"Aku hanya mencoba memberikan pada Ulak apa yang Ulak coba berikan padaku agar sepadan. Apakah Ulak tidak suka?" Tanya Rainy masih dengan senyum manis mengembang di bibirnya. Di sisinya, Raka menggelengkan kepala imajinernya dalam hati. Selama beberapa tahun berpisah, Raka nyaris lupa betapa tajamnya lidah Rainy. Mau tak mau ia merasa ngeri menunggu kapan lidah tajam itu ditujukan pada dirinya.
"Kurang ajar kau!..." Mendengar kata-kata Rainy, Adnan langsung meradang. Wajahnya mulai menghitam karena sangat marah. Ia lalu berdiri dari kursinya dan bergerak seolah hendak memukul Rainy. Namun saudara-saudaranya yang lain segera menghalanginya sementara Ardi dan Raka langsung berdiri di hadapan Rainy, untuk melindunginya dengan tubuh mereka. Membuat hati Rainy terasa hangat karena perasaan tersentuh. Ia tersenyum penuh rasa sayang memandang punggung Raka dan Ayahnya. Rainy memegang bahu keduanya dan menarik mereka untuk mundur kembali ke tempatnya. Dirinya bukan lagi gadis kecil yang lemah. Seorang Adnan tak akan bisa menyakitinya.
"Adnan, jangan begini! Mari bicara baik-baik!" Pinta Rosa, Anak kedua nenek Rainy. Setelah di bujuk beberapa kali, akhirnya Adnan kembali duduk di kursinya walau dengan wajah masih memerah karena marah.
"Ardi, Rainy, maafkanlah Adnan. Keadaan Ibu membuat kita semua kalut sehingga sulit mengendalikan emosi. Mari kita membahas persoalan ini dengan tenang ya." Ucap Rosa mencoba menengahi. Rainy memandang tantenya tersebut, mencoba membaca ekspresi wajahnya.
Rosa adalah wanita yang sangat cantik. Bahkan sekarang saat sudah berusia 50 tahun, kecantikannya masih memancar dengan indah dan alami. Kulit yang kencang terawat, wajah yang bersih dan cerah, serta tubuh yang ramping tidak sedikitpun menunjukan tanda-tanda bahwa ia telah berusia 50 tahun.
Rosa sendiri memegang posisi sebagai direktur HRD di perusahaan keluarga mereka dan cukup berhasil dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Rainy tahu bahwa Rosa adalah wanita yang lebih cerdas dan lebih penuh pertimbangan daripada kakaknya dan itu membuat Rainy cukup menaruh hormat padanya.
"Apa yang ingin Gulu sampaikan?" Tanya Rainy pada Rosa.
"Rainy, kami tahu bahwa jabatan sebagai Dirut adalah jabatan yang diserahkan Kakek kepadamu dan bukan sesuatu yang engkau rampas dari kami. Karena itu seharusnya kami tidak menyalahkanmu. Namun kau masih sangat muda. Kau juga belum pernah bekerja ataupun terlibat dengan kegiatan perusahaan, sehingga kau tidak memiliki pengetahuan apapun yang layak untukmu menempati kursi Dirut."
Hmmm... Aku bisa melihat ekor rubahmu, Gulu. Pikir Rainy dalam diamnya.
"Lalu?" Ucap Rainy, mendorong Rosa berbicara lebih jauh ketika ia untuk sesaat berhenti berbicara.
"Bagaimana kalau begini; kau bisa menempuh pendidikan bisnis yang kau butuhkan sebagai Dirut kelak. Pergilah ke luar negeri. Inggris atau Amerika adalah pilihan yang bagus. Aku bisa memperkenalkanmu pada temanku yang bekerja di London Bussiness School agar ia bisa memberikan rekomendasinya untukmu. Selama kau disana, untuk mewakilimu, kursi direktur utama akan diduduki oleh salah satu dari kami. Begitu kau berhasil menyelesaikan pendidikanmu dan siap memimpin perusahaan, kami akan mendukungnya dan menyerahkan kembali kursi dirut padamu." Bujuk Rosa panjang lebar.
Mendengar kata-kata Rosa ini, Rainy tercenung sesaat sebelum akhirnya ia bertanya,
"Jadi Gulu ingin aku pergi selama beberapa tahun, sampai kalian punya kesempatan dan cara untuk mengambil alih perusahaan sepenuhnya dari tanganku?" Mendengarnya membuat Rosa tampak terkejut.
"Bukan itu maksudku..." Rosa mencoba menyanggah, namun Rainy mengangkat tangannya untuk menghentikannya berbicara dan berkata pelan.
"Adakah yang tahu mengapa Nini, atau Niwe, selalu bersikeras untuk mengosongkan kursi di sebelah kiri Direktur Utama dalam rapat dewan direksi?" Tanya Rainy tiba-tiba. Pertanyaan yang tampak tidak relevan itu membuat semua orang merasa bingung. Karena tak ada seorangpun yang menjawabnya, Rainy bertanya lagi,
"Tidak ada satupun dari kalian yang tahu jawabannya, namun kalian mencoba menduduki kursi Dirut?" Rainy tertawa sinis.
"Kalian pikir aku tak tahu apa-apa soal menjalankan perusahaan sebagai seorang Dirut? Mungkin kalian benar. Tapi dalam keluarga ini sesungguhnya HANYA AKULAH satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk menjalankan perusahaan yang diwariskan oleh Kakek, karena tak satupun dari kalian memahami usaha macam apa yang sesungguhnya menjadi tulang punggung dari perusahaan keluarga ini."
"Omong kosong macam apa yang kau bicarakan?!" Geram Adnan dari kursinya.
"Rainy, bicaralah yang jelas dan jangan berputar-putar!" Perintah Rudi, anak ketiga neneknya yang sedari tadi hanya duduk diam tanpa suara.
"Bisakah kau jelaskan mengapa kursi kiri di sebelah Dirut harus selalu dikosongkan dalam rapat dewan direksi?" Tuntut Rudi.
"Kau tidak akan mengekspos keberadaanku kan?" Tanya sebuah suara menggoda yang berdenting begitu dekat di telinga Rainy. Rainy harus memaksa dirinya untuk diam dan tidak bergerak untuk menjauhkan diri dari pemilik suara tersebut, sebagaimana instingnya memerintahkannya.
"Itu karena kursi tersebut tidak kosong." Ucap Rainy tegas.
"Damn!" Wanita yang berdiri di belakangnya mengutuk, namun ada nada geli terdengar dari suaranya. "Kau hanya akan jadi bahan tertawaan." Ejek wanita itu lagi.
"Dewan direksi kita memiliki direktur ke 7." Ucap Rainy lagi. Untuk sesaat ruangan menjadi sunyi karena tak ada satupun yang tampaknya mampu mencerna apa yang baru saja Rainy ungkapkan. Namun tak lama kemudian Rudi berkata,
"Apa kau mau bilang bahwa ada seorang Direktur tak kasat mata yang duduk di kursi kosong tersebut dalam setiap rapat dewan direksi?"
"Benar." Rainy mengangguk.
"Apa kau sudah gila? Apa berurusan dengan pasien-pasien RSJ sudah membuatmu gila?" Ejek Adnan. Tiba-tiba sebuah lukisan besar yang berada di dinding dekat dengan kursi yang Adnan duduki jatuh ke lantai dengan suara yang sangat keras, membuat semua orang tersentak terkejut. Lalu tak lama kemudian sebuah lukisan lain yang berada di dekat Rudi juga jatuh ke lantai tanpa sebab yang jelas.
"Apa ini? Mengapa lukisan-lukisan itu jatuh?" Tanya Dandy, salah satu sepupu Rainy. Rainy hanya menarik nafas panjang. Ia sudah mempersiapkan diri untuk disangka gila dan ditertawakan, namun bila 'Dia' mau membantu, tentu saja semuanya akan jadi lebih mudah bagi Rainy.
Tak lama kemudian, sebuah guci yang berada di atas meja tepat di sebelah sofa yang Rosa duduki jatuh rebah dan berguling pelan. Awalnya ia berguling maju, kemudian ketika telah sampai di pinggir meja, guci tersebut berhenti sesaat, lalu berguling mundur ke tempatnya semula. Sekarang semua mata di ruangan tersebut membelalak terbuka.
Sementara itu setelah sampai ke tempatnya semula, guci tersebut terdiam sesaat, namun kemudian ia kembali maju menuju tepi meja. Saat sampai di tepi meja, si guci berguling pelan maju dan mundur, seolah sedang berpikir apakah ia akan maju dan menjatuhkan diri ke lantai, ataukah ia akan mundur, dan kembali ke tempatnya semula. Ia tampak tidak tahu apa yang harus ia putuskan. Lalu perlahan-lahan guci yang rebah mulai berdiri kembali. Setelah kembali tegak berdiri, guci tersebut diam tidak bergerak, seolah telah merasa nyaman dalam posisi tersebut.
Untuk beberapa saat semua orang dalam ruangan itu tidak ada yang mampu bersuara atau bahkan menarik nafas karena apa yang terjadi barusan sungguh sulit dicerna oleh akal pikiran. Setelah beberapa saat, terdengar Adnan berkata,
"Kalau kau pikir kau bisa menakuti kami dengan trik sulap seperti ini..." belum juga Adnan menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba guci tersebut kembali bergerak. Ia melompat dari atas meja dan terbang ke pangkuan Rosa. Membuat Rosa yang sangat terkejut menjerit keras dan dengan refleks melemparkan guci tersebut dari pangkuannya, sehingga guci tersebut jatuh ke lantai, berserakan menjadi ratusan keping. Namun beberapa detik setelah guci tersebut pecah berkeping-keping, tiba-tiba semua pecahannya bergerak perlahan dan mulai menyatukan diri kembali. Guci itu mengambang sekitar 10 cm di atas lantai dalam keadaan hampir menyatu, karena siapapun masih bisa melihat setiap celah dari retakan-retakannya. Lalu sesaat kemudian guci tersebut melesat dan melemparkan diri ke arah Adnan.
Menyadari dirinya menjadi objek penyerangan oleh ratusan keping pecahan tembikar secara misterius, Adnan menjerit keras karena takut namun ia tidak mampu menghindar. Ratusan kepingan guci tersebut menghantam wajahnya untuk kemudian jatuh terlempar kembali ke lantai dan akhirnya diam, tak lagi bergerak.
Rainy kembali menarik nafas panjang dan menoleh ke balik punggungnya. Di sana, wanita yang kemarin menyambutnya di pintu depan, sedang berdiri dengan senyum puas mengembang di wajahnya. Wanita itu sungguh memiliki bakat teatrikal sehingga Rainy ingin sekali bertepuk tangan untuknya. Namun melihat wajah Adnan yang sekarang dipenuhi luka gores akibat terjangan ratusan keping tembikar tak urung membuat Rainy merasa terganggu.
"Haruskan kau melukainya?" Tanyanya pelan. Si wanita hanya mengangkat bahunya sekali sambil tersenyum lebar.
Rainy kembali ke posisinya semula dimana ia disuguhi oleh pemandangan Adnan yang sedang menutupi wajahnya yang bersimbah darah, sementara tak seorangpun yang tampaknya berani bergerak dari tempat mereka duduk. Semuanya hanya memandang Adnan dengan ngeri. Di sebelah Rainy, Raka mengambil handphonenya dan menghubungi Dokter yang menjaga nenek Rainy untuk datang ke ruangan tersebut. Selalu efektif dan efisien dalam situasi apapun, Raka memang pantas memperoleh kepercayaan neneknya untuk menjadi asisten pribadinya selama bertahun-tahun ini, puji Rainy dalam hati.
Ketika pintu tiba-tiba terbuka perlahan, mayoritas penghuni ruangan tersebut kembali tersentak. Namun ketika melihat bahwa yang memasuki ruangan adalah dokter dan perawat yang mendampinginya, mereka menarik nafas lega. Dokter dan perawat tersebut kemudian mengevakuasi Adnan dari ruangan tersebut.
Setelah mereka menghilang ke balik pintu yang tertutup, suara Hendrik tiba-tiba terdengar membahana.
"Beraninya kau melukai ayahku!" Hendrik berdiri di hadapan Rainy sambil menudingkan jari telunjuknya pada wajah Rainy. Raka sontak kembali berdiri dan menutupi Rainy dengan tubuhnya. Rainy sampai harus mengintip dari balik punggung Raka untuk bisa berbicara pada Hendrik.
"Aku? Apa kau buta? Sedari tadi aku hanya duduk disini dan tidak melakukan apapun." Sanggah Rainy dingin.
"Bohong! Ini pasti trik yang sudah kau siapkan untuk mengelabui kami. Mengatakan omong kosong tentang direktur yang tidak kasat mata, menjatuhkan lukisan-lukisan, menggulingkan guci dan membuat pecahannya menyakiti ayahku; ini semua adalah ulahmu!" Hendrik bersikeras.
"Sepupu, bila kau ingin menuduhku melakukan sesuatu, sebaiknya cari dulu buktinya."
"AKU TIDAK MEMERLUKAN BUKTI KARENA AKU TAHU..." Hendrik belum menyelesaikan kalimatnya ketika sebuah pecahan besar tembikar yang berlumuran darah tiba-tiba telah mengambang tepat di depan wajahnya. Raka yang juga berada di hadapan tembikar tersebut sampai melangkah mundur karena terkejut. Rainy menarik Raka yang hampir menabraknya untuk kembali duduk di sofa. Tanpa Raka menghalangi pandangannya, ia bisa melihat bahwa si wanita saat itu sedang berdiri di hadapan Hendrik sambil mengacungkan tembikar di tangannya ke depan wajah Hendrik, penuh aura mengancam.
"Hendrik, ucapkan salam pada direktur ketujuh kita." Ucap Rain pelan.
Copyright @FreyaCesare
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 293 Episodes
Comments
LovelyBread
semakin seruuu
2022-07-01
1
LovelyBread
Gua: mengangguk-angguk
2022-06-04
1
LovelyBread
mampus lu, Adnan!
2022-06-04
2