“Hahaha, siapa aku?” kau tidak layak bertanya dan juga untuk apa kau bertanya yang sebentar lagi akan mati.” Dari kegelapan kerimbunan pohon perlahan-lahan terlihat seorang pria paru baya yang memakai topeng rubah yang berwarna putih.
Wusss. Dalam sekejap mata pedang kembali ke tangannya. “bocah! hari ini adalah hari kematianmu.”
Mendengar itu tentu saja membuat simo marah, baru bertemu saja sudah sombong seperti itu.
“kita akan lihat siapa yang akan mati.”
“Oh, kau meremehkan ku ya!” pria itu melesat menuju arah simo.
Sebelum pria itu mencapai simo, simo memerintahkan Lia dan Rina untuk menjauh, setalah itu simo melesat.
Tang, teng, tang, tang, teng. “suara dua bilang pedang yang saling beradu. Simo menyerang dengan berbagai ayunan dan gerakan yang di pelajari sebelumnya begitu pun musuhnya. Pria itu tiada henti-hentinya terus mengayunkan pedangnya, akan tetapi selalu berhasil simo tangkis.
Pertarungan mereka sangat cepat, bahkan tangan keduanya nyaris tidak terlihat karena saking cepatnya dan begitu pun kedua pedang mereka yang hanya percikan-percikan api yang terlihat.
Keduanya sama-sama kuat!
Sementara itu, Lia dan Rina duduk di atas dahan pohon terdekat, menyaksikan pertarungan keduanya. Lia memperlihatkan ekspresi kagum di wajahnya, dia baru pertama kali menyaksikan pertarungan yang sehebat itu sedangkan Rina memperlihatkan ekspresi ketakutan di wajahnya karena sangat mengkhawatirkan simo.
“apakah simo akan menang?” tanya Rina dengan suara lirih dan khawatir.
“Rina, kau tenang saja, dia akan baik-baik saja, jika kau mengkhawatirkannya kau harus memberikannya semangat, bukan memperlihatkan ekspresi ketakutan seperti itu.”
“Tapi...aku tidak bisa.” Ucap Riana yang memang apa adanya.
“Begini saja, kau pejamkan matamu dan berdoa demi keselamatan simo.”
“kau benar.” Ucap Rina lalu mulai berdoa.
Kembali ke simo yang masih mengadu pedangnya. Setiap serangan yang dia terima, dia dapat merasakan pedangnya di tahan oleh satu batu yang besar dan keras sehingga menguras tenaganya dengan cepat. Baru beberapa detik beradu pedang, dia sudah merasakan tenaganya sudah berkurang 30 persen yang membuatnya harus meminimalisir kontak senjata dengan musuhnya itu.
“Bocah! aku tidak menyangka kau bisa bertahan selama ini.” Ujar pria itu seraya menyerang simo.
“apakah kau sudah siapa mati.” Ucap simo dengan dingin. Sumo sekarang sudah memasuki sikap dinginnya.
Mendengar itu pria itu tertawa, dia tidak menyangka seorang anak kecil berbicara seperti itu kepadanya. “bocah sombong, kau pikir kau hebat! Sekarang lihatlah ini.” Pria itu melompat ke belakang.
Pria itu mempererat pegangannya. Tubuhnya mengeluarkan aura panas yang tinggi. “tebasan api!” Pria itu mengayunkan pedangnya, seketika muncul beberapa api yang berbentuk bulan sabit.
“bomm, bomm, bommm.” Ledakan demi ledakan terdengar dari tempat jatuhnya api itu.
Simo terus berhasil menghindarinya meski beberapa ujung bajunya sedikit terkena. Dia sekarang merasakan musuhnya mengeluarkan energi yang lebih besar dan kuat membuatnya lebih waspada.
“Hari ini kau akan mati terbakar! Hahaha” pria itu lagi-lagi melempar serangan api bulan sabit, tetapi simo selalu berhasil menghindarinya.
“chih, kau hanya beruntung saja, sekarang rasakan ini.” Pria mulai kesal karena setiap serangannya tidak mengenai simo lalu mengeluarkan bola-bola api dari tangannya kemudian melemparnya dengan keras.
Bola api itu berukuran bola pingpong, meskipun begitu bola api sangat cepat dan panas.
Pria itu menyerang simo dengan puluhan bola api, akan tetapi lagi-lagi simo selalu bisa menangkis dan menghindarinya.
“apa bola apimu sudah habis.” Ucap simo yang menyindir.
Pria itu menjadi semakin kesal dan berencana menggunakan salah satu serangan terkuatnya. “tentu saja tidak, tapi aku tidak yakin bisa menghindarinya.” Seketika di telapak tangannya muncul bola api yang semakin membesar dan berhenti setelah seukuran dengan batu besar 3 meter.
“ahahah, bocah rasakan ini.” Pria itu melempar bola itu dengan keras layaknya melempar bola biasa.
Wuss.
Sebelum mencapai simo, dia berhasil menghindarinya akan tetapi beberapa pakainya sudah terbakar.
“bommmm!!!!” suara ledakan yang begitu hebat terdengar. Saat simo melihatnya, dia sangat terkejut melihat daya rusak akibat bola api itu yang sangat dahsyat bahkan untuk pertama kali membuat simo menelan ludah, ngeri.
Bola api itu berhasil menghancurkan ratusan pohon dalam sekejap.
Simo kembali menatap musuhnya. “apa hanya segitu saja?”
Mendengar itu pria itu menjadi semakin kesal. “bocah sialan! aku tidak akan melepaskanmu.” Pria itu mengalirkan apinya ke bilah pedangnya membuat pedang itu di selubungun api panas.
Melihat itu Rina terus berdoa dan menyatukan kedua tangannya dengan erat di depan dada begitu pun Lia yang berdoa dalam hati.
Musuh simo sekarang adalah lawan yang kuat dan melebihinya levelnya sekarang. Simo dapat merasakan musuhnya berada di 2 tingkat di atasnya, **** begitu perbedaannya sangat jauh, apalagi musuhnya sudah bisa mengeluarkan energi mikrosmos (alam kecil)
Pria itu melesat dan sekali lagi terjadi pertarungan antara pedang. Jika sebelumnya mereka seimbang, sekarang tidak lagi; terlihat jelas pria itu sangat mengungguli simo, bahkan dia berhasil untuk pertama kalinya menggores tubuh simo.
Melihat itu, pria itu semakin yakin akan kemenangannya dan menambah serangannya.
Pertarungan terus berlanjut. Simo terus berusaha menahan dan berusaha menyerang, meski dia sudah kesulitan. di samping harus menahan serangan, dia juga harus menahan suhu panas api di pedang itu. Bajunya sudah beberapa berlubang dan terbakar oleh api itu.
“Hahaha, bocah sudah aku bilang kau akan mati!.” Ucap pria itu seraya mendorong simo.
Sumo tidak berkata apa pun, dia hanya berusaha menahan pedang api itu dengan sekuat tenaga dan terlihat jelas simo sedang terpojok.
Brukkk. Pria itu berhasil menendang dada simo, yang membuatnya tersungkur beberapa meter.
Sementara itu Rina yang melihatnya, tidak kuasa menahan diri untuk pergi menghampiri simo, tetapi dengan cepat Lia memegang tangannya.
“Lepas aku! aku harus menolongnya.” Rina berusaha melepaskan diri.
Lia yang melihatnya, menarik nafas panjang. “ Rina, tenangkan dirimu, simo sudah beberapa kali seperti itu dan itu sudah hal biasa terjadi. kau harusnya yakin dia bisa mengalahkan musuhnya.”
“Bagaimana aku bisa tenang, sedangkan simo sudah terluka seperti itu! Lia lepaskan aku.”
Melihat temannya itu, Lia tetap tidak membiarkannya pergi karena dia yakin itu akan menambah situasi menjadi semakin buruk.
Simo Perlahan-lahan berdiri.
“bocah, sudah aku bilang kan kau akan mati!”
Mendengar itu simo tersenyum sinis. “kau menang karena curang dan beraninya melawan anak kecil sepertiku. apa kau tidak malu jika kabar itu terdengar, seorang pria bertarung melawan seorang anak kecil.”
“di dunia ini, tidak ada rasa malu, yang ada hanya menang atau mati!” pria itu bersiap-siap bertarung lagi dengan cepat simo menghentikannya.
“bagaimana kita bertarung, tanpa pedang.”
“Tanpa pedang?”
“ya, kau bisa melawanku dengan bergulat, bagaimana?”
Mendengar itu pria berpikir sebentar dan mengangguk. Di dalam pikiran pria itu, dia sudah memikirkan usulan simo tidak ada ruginya, apalagi simo sudah terluka, akan lebih mudah mengalahkannya.
Kedua belah pihak melempar senjatanya lalu maju dan saling memandang seraya berputar.
Simo dengan cepat meraih kaki musuhnya dan membantingnya beberapa kali lalu melemparnya membuat musuhnya memuntahkan seteguk darah segar.
“Sialan!” celoteh pria itu seraya berdiri lalu menyerang simo dengan berbagai pukulan dan tendangan, tetapi simo terus berhasil menghindarinya.
Saat terus mencoba memukul simo, tangan pria itu berhasil simo raih, tanpa membuang kesempatan, simo lalu memukul dada pria itu dan lagi-lagi membantingnya.
Brakkk. Suara bantingan simo yang membuat pria itu mengeluarkan seteguk darah segar lagi.
“ukh, ukh, ukh bocah sialan!” pria itu mengumpat seraya berdiri. Dia dapat merasakan dadanya sakit dan punggungnya patah.
Simo yang melihatnya tersenyum karena dapat membalikkan keadaan.
Wuss pria itu kembali menarik pedangnya.
“Simo!” ujar Lia yang melempar pedang ke arah simo.
“Aku tidak menyangka kau biasa menipuku seperti itu.” Di tangan pria itu Bola-bola api terbentuk. “bola api!” ujarnya seraya melemparkan bola-bola api, meskipun ukurannya sudah mengecil karena energinya yang semakin sedikit, pria tetap mengeluarkannya.
Simo berusaha terus menghindar, meski dia sudah kelelahan. Dia tidak menghindar di tempat; dia terus berusaha menggapai musuhnya.
Pria itu terus menyerangnya dengan bola-bola api akan tetapi simo selalu berhasil menghindarinya bahkan dia terus mendekat dan akhirnya dia mencapai musuhnya lalu mengayunkan pedangnya.
Singgg. Suara ayunan pedang simo, meskipun tidak mengenai tubuh musuhnya, tapi serangan itu berhasil membelah topeng pria itu.
Saat topeng itu jatuh, simo membesarkan matanya, dia tidak percaya apa yang di lihatnya. Ada rasa hangat dalam hatinya setelah melihatnya, apalagi itu wajah yang selalu menemaninya dari kecil.
“apa yang sedang kau pikirkan cucuku.” Ya itu aoba yang sedang menyamar.
“kakek!” simo memeluk kakeknya yang sudah beberapa hari tidak dia temui.
“ahahah, cucuku sudah semakin kuat.”
“Kakek, ke mana saja, apa Kakek terluka?” ucap sumo seraya menengadah menatap kakeknya.
“tentu saja tidak.” Ucap aoba berbohong. Aoba masih merasakan sakit di dada dan punggungnya akibat bantingan simo tadi.
“simo!” ujar Rina yang sudah mendekat.
Simo berbalik.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Rina dengan wajah khawatir.
“tidak Rina, aku hanya luka ringan.”
“Walaupun itu luka ringan itu bisa menyebabkan infeksi, aku obati ya?”
“Tapi ini....”
“tidak ada alasan lagi, aku obati nanti!” ucap Rina dengan tegas.
Simo yang mendengarnya, hanya bisa pasrah.
Rina memusatkan pandangnya kepada Aoba. pandangannya sangat tajam dan mencekam membuat aoba merasa sedikit tidak enak. Apalagi padangan itu mengeluarkan aura kematian yang mencekam.
“Aoba, kau sebagai kakeknya seharusnya tidak membuat cucuku terluka seperti itu.” Bentak Rina dengan marah.
“ahahah, maaf, maaf, aku tidak sengaja.” Jawab aoba seraya menyembunyikan rasa takutnya.
“Wanita peri dan wanita manusia jika marah sama-sama saja.” Batin Aoba.
“Yah, jadi tugas kami sudah selesai ya.” Ujar Lia seraya mendekat.
“Ya, begitulah, kalian sudah bisa pulang sekarang dan terima kasih sudah menolongku.” Ucap simo.
“Sama-sama.” Ucap Lia sedangkan Rina mengangguk seraya tersenyum.
“tapi sebelum aku pergi ada sesuatu yang harus kau terima.” Ucap Lia lalu mengeluarkan lipatan kertas.
Rina yang melihatnya, tiba-tiba menjadi cemberut. “Lia kau penghianat!” ujar Rina yang sedikit marah. Kertas itu adalah keras yang berada di tangan simo saat Lia dan Rina menemukannya. Kertas itu adalah surat yang di berikan oleh namila yang begitu saja di tinggalkan. pada saat itu Rina dan Lia tanpa sengaja melihatnya, Rina menduga itu surat cinta yang pernah dia dengar oleh karena itu dia ingin sekali menyembunyikan, bahkan jika bisa dia menghancurkannya, tapi dia lupa untuk menghancurkannya.
Jelas sekali Rina cemburu jika simo mendapat Surat apalagi itu surat dari seorang gadis!
Lia yang mendengar hanya tertawa kecil, menikmati wajah lucu Rina yang cemberut.
“Surat apa ini?” tanya simo seraya mengerutkan keningnya. Simo tidak memiliki teman, kerabat ataupun yang lainya dan tentu saja dia tidak akan menerima surat apa pun oleh karena itu dia mengerutkan keningnya dan heran serta menerka-nerka surat dari siapakah.
“aku tidak tahu, tapi kau tidak boleh membukanya selagi kami disini.”
“maksud mu?” ucap simo yang tidak mengerti apa yang di katakan Lia.
“apa kau tidak lihat itu, jika kau membukanya mungkin saja gunung berapi akan meletus disini dan mengeluarkan larvanya yang panas.” Ucap Lia seraya mengarahkan sorot matanya mengarah Rina yang cemberut dan cemburu serta mendengus.
“Maksudmu?” simo masih tidak mengerti. Di dalam pikirannya, simo mengetahui Lia sedang menunjuk Rina, tapi dia tidak mengetahui Surat itulah yang membuat Rina cemberut seperti itu dan wajar saja dia tidak mengetahui karena baru berusia 6 tahun, Walaupun sikapnya lebih dewasa dari anak seusianya, simo belum mengetahui soal percintaan.
“bagaimana ya aku menjelaskannya. Pokoknya kau tidak boleh membukanya dan kau harus menurutiku. Apa kau tidak ingat aku sudah berumur ratusan tahun, jadi kau harus mengikuti perintah ku ya.”
“Baiklah.” Ucap simo seraya menerka-nerka apa yang ingin di sampaikan Lia.
Sementara itu aoba sekarang sudah duduk di bawah pohon menunggu simo datang. Aoba memanfaatkan waktu pembicaraan simo dan Lia untuk menyembuhkan lukanya, dia tidak ingin kesakitan saat perjalanan pulang nanti.
Sesekali dia mengumpat dalam hati karena terlalu meremehkan cucunya.
...*****...
jangan lupa like dan komentar ya karena itu sangat berharga bagi author
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 206 Episodes
Comments