"Kali aja penting Bu Aini. Angkat saja, daripada berisik,"
"Bukan waktunya Bu Tina, sudah terlalu larut. Mau tak offline saja paket datanya. Mau tidur nggak bisa diganggu gugat," lalu segera meng klik off paket datanya.
Setelah Hp diletakan di nakes langsung tertidur.
*********************************
"Kenapa nggak diangkat Aini. Padahal masih online!" Abid kesal.
"Wa saja lah," Kemudian berkali-kali Abid mengirim pesan singkat ke hp Aini ... lama-lama hanya centang satu.
"Aarrrrgghhh, malah dimatikan hhhhhh ... Aini Aini ... kenapa kamu keras kepala sekali. Harusnya kamu mikir sekarang. Suamimu sudah nggak bisa ngapa ngapain. Kamu harusnya bersamaku. Kamu akan bahagia Aini jika bersamaku," Abid kesal.
"Lama-lama aku bisa gila memikirkan Aini. Aku khawatir Aini nggak bahagia saat ini. Akan dipastikan jika tidak bahagia maka aku akan merebutnya dari Al, jika dia bahagia maka aku akan lepaskan," ucap Abid lirih.
Akhirnya Abid kembali ke kamarnya untuk istirahat. Meski dalam otaknya masih terus bertanya-tanya, mengapa Aini sangat keras kepala tidak mau membuka hatinya sedikit untuk dirinya. Apakah dirinya terlalu hina dalam anggapan Aini. Dia menyesali perbuatannya dulu yang sering gonta ganti wanita sebenarnya dia tidak menikmati kebersamaan dengan wanita-wanita itu. Abid hanya memancing kecemburuan Aini, tapi hasilnya sangat jauh dari dugaan. Aini justru semakin menjauh karena mengira Abid suka mempermainkan wanita.
Tidur Abid tidak begitu nyenyak. Adzan subuh berkumandang dia sudah terbangun. Dia membersihkan diri lebih awal daripada teman sekamarnya. Setelah sholat keluar kamar menuju balkon menghirup udara pagi hari. Menenangkan pikiran yang kacau. Abid kaget ternyata kamarnya bersebelahan dengan Aini. Abid melihat Aini sedang duduk santai di kursi yang ada di balkon sambil memandangi layar hp, duduk sendirian sambil senyum-senyum sendiri. Meski dibatasi tembok, namun temboknya hanya sepinggang orang dewasa. Jadi masih leluasa untuk bertegur sapa.
"Aini, pagi Aini" sapa Abid
"Eh....pagi Pak Abid" ucap Aini kaget
"Aini, kenapa aku telepon nggak diangkat. Dan pesanku nggak dibalas?" cecer Abid. Mendengar penuturan Abid, Aini menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan untuk menenangkan emosi yang memuncak.
"Maaf, saya rasa nggak ada yang perlu dibahas Pak Abid. Malam-malam rasanya nggak etis kalau saya harus mengangkat telpon apalagi dari lawan jenis. Jelas-jelas saya wanita bersuami," Jelas Aini panjang lebar.
"Jika saya menerima telepon dan membalas wa dari Pak Abid malahan harus dipertanyakan. Berarti saya bukan wanita baik-baik yang tidak memiliki etika dan harga diri," tambah Aini kemudian terdiam.
"Aini, apakah kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?"
"Pak Abid melihatnya bagaimana?" balik bertanya.
"Aku yang bertanya Aini, kenapa balik tanya. Kalau aku tau, maka nggak perlu kutanyakan,"
"Sebenarnya nggak perlu aku jelaskan tentang kehidupanku Pak Abid. Saya rasa bukan ranah kita membicarakan hal yang terlalu pribadi,"
"Bukan begitu Aini. Kamu jelas paham sikapku selama ini. Saya sangat menginginkanmu, mencintaimu dari dulu sebelum kamu bersama Al,"
"Hhhhhhh ... memang betul Pak Abid, ada yang perlu saya luruskan dan tegaskan disini pak Abid. Sebenarnya saya juga risih dengan sikap pak Abid selama ini yang terlalu berlebihan terhadap saya. Tapi saya nggak ada hak buat berbicara. Apalagi Pak Abid tau betul keadaan saya, yang sudah bersuami. Tanyakan pada hati nurani Pak Abid. Apakah sikap pak Abid selama ini sudah benar atau sebaliknya?" cerocos Aini
"Saya rasa pak Abid orang yang berpendidikan, tinggal dilingkungan baik dan saya yakin sekali orang tua pak Abid juga tidak menghendaki pak Abid bersikap seperti itu terhadap saya. Saya yakin Pak Bid jelas mengetahui mana yang boleh dilakukan mana yang tidak boleh dilakukan karena nantinya akan menyakiti orang lain," lanjut Aini
Kata-kata Aini sangat menohok. Tapi Abid masih mengedepankan egonya. Jika ada kata-kata cinta tak harus memiliki Abid tidak terima, karena sangat menyakitkan.
"Aini, apakah kamu akan terus bertahan bersama Al, sementara Al saat ini tidak bisa berbuat apa-apa, lama-lama asetnya juga akan habis buat berobat dan biaya hidup. Saya tidak mau kamu hidup kesusahan Aini. Aku menginginkan kamu bahagia Aini," cicit Abid
Prok prok prok
Aini bertepuk tangan sambil tersenyum kecut.
"Ternyata Pak Abid hebat ya, bisa jadi peramal. Dimana mengetahui perasaanku. Tapi sayangnya ramalannya kurang tepat. Alhamdulillah aku sangat bahagia dengan kehidupanku kemarin ataupun sekarang. Kalau kebahagiaan hanya diukur dari kekayaan bagaimana dengan tuna wisma. Apakah mereka harus terus meratapi nasibnya. Kenyataannya mereka tetap bisa tersenyum. Hidup itu pilihan, kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan. Banyak orang kaya tapi hidupnya berakhir dengan bunuh diri karena tertekan, artinya kehidupannya yang serba lebih tidak bisa menikmatinya. Kaya miskin tidak akan menjamin kebahagiaan, karena kebahagiaan letaknya dihati, bagaimana kita bisa menikmati dan bersyukur dengan setiap proses kehidupan yang kita jalani," ucap Aini penuh dengan penekanan. Ini kesempatan bagi Aini untuk menyadarkan Abid.
Ego Abid mengatakan kalau Aini berbicara seperti itu hanya untuk menutupi keadaan sebenarnya. Abid yakin kalau masih ada kesempatan buat mendapatkan Aini.
"Kalau Pak Abid sikapnya masih seperti ini terus mohon maaf, jangan salahkan saya kalau kita ketemu dijalan atau di manapun saya pura pura tidak mengenal Pak Abid,"
"Jangan begitu Aini, maafkan atas sikapku. Semua yang kulakukan karena aku peduli sama kamu,"
"Maafkan aku selama ini Aini, saya harap kamu tidak menjauhiku. Saya akan coba menghilangkan rasa sukaku padamu," pupus sudah harapan Abid.
"Mulailah membuka diri buat wanita lain pak Abid, Aini berdoa semoga pak Abid mendapat pendamping yang solehah,"
"Terimakasih Aini, jangan membenciku ya," pinta Abid
"InsyaAllah sudah saya maafkan Pak Abid, asal pak Abid bersikap sewajarnya ke saya,"
"Ya sudah saya mau siap-siap. Pak Abid mau sarapan juga?" Aini mulai ramah
"Iya ... ayuk," Abid menerima kekecewaannya, daripada harus kehilangan pertemanan dengan Aini dia nggak sanggup. "Bismillah, ya Allah aku sadar sikapku selama ini terhadap Aini tidak benar. Bagaimanapun Aini sudah bahagia bersama suaminya. Ya Allah mampukan aku melupakan Aini, Ampuni aku ya Allah" doa Abid di balkon. Sementara Aini sudah masuk ke kamar untuk packing persiapan siang nanti sudah pulang, dan persiapan mau sarapan.
"Bu Aini, bicara sama siapa tadi?"
"Ah itu, tetangga kamar kita Bu kebetulan tadi sama-sama lagi santai di balkon,"
Sebenarnya Bu Tina sedikit mendengarkan perbincangan mereka, tapi tidak mau tau banyak urusan mereka. Dari sebagian yang didengarnya itu ada kaitannya dengan orang yang menelpon tadi malam. Mengingat kata yang dilontarkan Aini tadi dengan penghuni kamar sebelah sepertinya nadanya terlihat kesal, dan Bu Tina menganggap sikap Bu Aini sudah benar. Bu Tina paham Aini bersikap tegas dalam hal ini. Mengingat status Aini sudah bersuami.
"Didunia ini, ada-ada saja astagfirullah," sambil geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Aini tidak menyadari yang dilakukan Bu Tina, karena Aini posisi jalan lebih dulu. Bu Tina menutup pintu lalu mensejajarkan posisi jalan dengan Aini untuk sarapan.
...🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷...
Terimakasih untuk para pembaca setia❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Ufika
tapi membuka hati bukan perkara mudah aini
2022-08-09
0
mom mimu
pa Abid terlalu terobsesi sama Aini, dia terlampau percaya diri juga....
2022-06-26
0
Ridhatin Hasanah
kamu hebat Aini, jangan mudah tergoda 👍
2022-06-23
0