️🔫...
Sepanjang perjalanan pulang, Aldy termenung di mobil. Pria itu memijat pelipisnya, kepalanya sakit memikirkan ke depan dirinya akan sering bertemu Raniya.
“Ada apa, Tuan?” tanya Joe yang mengerti jika tuannya sedang memikirkan sesuatu.
Aldy menghela napas berat. “Entahlah, Joe. Rasanya campur aduk. Aku nggak ngerti harus gimana ke depannya.”
Joe tersenyum. Ia paham maksud Aldy. “Ayolah, Kak. Raniya nggak mungkin sejahat itu. Dia gadis yang baik. Pertama kali aku denger kabar kalau Raniya nembak Aron, aku sama sekali nggak percaya.” Joe tersenyum tipis mengingat Raniya kecil. “Dia itu pahlawannya Aron sejak kecil. Kamu tau, kan, maksudku?”
Aldy terdiam. Ia tahu, ia tahu artinya. Ia tahu apa saja yang Raniya lakukan semasa kecil. Putri kecilnya itu rela bekerja dan mendapat uang demi membelikan mainan Aron, bukan untuk dirinya sendiri. Tapi, Aldy tidak bisa menampik fakta jika Aron mengatakan bahwa Raniya-lah yang menembaknya hari itu.
Braakk!!
Aldy terlonjak. Ada banyak motor yang mengelilingi mobilnya, pria berpakaian hitam. “Siapa mereka?” tanya Aldy geram.
“Entah,” jawab Joe tak tahu. Ia berusaha keluar dari kepungan. Tapi, sayang, salah dari mereka menembak ban mobil hingga pecah. Mau tak mau, Joe memberhentikan mobil supaya tidak terjadi kecelakaan.
“Kayaknya kita harus turun.” Aldy meraih pistol yang berada di dashboard mobil.
“Saya akan menelepon bantuan, Tuan.” Joe kembali ke mode serius. Dengan sigap, dirinya mengirim pesan dan lokasi saat ini.
“Ayo turun, Joe. Sepertinya musuh kita sudah tidak sabaran.”
...🔫🗡️🔫...
Raniya mendesis ketika mendapat laporan jika Aldy dan Joe dihadang oleh pria-pria di tengah jalan. Walaupun tidak tahu itu siapa, Raniya tahu jika daddy-nya dalam bahaya.
“Siapkan mobilku. Aku akan menyusul mereka,” titah Raniya dingin.
Sang sekretaris mengangguk patuh. “Baik, Nona.”
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments