Ceklekk..
“RANIYA!” Rafael berteriak menyerukan nama sang sahabat ketika dirinya masuk ke dalam sebuah ruang rawat inap, tepat di ambang pintu ruangan.
“WOY!”
Karena posisi Rafael yang tidak bergerak sama sekali, lelaki itu ditabrak dari belakang oleh Jayden dan Alice yang menerobos masuk.
BRUKK!
Raniya meringis melihat Rafael jatuh, kemudian ditimpa oleh tubuh Jayden ditambah Alice. Bukannya menolong, Anna, Thalia, dan Zahra malah terbahak di belakang mereka.
“Anjir! Yang bener dong kalo buka pintu!” seru Alice kesal memukul bahu Jayden.
“Bukan gue yang buka, anjir!” seru Jayden tidak terima disalahkan.
“Woi, Bego! Bangun cepet! Lo berdua ngejatuhin gue, anying!” pekik Rafael merasa keberatan dengan bobot sahabatnya. Apalagi tubuh Jayden yang besar—bukan gendut, ya. Lelaki itu memiliki cetakan otot alami, kok. Emang proporsi tubuh Jayden lumayan besar dan kekar. Jujur, sih, itu kurang sesuai dengan umur Jayden yang masih 19 tahun.
Alice dan Jayden cengengesan, lanjut segera bangkit.
“Gila kali! Dikata gue kasur apa, lo tindih-tindihin?” sungut Rafael merenggangkan tubuh.
“Lah? Lo, kan, emang—”
“Ekhem!”
Terhenti. Percakapan antara Rafael, Jayden, dan Alice tidak dilanjutkan ketika suara deheman kencang itu mengalun. Raniya sebagai si pelaku tersenyum, melirik ke arah May, Aldy, dan Aron yang ada di bilik.
“Eh?” Mereka berenam kaget. Lanjut memperbaiki sikap dan tersenyum ramah. “Halo...” sapa mereka bersama, berusaha melupakan tindakan memalukan beberapa detik lalu.
May mengulas senyum dan mengangguk pelan. Sementara Aron dan Aldy memicingkan mata, curiga. Untuk Rafael, Thalia, dan Zahra, Aron sudah kenal. Kalau yang lain, kan, belum.
“Maaf, Uncle, Aunty, dan Aron, kalau kedatangan kami mengganggu. Kami ke sini mau jenguk Raniya,” ucap Zahra mewakili sahabat sekaligus saudara angkatnya. Pasalnya, gadis itu pun sadar jika dirinya merupakan yang tertua. Jadi, tugas yang diemban pun kadang lebih banyak.
“Iya, nggak pa pa. Masuk aja, Nak.” May mempersilakan mereka masuk lebih dalam.
Buru-buru Thalia bergerak mendekati Raniya. “Kakak nggak pa pa, kah? Kak Raniya sakit apa?” tanyanya cemas.
Raniya tersenyum kecil. “Cuma kegores sedikit, tapi sayang pisau yang dipake ternyata berkarat. Jadi, harus dikasih obat.”
“Tapi, kondisi lo sekarang udah mendingan, kan?” tanya Anna.
“Udah, kok.”
“Syukur, deh.” Mereka berenam jadi lega.
Raniya beralih menatap keluarganya yang sedari tadi memperhatikan. “Mom, kenalin, ini saudara angkat Raniya. Ini Kak Zahra, Kak Jayden, Anna, Alice, Rafael, sama si bungsu, Thalia,” ujar Raniya seraya menunjuk orang yang dimaksud bergantian.
May bangkit dan menggenggam salah satu dari mereka—Zahra. “Makasih, ya, udah mau jadi saudara putri Aunty. Aunty seneng karena anak Aunty nggak sendirian di luar sana. Terima kasih banyak, ya, Nak.”
Zahra balas menggenggam. “Kami juga beruntung punya Raniya sebagai saudara, Aunty.”
...✨✨✨...
Mereka berbincang bersama. Kecuali Aldy tentunya. Pria itu hanya diam, fokus dengan laptop dan pekerjaan. Walaupun begitu, Raniya sudah sangat senang daddy-nya mau menemani di sini.
Di tengah obrolan, dokter yang merawat Raniya datang dan memberitahukan jika pasien sudah bisa dibawa pulang. May meminta Raniya kembali ke mansion, namun Aldy menolak mentah-mentah. Sepasang suami-istri itu bertengkar hebat, saling mempertahankan argumen masing-masing.
“Raniya biar pulang sama yang lain aja, Mom,” sela Raniya mengalah. Ia tidak mau karena dirinya, hubungan antara mommy dan daddy-nya merenggang.
“Tapi, Sayang—”
“Udah, Mom. Lagian Raniya nggak sendiri, kan? Dia punya keluarga sendiri. Biar dia pulang sendiri! Ayo kita pulang!” Aldy menarik tangan May supaya ikut bersamanya.
Wanita itu menyempatkan untuk menoleh ke belakang, melemparkan sorot sendu yang bermakna berupa permintaan maaf karena belum bisa membujuk Aldy. Mau tak mau, Aron turut serta dengan orang tuanya walaupun berat. Lelaki itu terpaksa karena sang kakak juga menyuruhnya pulang.
Tersisa Raniya beserta keenam saudaranya saja di dalam ruangan.
Gadis itu menghela napas. “Urus surat kepulangan gue. Gue mau pulang.”
Zahra mengangguk. “Asisten gue udah ngurus itu, Ran. Tunggu sebentar lagi.”
...✨✨✨...
“Gue ada tugas buat kalian,” kata Raniya setibanya mereka di Mansion Callys.
Rafael memutar bola matanya malas. “Santai dikit kali, Ran. Lo baru aja pulang.” Mereka berenam baru saja meletakkan bokong di sofa empuk mansion. Masa harus berkutat dengan pekerjaan lagi, sih?
Mereka protes karena tidak mendapat jatah istirahat dengan baik!
Raniya menatap Rafael tajam. “Yang ini darurat!” sinisnya yang menciutkan nyali sang lawan bicara. “Rafael sama Thalia, gue nggak mau tau, gimanapun caranya, cari tau siapa dalang dibalik penculikan daddy gue. Gue mau informasi ini kalian dapetin secepatnya, ngerti?”
Rafael dan Thalia mengangguk patuh. “Ngerti, Ran.”
“Seandainya gue nggak bisa dihubungi, kasih infonya ke Anna sama Jayden. Kalian berdua harus tangkap pelakunya hidup-hidup. Gue sendiri yang akan habisi. Paham?”
Anna dan Jayden menggangguk.
“Buat Alice sama Zahra, kalian fokus ngurus perusahaan. Seleksi bener-bener siapa aja yang kerja sama sama perusahaan kita. Gue yakin kalo pelaku penculikan ini karena dendam bisnis. Daddy nggak pernah cari masalah sama orang lain,” papar Raniya dengan keyakinan penuh.
“Iya, Ran.”
“Kirim keamanan tambahan buat keluarga gue. Terserah kalian mau pake Smartbee atau bodyguard bayangan, pokoknya keselamatan mereka kalian yang jamin.”
Anna mengangguk. “Iya, Ran. Gue akan kirim bodyguard di sekitar mereka.” Untuk masalah seperti ini, memang Anna yang selalu diandalkan.
Raniya mengangguk puas. “Bagus. Gue mau semuanya sempurna. Salah dikit aja..” Raniya menarik sebelah sudut bibirnya. “Nyawa kalian bakalan pisah dari tubuh kalian detik itu juga. Lo semua bakalan jadi pelampiasan gue. Ngerti?”
Deg!
Sial! Makin lama, Raniya makin nyeremin.
...✨✨✨...
Malam hari...
Raniya duduk manis di sofa yang tersedia di balkon kamarnya, memandangi langit berbintang yang lumayan indah walaupun tertutupi beberapa awan. Berulang kali ia menghela napas berat, berharap dengan begitu beban di bahunya sedikit berkurang. Entah mengapa, hidupnya bertambah rumit kian harinya.
Sama seperti yang lain, Raniya pun ingin beristirahat. Gadis itu memimpikan liburan menyenangkan bersama orang-orang tersayang. Sebuah perjalanan yang damai dan menentramkan hati, tidak ada pekerjaan yang menumpuk ataupun tugas yang harus dikerjakan. Hanya kedamaian yang didapat.
Tapi, sayang, itu cukup mustahil untuk diwujudkan dalam situasi semacam ini. Mungkin bisa, namun tidak dekat-dekat ini.
Ting!
Raniya meraih ponsel di sofa sebelah, membuka pesan yang baru saja masuk.
...____________________...
...Mr. Bos...
...online...
• Beraksi lbh cepat, Raniya
• Saya tdk mau rencana ini tercium sblm waktunya!
...____________________...
Gadis itu resah, bibir bawahnya digigit sedemikian rupa. Jemarinya mulai menari di layar, mengetikkan pesan balasan.
...____________________...
...****Mr. Bos****...
...****online****...
^^^Baik, Bos ✓^^^
...____________________...
Raniya menghela napas, lanjut bangkit dari duduk. Dia tidak boleh hanya berdiam diri.
Ada misi yang menantinya untuk diselesaikan...
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments