Melihat wajah Aoba, kakek namila mengingat dirinya dulu saat namila membangkang dan kabur dari rumah. Saat itu di sore hari yang sedang hujan. Kakek namila seperti biasa akan berdiri di depan jendela menatap langit sore seraya melepas lelahnya. tidak lupa juga dia selalu menggenggam secangkir teh hangat.
Beberapa kali dia terlihat meminumnya hingga suara ketukan pintu yang kecil akhirnya berbunyi dan dia tahu siapa orang itu.
Perlahan-lahan di bibinya membentuk lengkungan indah kemudian berkata,“ masuk saja namila.”
Baag!! Pintu dua ganggang itu terbuka lebar memperlihatkan seorang gadis kecil cantik yang mengenakan gaun biru langit yang indah.
“kakek!” namila langsung
menghampiri kakek yang sedari tadi menunggunya.
“ada apa?” tanya kakeknya seraya mengusap kepala namila kecil.
“Kakek aku ingin pergi keluar.”
“sekarang sedang hujan, nanti kau sakit.”
“Tapi....aku sudah berjanji.”
“Tidak boleh namila, kau lihat hujan deras turun.” Tegas kakeknya seraya menunjuk ke jendela.
“Namila bisa memakai payung.”
“Tidak boleh namila, kau masih kecil! mudah di serang penyakit dan jika kau sakit nanti siapa yang akan menyembuhkanmu?”
“tentu saja kakek, kakek kan hebat dalam ilmu pengobatan, kakek juga pernah mengobati orang yang hampir mati dan menjadi sembuh total. Jangan bilang kalau kakek tidak mau menyembuhkan ku.”
“Tentu saja tidak, tetapi kakek tidak memberikanmu ijin.” Tegas kakeknya.
Mendengar itu namila menjadi kesal, semua caranya belum bisa mendapatkan ijin dari kakeknya yang sangat dia sayangi itu.
Namila kemudian memperlihatkan wajah imutnya lalu berkata, “tidak lama kok, hanya sebentar dan juga setelah semuanya selesai aku akan cepat pulang.”
“Pokoknya tidak boleh!” Tegas kakeknya lagi.
Mendengar itu namila terkejut. Baru kali ini dia melihat kakeknya seperti itu.
Perlahan-lahan mata namila mulai mengeluarkan air mata kemudian disusul wajahnya yang redup.
Melihat namila yang sedih dengan lembut kakek namila mengusap kepalanya. “nanti saja setelah hujan reda, kau bisa bermain bersama teman-temanmu.” Ucap kakeknya dengan lembut.
Saat tangannya menyentuh kepala namila dengan cepat namila menangkis dengan kasar lalu memandang wajah kakeknya dengan tajam. “kenapa kakek tidak mengijinkan ku, aku tidak akan ke mana-mana, hanya melihat pemandangan di luar dan itu pun tidak akan memakan waktu yang banyak. Asal kakek tahu aku dari kecil belum pernah keluar dari lingkungan yang memiliki beberapa bangunan ini, aku ingin sekali keluar dan melihat bagaimana rupa bumi ini!” Saat mengatakan itu wajah namila sudah di banjiri air mata.
Kakek namila menjadi tertegun setelah mendengarnya, ya dia dari dulu memang tidak membiarkannya keluar dari rumah alasannya cuma satu: tidak ingin ada korban jiwa lagi dan tidak ingin mengulang hal-hal yang buruk.
Sebagai seorang gadis kecil yang ingin tahu, tidak heran juga namila selalu bersikeras ingin pergi dari halaman rumahnya, tetapi karena penjagaannya yang ketat mengharuskannya mencari cara lain seperti membohongi kakeknya dan sepertinya itu gagal juga.
Dengan suara lembut kakeknya berkata. “namila, kau masih kecil dan perlu belajar.”
“Untuk apa aku harus belajar! aku cuma ingin melihat pemandangan di luar saja dan itu hanya memerlukan mata bukan belajar!” Setelah mengatakan itu seraya menangis namila langsung berlari meninggalkan kakeknya.
Setelah namila pergi kakek namila menarik nafas panjang. Bukan keinginannya untuk mengurung namila di dalam rumah, tapi karena dia terpaksa melakukannya. Dia menyadari anak seusia namila memang ingin sekali ke luar dan bermain seperti anak-anak pada umumnya yang baru berumur 6 tahun.
Dia juga menyadari cucunya itu mulai bosan sehingga dia mulai menyempatkan waktu untuk menemaninya, tapi ternyata itu sangat kurang dari apa yang di butuhkan namila sehingga dia bersikap seperti itu.
Setalah kejadian itu namila pergi meninggalkan rumah membuat seisi rumah geger dan mulai mencarinya. Selain geger penghuni rumah juga merasa heran terhadap namila, seorang gadis kecil yang mampu meloloskan diri dari penjagaan yang ketat seperti itu.
Tiga hari, tiga malam mereka melakukan pencarian, akhirnya namila di temukan di bukit salju yang tengah duduk di pinggir tebing seraya memandang kota yang menjadi tempat kelahirannya dan beruntun peristiwa kaburnya namila tidak mendatangkan korban jiwa.
Menemukan Namila membuat seisi rumah menghela nafas lega dan setelah kejadian itu kakek namila pun berusaha tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.
...****...
“aku akan memberikan mu waktu 7 tahun lagi dan selama itu kau harus melatihnya dengan baik.”
Mendengar itu aoba menjadi lega dan akan berusaha melatih cucunya apalagi itu adalah murid yang mungkin menjadi kebanggaannya di masa depan.
Saat hendak berkata, kakek namila menyela. “jika kau tidak memenuhi permintaanku, kau tahu kan apa akibatnya.”
Mendengar itu aoba mengerutkan keningnya lalu memeriksa tubuhnya dan benar saja di dalam tubuhnya sudah ada bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika kakek namila menginginkannya.
Aoba menelan ludah negeri. “baiklah, tetapi jika aku menepatinya apa kau akan mengeluarkan pil ini dalam tubuhku.”
“tentu saja.”
Aoba lalu berdiri dan saat hendak pergi dengan cepat kakek namila melempar sesuatu kepadanya. dalam satu tarikan nafas benda itu sudah di tangan aoba.
Aoba memperhatikan benda di tangannya, benda itu bulat dan memiliki gambar pegunungan salju.“apa ini?” tanya aoba yang tidak mengerti dengan apa maksud kakek namila.
“jika kau dan penduduk di sini ingin pergi kau bisa memilih tempat ku.”
Mendengar itu aoba langsung berterima kasih lalu pergi dari sana, tanpa memakan daging kelinci yang sudah di siapkan. Bukan dia tidak mau, tetapi takut membuat kakek namila marah.
Dia sangat tahu apa akibatnya jika membuat kakek namila marah.
Tidak beberapa lama aoba pergi akhirnya daging kelinci itu matang sepenuhnya dan setelah kakek namila mengambil satu, seketika ada satu panah yang terlontar dari kerimbunan pepohonan lalu tertanjab tepat di depannya.
Kakek namila tidak terkejut karena dia sudah mengetahui ada orang yang mengawasinya dari tadi.
“namila jika kau mau, kau bisa memakannya sekarang.” Setelah mengatakan itu dari kegelapan malam muncul seseorang yang kemudian berlari menghampiri kakek namila.
“ummm, ini sangat enak.” Namila langsung mendekati hidungnya di atas api seraya memejamkan mata menikmati bau dari kelinci panggang itu.
Namila lalu mengambilnya dan duduk di samping kakeknya saat kakek namila hendak menggigit makannya namila berkata, “kakek, terima kasih telah menepati janjinya.”
Mendengar itu kakek namila tersenyum. “tentu saja, jika kakek sudah berjanji tidak akan mengingkarinya dan kau juga harus berjanji tidak keluar rumah lagi.”
“ya, aku akan selalu mengikuti apa yang kakek inginkan.” Setelah mengatakan itu mereka menikmati daging kelinci itu bersama sama.
...****...
Di tempat lain yang di penuhi kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan terlihat seorang anak kecil tengah berbaring di atas dahan pohon yang besar.
Satu tangannya tergelantung dan satunya lagi berada di perutnya. Tidak ada gerakan terlihat di tubuhnya. hanya ada suara nafas lembut yang terdengar.
Dia adalah simo yang dibawa oleh bangsa peri di atas dahan pohon tersebut.
Tidak beberapa lama datang Lia dan Rina. Mereka berterbangan mengitari tubuh simo.
“Hey, lihat bulu matanya yang indah itu.” Ujar Rina seraya menunjuk bulu mata simo dan memandangnya lekat-lekat.
Lia langsung mendekati Lia. “Biasa saja.” Jawab Lia dengan nada malas.
“apa maksudmu?” tanya Rina seraya mengerutkan kening. Peri itu sepertinya tidak suka dengan reaksi Lia.
“lihat, bukankah itu bulu mata yang sama yang selalu ada di matamu, yang berwarna hitam dan melengkung dan selalu menghiasi matamu itu.”
“Hey apa maksudmu berkata seperti itu!?”
“aku tidak mengerti ke mana otakmu yang cerdas itu, yang aku lihat saat di aula istana. Rina yang memiliki pemikiran yang jelih dan bijaksana serta bersikap tegas itu?” celoteh Lia. Dia mengatakan itu karena ingin melihat reaksi Rina yang dulu;yang selalu ceria dan berseri-seri. Entah mengapa dia menginginkannya sekarang.
“Aku mengerti. Yang aku maksud bukan itu, melainkan mengapa kau berkata seperti itu?”
“itu karena aku melihat....lihat dia mulai sadarkan diri!” ujar Lia seraya menunjuk ke arah mata simo yang perlahan-lahan bergerak-gerak.
“benarkah?” tanya Rina yang langsung memandang simo yang memang seperti apa yang dikatakan Lia.
Perlahan lahan simo membuka matanya yang langsung di sambut oleh wajah Rina. “rina, bisakah kau mundur sedikit.” Ucap simo dengan suara parau.
“iya.” Rina langsung menjauh. Kemudian simo bangkit lalu memandang sekitarnya yang sangat gelap.
Melihat wajah simo yang seperti sedang kebingungan, Lia teringat dia belum menyalahkan cahaya pohon dengan cepat dia mendekati salah satu dahan pohon lalu menempelkan tangan kananya. “menyalah.” Ucapnya yang seketika ribuan cahaya-cahaya biru terlihat di dahan-dahan pohon.
Simo yang melihat fenomena itulah tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Dia baru pertama kali melihat hutan peri yang bercahaya seperti itu.
Setelah puas dan merasa tubuhnya membaik dia pun menanyakan apa yang terjadi kepada Rina yang diam dari tadi di sampingnya.
Peri itu kemudian menceritakan, dirinya dan Lia menemukannya di luar hutan tergeletak begitu saja dan tidak sadarkan diri karena di khawatir akan terjadi sesuatu maka mereka berdua membawanya kesini.
“Apa kalian yang menyembuhkan ku?” tanya simo kepada Rina dan Lia.
Rina dan Lia menggelengkan kepalanya pelan dan memang begitu dugaan simo, bangsa peri meskipun memiliki sihir, tetapi mereka tidak seperti manusia yang memiliki sihir penyembuh. Jika mereka ingin menyembuhkan diri, mereka akan secara alami di sembuhkan oleh energi alam sekitar dan jika itu pun lukanya tidak parah dan masih bisa di sembuhkan.
Simo lalu mencari-cari pedangnya dan tidak menemukannya sehingga dia pun bertanya kepada dua peri di depannya.
“Ah, maaf kami tidak membawanya, mungkin pedang itu masih di luar hutan. Aku akan mencarinya.” Jawab Lia.
Saat Lia hendak pergi dengan cepat simo berkata, “tidak usah, besok saja mengambilnya. Tidak aman jika keluar malam- malam seperti ini, apalagi mungkin ada raksasa yang masih tersisa.”
Mendengar itu lia hanya menurut dan menurutnya itu sangat baik baginya yang hanya seorang peri kecil yang tidak mungkin bisa melawan satu raksasa yang besarnya sepuluh kali lipat dari tubuhnya.
“baiklah ayo kita turun.” Ujar simo yang di jawab anggukan oleh kedua peri itu.
Dalam satu tarikan nafas, simo sudah mendaratkan kedua kakinya di tanah kemudian memandang ke atas. Dia masih kagum dengan ribuan cahaya biru yang ada di dahan-dahan pohon di atasnya, cahaya itu bukan cahaya biru yang normal; cahaya itu terlihat berwarna biru keputihan yang memancarkan 12 cahaya ke segala sudut.
Tidak beberapa lama kedua peri itu menyusulnya. “Wah, jika aku tidak terbang mungkinkah aku bisa seperti mu.” Ujar Rina dengan wajah gembira.
...****...
jangan lupa like dan komentar nya ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 206 Episodes
Comments
NEZUKO
👣👣👣
2022-05-24
0