Tidak beberapa lama kedua peri itu menyusulnya. “Wah, jika aku tidak terbang mungkinkah aku bisa seperti mu.” Ujar Rina dengan wajah gembira.
“rina, jika kau tidak memiliki sayap mungkin kau akan jatuh dan terluka, apa kau tidak ingat seorang peri harus memiliki sayap.” Lia yang menjawab dan simo mengangguk membenarkan.
“bukan itu maksudku. Ah Lia kenapa kau itu selalu salah tanggapan sih! Maksudku jika aku menjadi manusia mungkinkah aku bisa seperti simo yang dengan mudah turun dari ketinggian tanpa cedera sedikit pun.”
Mendengar itu Lia hanya tertawa kecil.
“Ya, kau bisa asalkan kau berlatih dengan giat.” Jawab simo.
“Benarkah?” wajah Rina berbinar-binar.
“Iya, Jika kau manusia, soalnya tubuh manusia dan peri sangat berbeda.”
Mendengar itu Rina seketika menjadi sedih. Dia sangat mengagumi sosok simo, sejak simo kecil, simo adalah seorang anak yang baginya sangat tampan dan berwibawa, saking kagumnya dia bahkan ingin sekali seperti simo, menjadi manusia dan karena tidak bisalah dia menjadi sedih.
Melihat itu Lia mendekat dan memegang bahu Rina. “kau tidak perlu bersedih, kau itu kan sudah menjadi peri. Kau seharunya beruntung lahir sebagai peri yang cantik dan memiliki umur panjang dan asal kau tahu tidak selamanya menjadi manusia itu baik.”
Rina mengangguk.
“Ya, kau benar.” Ujar simo. “tidak sepenuhnya baik menjadi manusia, aku harus bertarung dan melawan para raksasa sialan itu. Kau sangatlah beruntung hidup sebagai peri dan aku sangat iri denganmu.”
“Benarkah?” Wajah Rina kembali cerah.
Simo mengangguk.
“Jadi kau.” Ucap Lia. “tidak perlu menjadi manusia, kau sudah menjadi peri dan itu adalah keberuntungan yang tidak dapat ras lain rasakan.”
“Kau benar.” Ujar Rina yang kembali tersenyum ceria.
“baiklah, ayo kita pergi.” Ucap simo.
Saat simo hendak melangkah dia teringat dengan kakeknya lalu berkata, “ ngomong-ngomong apa kalian melihat kakekku.”
“Kami tidak melihatnya.” Yang menjawab Lia.
“mungkin kakek mengalahkannya dan pergi.”
Mendengar itu Lia terlihat sedih lalu berkata, “maaf simo, kami sudah pergi ke tempat bekas pertarungan kakekmu dan kami tidak melihatnya ataupun musuhnya.” Ucap Lia dengan suara kecil.
“apa maksudnya? Mungkinkah kakek sedang bertarung di tempat lain?” simo mengerutkan kening.
Lia dan Rina menggelengkan kepalanya pelan. “kami sudah mencarinya ke mana-mana dan tidak menemukannya.” Jawab Lia
“Kami juga.” Sambung Rina. “sudah meminta bantuan ratu, tapi tetap juga tidak menemukannya.”
Simo mengerutkan keningnya setelah mendengar dua penjelasan peri itu. Dia mulai memikirkan apa yang terjadi kepada kakeknya. Apakah kakek pergi dan bersembunyi? Apakah kakek telah di culik? Apakah kakek di bunuh oleh orang lain?
Simo menggelengkan kepalannya menghentikan berbagai pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia tidak ingin memikirkan sesuatu yang aneh-aneh tentang kakeknya
“ada apa simo?” tanya Rina dengan khawatir.
“tidak apa-apa. Sekarang kita mau ke mana?” ucap simo yang membelokkan pembicaraan. dia ingin menghilangkan pikiran tentang kakeknya sejenak.
Lia dan Rina jelas tahu simo menyembunyikan sesuatu, tapi mereka tidak memperlihatkannya ataupun menanyakannya karena dikhawatirkan akan menambah beban pikiran simo.
“Ratu memintamu untuk pergi ke istana.” Ucap Lia.
“Baiklah, ayo kita pergi.”
...****...
Matahari mulai terbit saat simo, Lia dan Rina mulai melakukan perjalanan menuju istana peri yang jaraknya lumayan jauh dari pinggiran hutan, tempatnya berada. Butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan menuju ke sana.
Saat cahaya matahari mulai menyusup masuk ke dalam sela-sela pepohonan, mereka sudah menempuh separuh perjalanan. Melihat cahaya Matahari yang berkilauan membuat simo mengingat pedangnya yang berkilauan saat di terpa cahaya matahari, jika saja jaraknya tidak terlalu jauh mungkin dia dapat kembali untuk mengambilnya. Dia menarik nafas panjang untuk menghilangkan keinginannya itu dan fokus menelusuri jalan.
Jalan yang di lalui bersih dan mudah di lintasi membuat mereka tidak merasakan perjalanan yang jauh itu, apalagi sepanjang perjalanan cahaya-cahaya biru itu tampak lebih indah dan ternyata saat siang hari pun cahaya tidak kalah dari sinar matahari bahkan lebih terang lagi.
Simo merasa penasaran tentang cahaya biru itu dan menanyakan kenapa tidak di matikan saja serta mengapa itu bisa ada.
“Karena kami tidak bisa melakukannya dan kau pasti bertanya mengapa aku bisa menyalahkannya kan?” jawab Lia
Simo mengangguk.
Lia lalu menjelaskan bahwa hutan peri bukan hutan biasa; hutan peri adalah hutan yang memiliki kesatuan jiwa yang utuh. dan jiwa itu memiliki bagian-bagiannya masing-masing layaknya tubuh manusia yang memiliki berbagai bentuk organ-organ di dalamnya, organ-organ itu meliputi tumbuhan, hewan, serangga dan peri, masing-masing memiliki keterkaitan antara satu sama lainya. Selain memiliki hubungan mereka juga memiliki kemampuan khusus masing-masing seperti dahan pohon itu contohnya yang memiliki kekuatan untuk bercahaya sesuai kehendaknya. Dan mengapa Lia bisa menyalahkan lampu itu jadi dia hanya memintanya dan para pohon mengambilkannya. dan mengapa cahaya itu terus menyala karena itu keinginan para pohon itu.
Mendengar penjelasan Lia, simo hanya mengangguk. Sekarang dia mengetahui hutan yang sedang dia jelajahi bukan hutan sembarangan. Dia penasaran apakah dia bisa memerintahkan sesuatu kepada pohon-pohon di sekitar.
“Kau mungkin bisa, tapi aku tidak yakin seratus persen kau bisa melakukannya.” Ujar Rina yang menjawab pertanyaan simo. Dia terlihat tersenyum bangga menjawabnya.
“karena aku bukan ras peri.” Ucap simo yang mengerti apa yang di katakan Rina.
“yaa, karena kau bukan ras peri, jadi kau sangat tidak beruntung terlahir sebagai manusia.” Ujar Rina yang semakin bangga dengan dirinya.
Lia yang melihatnya hanya menghela nafas panjang sedangkan simo hanya tersenyum kecil melihat sikap Rina yang masih kanak-kanak meski umurnya sudah mencapai ratusan tahun.
Saat ini matahari sudah mencapai sudut 45 derajat yang menandakan sudah hampir dua jam mereka berjalan dan tentu saja mereka sudah dekat dengan istana peri.
Saat sudah mencapai belokan simo berhenti dan duduk di salah satu batang pohon.
“apa kau kelelahan?” tanya Rina.
“ya, bisakah kita istirahat sebentar.”
Rina dan Lia mengangguk.
“biar aku pijit pundak mu.” Ucap Rina seraya mendekati simo yang di jawab anggukan oleh simo.
Dengan tersenyum Rina memijit bahu simo dengan lembut. Dia sangat suka saat melakukannya apalagi dia akan dapat mencium bau tubuh simo yang semakin berkeringat semakin wangi dan bau itu membuatnya lebih tenang.
“andai aku menjadi manusia.” Batin Rina.
Tidak jauh dari mereka berdua Lia tengah menikmati satu tangkai bunga yang berwarna putih. Bunga itu bertumpang tiga yang semakin ke atas semakin mengecil layaknya seperti meru. Lia tidak hanya menikmatinya, dia juga mencari madu untuk menghilangkan dahaga dan mengisi kembali tenaganya.
“Baiklah ayo kita lanjutkan.” Ujar simo yang seketika berdiri dan memperagakan beberapa gerakan untuk meluruskan otot-ototnya.
Lia dan Rina mengangguk lalu mereka mulai melanjutkan perjalanan dan tidak beberapa lama akhirnya tiba di istana peri.
Saat tiba di istana peri, Lia memerintahkan simo untuk beristirahat seraya menunggu ratunya keluar.
Istana peri berada di atas dahan pohon yang tinggi dan berada di tempat yang tersembunyi, jika tidak jeli maka tidak akan menemukannya apalagi di bawah istana peri hanya ada daun-daun yang kering membuat orang-orang tidak akan menyangka ada istana di atas dan begitu pun simo sejak pertama kali dia ke sana.
“Rina kau bisa berhenti memijitku sekarang.” Ucap simo kepada Rina yang tanpa dia suruh pun memijitnya kembali, bukan karena simo tidak mau, tapi dia sedikit tidak enak dengannya.
Mendengar itu Rina sedikit terkejut. Dia ingin sekali memijit simo, selalu berada di sampingnya dan berharap dia menerimanya, tapi nyatanya itu membuat simo tidak nyaman akan perilakunya. “baiklah.” Ucap Rina dengan suara rendah lalu duduk di samping simo.
Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka membuat berbagi jenis pikiran mulai merasuki kepala masing-masing.
Simo terlihat memikirkan nasib kakeknya. jika kakeknya mati itu mustahil karena dia sangat mengenalnya sejak kecil, dia juga mengingat kakeknya yang berkata, “jika musuhmu lebih kuat kau harus lari darinya dan usahakan kau merencanakannya tanpa musuh mengetahuinya.” Sampai sekarang pun dia mengingatnya. Jika itu bukan mati, pasti ada pihak ketiga yang turun tangan atau juga mereka masih bertarung di tempat lain, tapi Lia dan Rina bilang mereka sudah memeriksa semuanya, hanya satu kemungkinan yang terjadi, ada pihak ketiga yang turun tangan dan itu mungkin musuh.
Simo terlihat mengangguk-angguk memikirkan semua kemungkinan yang terjadi dan memilih ada campur tangan pihak ketiga dalam pertarungan itu. Dia memilih itu karena beberapa hari sebelumnya bertemu dengan orang asing di hutan ini dan berkemungkinan ada yang lainya juga.
“Ah, yang mulia sudah tiba.” Ujar Rina yang membuat simo langsung menatap ke atas melihat sang ratu peri dan beberapa pengawalnya beterbangan menghampirinya.
“salam yang mulia ratu.” ucap simo dan Rina yang membungkuk seraya tangan kananya berada di dada.
Sang ratu mengangguk.
...****...
jangan lupa like dan komentar nya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 206 Episodes
Comments