Selepas kepergian sang guru, Raniya berbalik ingin ke kantin. Namun, lagi dan lagi, Desia berulah dengan menahan tangannya.
“Mau ke mana lo?” tanya Desia sinis.
“Ketemu Aron,” kata Raniya menyentak tangan Desia dari lengannya.
“Nggak! Lo nggak boleh ketemu sama dia!!”
“Atas dasar apa kamu larang aku ketemu sama adik aku sendiri?” tanya Raniya mulai kehabisan kesabaran. Desia benar-benar gadis tidak tahu diri. Seandainya mau, Raniya bisa menghancurkan gadis itu dalam sekejap.
Tapi, sayang, Raniya tidak bisa melakukannya karena masalah yang diangkut masih bisa diselesaikan dengan cara lain, bukan kekerasan.
“Cewek kayak lo cuma bisa kasih pengaruh buruk sama mereka! Jadi, mendingan lo jauhin Aron sama yang lain, deh.” Desia menatap Raniya dari atas sampai bawah, lanjut menyeringai. “Dasar kakak nggak guna.”
Raniya merotasikan bola matanya jengah. Lantaran tidak ingin memedulikan lagi, ia memutar badan dan melangkah menjauh. Teriakan Desia ia anggap angin lalu.
Di belakang, Desia mengepalkan tangan. Sialan lo, Ran! Gue jamin, lo bakalan dikeluarin dari sekolah ini.
...✨✨✨...
“Santai aja kali, Ron. Bentar lagi Raniya ke sini, kok,” ucap Alan yang duduk di bangku kantin sebelah Aron. Sahabatnya itu nampak khawatir karena sang kakak tidak kunjung datang.
“Gue tau,” balas Aron pelan. Ia melirik pintu masuk kantin berkali-kali, berharap sosok Raniya akan segera memperlihatkan batang hidungnya. Tapi, sejak tadi, gadis itu belum hadir.
Aron sudah tahu mengenai masalah yang menimpa kakaknya. Dan, jelas lelaki itu tidak percaya!
Aron tahu betul seberapa pintar Raniya. Gadis itu sudah genius sejak kecil. Jadi, untuk apa ia melakukan manipulasi nilai jika Raniya sudah pintar? Bahkan, Aron yakin kalau kakaknya itu sanggup lompat kelas jika mau.
Raniya bukan pribadi seperti yang digosipkan. Dia sosok terbaik yang pernah Aron kenal; pemaaf dan penyayang.
“Gue susul kali, ya?” gumam Aron cemas. Ia hendak bangkit, namun siluet Raniya lebih dulu tampak. Lelaki itu menghembuskan napas lega. “Ke mana aja, sih, lo, Kak?” omelnya.
Raniya nyengir. “Maaf, ada kerikil di tengah jalan tadi.”
“Hah? Kerikil?” Aron bingung.
Dion tertawa melihat raut tak paham sahabatnya. “Adek lo, nih, Ran. Dari tadi dia cemasin lo sampe mau nyusul tadi. Untung lo dateng duluan.”
Aron melotot. Sementara Raniya mengulas senyum. Tangannya terangkat mengacak-acak rambut sang adik. “Ulululu.. adik Kakak khawatir, ya?”
Aron menepis tangan Raniya, lanjut memalingkan wajah yang tersipu. “Em.. g–gue... wajar dong kalo cemas. Kan, lo saudari gue.”
“Iya, saudaraku,” goda Raniya.
“Kaaakk.. ih!” protes Aron yang sukses mengundang gelak tawa yang lain. “Terus gimana? Masalahnya udah selesai?”
Raniya tidak langsung menjawab, tawanya mendadak surut. Ekspresi gadis itu berubah drastis. Kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban. “Lebih rumit, Dek. Kakak harus cari bukti dulu.”
Aron turut sedih melihat gadis yang biasanya ceria, kini muram. Ia merangkul lengan Raniya dan mengusap pelan. “Gue akan bantu cari buktinya. Lo tenang aja, ya. Semua akan baik-baik aja.”
Raniya tertawa pelan. Ia mengangguk, tidak ingin menambah beban di pikiran Aron.
“Oh, ya. Nanti malem lo sibuk nggak, Kak?” tanya Aron merubah topik. Ia menggeser piring waffle ke arah Raniya. Lelaki itu sengaja memesan untuk kakaknya itu.
“Emang kenapa?” Raniya memotong waffle dan melahapnya.
“Gue mau ngajak lo jalan-jalan.”
“Kenapa malem-malem?” heran Raniya.
“Ya.. pengen aja.” Aron mengulas senyum meyakinkan. “Bisa nggak?”
Raniya berpikir sejenak, kemudian mengangguk antusias. Ia menerima ajakan adiknya ini. Mungkin dengan jalan-jalan bersama bisa membuat otaknya lebih fresh.
“Pake baju biru, ya, Kak. Biar couple-an,” kata Aron.
Raniya terkekeh. “Iya, Sayang.”
...✨✨✨...
Sebelum pukul 7 malam, Raniya sudah pergi ke rumahnya yang lain—bukan mansion. Bisa gawat jika Aron tidak menemukannya di rumah yang pernah ia berikan alamatnya.
“Non mau ke mana? Kok rapi banget. Mau jalan sama pacar, ya?” tanya Bibi Jasmine sekaligus ingin menggoda.
Raniya tertawa. “Raniya mana ada punya pacar, Bi. Crush-nya Raniya nggak peka, sih.”
Mau tak mau, Bibi Jasmine turut tertawa. Hubungan antara majikan dan atasan ini memang cukup dekat sejak dulu.
“Raniya mau jalan sama Aron, Bi.”
“Oh, Den Aron?” Bibi Jasmine manggut-manggut. Pantas saja aura kebahagiaan dari Raniya terasa begitu kuat—bahkan dari dapur. Ternyata ini alasannya toh.
Gadis itu mengenakan pakaian bernuansa biru—kaus putih, yang dibalut blazer biru muda. Celana yang dikenakan pun berwarna biru muda. Raniya siap pergi jalan malam ini.
Tiiinn tinn..
“Nah, itu kayaknya Aron udah dateng, Bi. Raniya pamit dulu, ya.” Usai mendapat balasan dari Bibi Jasmine, Raniya melenggang keluar rumah dengan tas selempang putih.
Raniya masuk ke dalam mobil sport Toyota hitam. Aron menaik-turunkan alisnya melihat penampilan Raniya malam ini. “Wow, ada bidadari. Culik, ah.”
Tidak jauh berbeda, lelaki itu mengenakan jaket biru tua dengan kaus putih di dalam. Celana yang dipakai pun berwarna biru tua.
Raniya memukul lengan Aron pelan, menyembunyikan fakta jika dirinya tengah tersipu. “Kita mau ke mana, sih?” tanyanya penasaran.
Aron tersenyum misterius. “Ada, deh. Gue ada kejutan buat lo.”
Percayalah, seandainya orang-orang tidak memperhatikan kemiripan di wajah keduanya, pasti banyak yang mengira Aron dan Raniya adalah sepasang kekasih. Mereka keliatan mesra banget, kan?
“Awas, ya, kalo Kakak beneran diculik,” peringat Raniya sok serius.
“Kalo beneran, gimana?” tanya Aron menggoda.
“Kakak pukul kamu.” Raniya mengangkat tangan, berlagak ingin menggeplak Aron.
Keduanya tertawa bersama, menikmati momen indah yang tercipta malam ini.
...✨✨✨...
Berkeliling sepanjang malam sebelum ke puncak acara. Itu yang Aron katakan. Raniya, sih, menurut saja. Berbagai tempat dengan suasana cantik didatangi untuk dijadikan spot berfoto.
Hampir tengah malam, keduanya sama-sama tidak ingin pulang. Alhasil, Aron mengajak Raniya ke salah satu cafe yang buka 24 jam. Mereka berbincang seru di rooftop cafe, sengaja karena ingin menikmati suasana malam kota.
“Setelah pergi dari rumah, lo tinggal di mana, Kak?” tanya Aron mengubah topik.
Raniya tersenyum kecil, otaknya secara otomatis memutar kenangan yang telah terlewati. Ada banyak lika-liku yang Raniya alami selama 11 tahun hidup tanpa keluarga kandung. Untuk berada di titik ini pun sebenarnya Raniya kadang masih merasa tidak percaya. Ia berhasil mewujudkan mimpi dan bisa dekat kembali dengan saudara kesayangan.
Cukup begitu saja, Raniya sudah sangat bahagia.
“Sama Bunda Jenny,” jawab Raniya.
“Bunda Jenny?” ulang Aron yang diangguki Raniya. “Terus orangnya di mana sekarang? Kayaknya gue nggak pernah liat.”
“Dia udah meninggal, Aron.”
Aron terkejut sesaat. Ia turut sedih melihat sang kakak merubah air muka. Akan tetapi, sebagian hati lelaki itu tersenyum lega. Kakaknya tidak sendirian dan hidup susah di luar sana.
Duaarrr!
Duaaarr!!
“Wah! Ada kembang api!” sorak Raniya girang. Spontan gadis itu bangkit dari kursi, lantas berlari menuju railing besi rooftop, memperhatikan ledakan di langit malam yang kemudian mengeluarkan percikan cahaya indah membentuk bunga.
Cantik banget...
Raniya tersenyum lebar dengan tatapan terus mengarah ke atas.
🎵 Selamat ulang tahun~
Raniya tertegun. Ia berbalik dan menemukan Aron tengah berdiri sembari membawa kue.
🎵 Selamat ulang tahun~
🎵 Selamat ulang tahun, Kakak~
🎵 Selamat ulang tahun~
Raniya menatap adiknya penuh haru. Ini pertama kalinya ia merayakan ulang tahun bersama kembarannya setelah perpisahan hari itu.
Aron meletakkan kue di atas meja, memberi pelukan hangat untuk Raniya. “Happy birthday, My Sister,” bisiknya.
“Happy birthday, My Brother,” balas Raniya turut berbisik.
Aron mengajak Raniya untuk membuat permohonan bersama dan meniup lilin bersama pula. Tentu saja Raniya mengiyakan dengan bahagia. Keduanya terlihat gembira walaupun hanya ada keduanya yang saling mengucapkan.
Raniya memotong kue cokelat itu dan menyuapkan pada Aron, begitupun sebaliknya. Aron menyuapkan sepotong kue pada kakaknya.
Keduanya tertawa bersama ketika bibir Aron maupun Raniya belepotan cokelat. Aron merengkuh pinggang Raniya, mengajaknya kembali memandang kembang api di langit.
Di sudut cafe, di bagian rooftop yang remang-remang, dua sosok berdiri diam, menyaksikan anak-anak mereka merayakan ulang tahun.
“Daddy liat, kan? Raniya nggak seburuk itu,” ucap May pada suaminya.
Aldy bergeming. Sorot matanya tidak beralih sama sekali dari Raniya juga Aron.
“Sekali aja Daddy pikirin, seandainya kejadian 11 tahun lalu emang Raniya pelakunya, apa Aron akan sebaik ini sama orang yang mau bunuh dia?”
Deg!
Tubuh Aldy menegang. Spekulasi itu pertama kali ia dengar. Jantungnya berdebar, memutar ulang rekaman-rekaman masa lalu di kepalanya.
“Keputusan tetap ada di Daddy, apa Daddy mau terima Raniya lagi atau nggak. Tapi, Mommy akan tetap terima Raniya karena Mommy yakin Raniya nggak salah, Dad.”
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Sun_Lee
Maaf Ay, baru mampir ... 🌹 sekuntum bunga untuk penyemangat
2022-05-29
1