Malam itu pukul 20.30 wita. Hujan sedang tercurah dari langit. Tidak deras, tapi cukup untuk menurunkan suhu malam sehingga hampir semua orang memilih untuk berlindung dalam rumah masing-masing yang hangat ketimbang berada di luar rumah yang dingin. Di sebuah jalan alternatif yang lenggang dari kendaraan bermotor, seorang gadis berjalan tenang sambil memegang sebuah payung hitam yang cukup besar untuk menaungi 2 orang. Jalanan yang basah meredam suara sepatunya dan malam yang gelap membuat ia tampak bagai hantu yang bergerak pelan tanpa suara, terutama karena wajahnya yang pucat dan tumbuh rampingnya yang dibalut gaun midi berwarna gelap. Gadis itu terus berjalan selama 10 menit, sebelum akhirnya berbelok memasuki sebuah jalan pribadi menuju ke sebuah rumah mewah berwarna putih yang terang benderang. Halaman luas rumah tersebut sudah dipenuhi oleh mobil yang berjajar rapi dan seorang wanita tampak berdiri bersandar di depan pintu masuk rumah.
Wanita itu luar biasa cantik. Tubuhnya tinggi langsing dengan dada dan pinggul yang berisi dan warna kulit yang terang. Sepanjang hidupnya gadis itu belum pernah berjumpa dengan wanita yang lebih cantik dari wanita di hadapannya ini. Saat melihat gadis itu, senyum langsung merekah di wajah si wanita, membuatnya semakin bertambah jelita. Namun si gadis bersikap seolah ia tidak melihatnya, membuat si wanita memutuskan untuk berdiri tepat di hadapannya, menghalangi si gadis untuk terus berjalan.
"Akhirnya kau pulang. Selamat datang kembali ke rumah, Rainy." Sambutnya. Suaranya bagai suara bel angin, begitu halus dan hangat. Namun kehangatannya tidak mampu menyentuh hati Rainy yang dingin. Ia mengangkat wajahnya dan menatap si wanita dengan tanpa ekspresi.
"Minggir!" Perintahnya. Bukannya menurut, si wanita malah menggelengkan kepala dan menyandarkan tubuhnya ke pintu di belakangnya.
"Biarkan aku melihatmu terlebih dahulu." Ucapnya. "Terakhir kali aku melihatmu dengan jelas, kau masih mengenakan pakaian putih abu-abu dan selalu penuh senyum. Mengapa sekarang kau terlihat dingin sekali? Apakah selama jauh dariku kau sudah lupa caranya tersenyum?" Komentarnya.
"Bukan urusanmu. Dan bukankah kau baru bertemu denganku kemarin?" Jawab Rainy lagi dengan ketus.
"Itu berbeda." Wanita itu perlahan berjalan mendekat. "Mengirimkan bagian dari diriku untuk menggodamu sangat berbeda dengan berdiri tepat di hadapanmu hingga aku dapat..." Wanita itu telah berdiri sangat dekat dengan Rainy. Ia memiringkan wajahnya ke arah Rainy, lalu menghirup dalam-dalam. "...merasakan hembusan nafas hangatmu, dan aromamu..." Rainy mundur selangkah dan selangkah lagi.
"Ah, ayolah! Aku tidak akan menggigitmu!" seloroh si wanita.
"Mengapa kau tidak pergi saja ke Neraka?!" Kutuk Rainy.
"Pemarah. Mirip sekali dengan kakekmu. Cute!" Wanita itu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum menggoda. "Tapi sayang, pergi ke Neraka? Aku sudah pernah kesana dan disana tidak menyenangkan... karena kau tak ada disana bersamaku."
"Menyingkir dari pintu, Iblis! Aku tidak punya waktu untukmu!" Rainy menggeram marah. Si wanita mengangkat kedua tangannya dan menepi untuk mempersilakan Rainy memasuki rumah. Senyum masih menghiasi bibirnya dengan indah.
Rainy menarik pintu terbuka, namun ketika ia hendak melewatinya untuk memasuki rumah, suara wanita itu yang berubah 80 derajat lebih dingin dari suaranya sebelumnya menghentikan langkahnya.
"Ingatlah; dia juga sudah tidak punya waktu lagi. Memilihlah dengan benar." Walau sempat tertegun sesaat, Rainy kembali melangkah dan membanting pintu di belakangnya, meninggalkan si wanita berdiri seorang diri di luar. Si wanita bersidekap dan kembali menyandarkan diri ke pintu. Matanya memandang hujan yang masih turun diluar, namun tak sungguh-sungguh melihatnya. Malam ini mungkin akan jadi malam terpanjang bagi mereka semua di rumah ini.
***
Rainy berjalan masuk semakin dalam ke dalam rumah. Di setiap ruangan yang ia lewati, ia bertemu dengan anggota keluarganya satu demi satu. Paman-pamannya, bibi-bibinya, anak-anak mereka, tampaknya semuanya telah berkumpul di rumah itu, dan semuanya memasang wajah gelisah dan tidak puas. Rainy sangat tahu apa yang sedang berkecamuk di benak mereka. Oh, ayolah! Semua orang di tempat itu sangat memahami apa yang sedang bergejolak dalam pikiran satu sama lainnya karena masalah ini telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun di antara mereka. Namun malam ini mungkin adalah malam penentuan. Setelah malam ini berakhir, mungkin tidak ada satupun yang bisa merubah keputusan yang diambil karena keputusan itu bagaikan aksara yang terukir di atas batu, tidak akan dapat dihapuskan. Dan pada detik-detik terakhir ini, hanya Rainy yang bisa membuat perubahan pada hasil keputusan itu. Hanya Rainy! Tentu saja hal ini membuat mereka semua tidak puas. Ketidak puasan itu tergambar jelas di wajah mereka dan dalam tatapan mereka yang sengit.
Tanpa memperdulikan semuanya, Rainy terus berjalan masuk semakin jauh ke dalam rumah. Langkahnya membawanya ke sebuah ruang keluarga mungil dimana ia menemukan ibu dan ayahnya yang sedang duduk di sofa dengan raut wajah cemas. Begitu melihat Rainy, mereka langsung berdiri untuk menyambutnya. Ibunya meraih tangannya dan mengusap rambutnya yang basah.
"Kau dari mana saja? Kenapa hujan-hujanan begini? Bagaimana kalau kau sakit?" Tanya Ibunya dengan khawatir.
"Aku tidak apa-apa, ibu. Jangan khawatir." Sahut Rainy. Ia menoleh pada ayahnya dan bertanya,
"Apakah dia masih bangun?" Ayahnya mengangguk.
"Dia telah menunggumu sejak tadi. Pergilah dan temui dia." Suruh ayahnya. Rainy mengangguk, melepaskan tangan ibunya sambil tersenyum dan berjalan menuju ke sebuah pintu besar berwarna putih.
Ketika pintu terbuka, Rainy disuguhi pemandangan sebuah kamar yang luas dengan perabotan mewah bernuansa modern. Suhu kamar di ruangan itu sangat hangat dan berbau obat-obatan. Tepat di tengah-tengah kamar terdapat sebuah king size bed yang tampak empuk dan mengundang. Di samping tempat tidur itu seorang pria muda duduk di sebuah kursi dan di atas tempat tidur, seorang wanita tua berbaring berselimutkan selimut tebal.
Melihatnya, si pria muda bangkit berdiri dan bergeser menjauh dari kursi. Ia menganggukkan kepala dengan hormat kepada Rainy. Raka Ranggabumi, salah satu asisten pribadi neneknya. Pria itu mengenakan setelan kerja formal dan sarung tangan tipis sewarna kulit membungkus tangannya.
"Rainy, selamat datang kembali." Sapa Raka dengan hormat. Melihat perilaku pria muda itu, Rainy menarik nafas panjang sesaat, sebelum terus berjalan memasuki kamar. Ia melangkah menuju sisi tempat tidur dimana Raka berada. Awalnya matanya masih menatap lurus ke arah Raka, namun karena yang ia tatap terus saja menundukan kepala, Rainy mengalihkan perhatiannya pada sosok yang sedang berbaring di atas tempat tidur.
Di sana berbaring seorang wanita tua renta yang tampak sangat lemah. Wajahnya yang dipenuhi garis-garis keriput menyisakan kecantikan yang masih terukir nyata. Rambutnya yang seluruhnya telah memutih dan dipotong pendek sampai di atas bahunya, tersebar di atas bantal disekitar kepala mungilnya. Tubuh itu sangat kurus dan pucat. Waktunya tidak lama lagi, Rainy bisa melihatnya dengan jelas.
"Rainy." Sapa wanita tua itu lirih sambil mengangkat sebelah tangannya, tampak ingin menyentuh Rainy.
Rainy langsung menyambut tangan tersebut dan duduk di atas kursi yang tadi ditempati Raka. Bibir Rainy menyunggingkan senyum dan hatinya dipenuhi oleh rasa sayang yang sangat besar bagi wanita tua tersebut.
"Nini, aku pulang." Sapanya. Ia menunduk dan mencium lembut pipi si wanita sementara wanita yang dipanggilnya nenek itu memejamkan matanya, menikmati kasih sayang tulus dari cucu kesayangannya. Ia baru membuka matanya ketika Rainy menegakkan kembali tubuhnya.
"Syukurlah kau sudah pulang. Aku sangat merindukanmu." Bisik wanita itu.
"Maaf, Nini. Seharusnya aku pulang lebih cepat. Maafkan aku." Mata Rainy menjadi berkaca-kaca melihat betapa lemah dan lelahnya neneknya. Neneknya yang merupakan wanita pengusaha dengan reputasi tangan besi dan hati baja, biasanya selalu tampak enerjik dan penuh gairah hidup. Namun malam ini, semua semangat hidupnya tampak telah merembes keluar dari dalam tubuhnya; membuat ia terlihat menjadi semakin kecil dan kurus.
"Tidak apa-apa… tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau sudah ada disini." ucap neneknya sambil menepuk pipi Rainy dengan lembut.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Rainy pelan, tak urung berharap bisa mendengar jawaban yang berbeda dari tampilan yang terlihat di depan matanya saat ini. Namun neneknya tampak tidak punya niat untuk menenangkan hati cucunya karena ia berkata;
"Buruk. Kau tahu kan bahwa sudah sekian tahun ini kondisiku tidak pernah membaik. Namun malam ini adalah yang paling buruk." Jawab neneknya dengan tenang. Air mata yang tadi masih ditahan Rainy, mulai mengalir pelan menuruni bukit pipinya. Ia menangis tanpa suara.
"Ah, cucu kecilku yang malang. Ninimu ini tak pernah berniat untuk meninggalkanmu sendirian sebelum kau benar-benar siap… tapi maafkan aku… sepertinya tubuh tua ini sudah tidak sanggup lagi." Ucap sang nenek dengan lirih.
"Kalau kau tidak ada, bagaimana aku bisa menghadapi semuanya?" Tanya Rainy, menyuarakan rasa takutnya.
"Kau bisa! Kau pasti bisa! Karena dalam keluarga ini hanya engkaulah yang mewarisi kemampuan kakekmu… Dalam keluarga ini hanya engkaulah yang berhak mewarisi semua yang ditinggalkan oleh kakekmu…. Tugasku hanyalah menggantikannya sementara saja sampai kau siap. Tapi aku sudah sangat lelah. Jadi... Rainy... Ijinkan aku beristirahat. ya? Aku ingin bertemu lagi dengan suamiku… Aku sangat merindukannya…" Pinta neneknya menghiba, membuat air mata Rainy mengalir makin deras.
"Tapi aku takut…" Bibir Rainy bergetar menahan sedu sedannya.
"Jangan takut… Jangan takut... kau tidak sendiri… aku meninggalkan semua tangan kanan… dan kiriku… untuk membantumu… Mereka akan menjadi pemandumu… lalu… ada dia… dia yang sejak awal… hanya memilihmu… dia pasti akan menopangmu… dan mengajarimu… semua yang engkau perlukan… untuk menempati tempat yang merupakan… merupakan hakmu…" Suara wanita tua itu makin terbata seiring dengan semakin lemahnya tubuh rentanya.
"Cucuku yang malang… aku ingin bisa… tinggal lebih lama… dan mengajarimu semuanya… tapi… kau sudah membuatku… menunggu terlalu lama…" begitu sang nenek menyelesaikan kalimatnya, matanya tertutup.
"Nini!" Rainy memanggilnya panik, tapi sepasang tangan menarik tubuhnya perlahan dan menuntunnya untuk bangkit dari kursi dan menjauhi sisi ranjang. Tempatnya langsung digantikan oleh seorang dokter setengah baya yang langsung bertindak untuk memeriksa wanita tua itu. Rainy membiarkan tubuhnya ditarik masuk dalam pelukan Raka yang sejak tadi terus berdiri di belakangnya, namun matanya tidak pernah beralih dari wajah neneknya.
Nafas Rainy tercekat di tenggorokan dan ia tidak berani mengeluarkan suara. Tangan-tangannya tanpa sadar mencengkeram tangan-tangan yang memeluknya dari belakang dengan erat, seolah mencari kekuatan dari pemilik tangan tersebut. Otaknya tak mampu berpikir dan hanya diam menunggu. Ketika kemudian dokter tersebut selesai memeriksa neneknya dan berdiri dari kursi untuk berbalik dan berbicara kepadanya, Rainy makin menguatkan cengkeramannya.
"Nenek anda jatuh tertidur. Ia hanya kelelahan karena banyak bicara dan terlalu emosi." Jelas sang Dokter. Rainy melepaskan nafasnya kencang, merasa begitu lega karena yang ditakutkannya belum terjadi.
"Apakah ia akan baik-baik saja?" Tanya Rainy lagi. Dokter tersebut terdiam sesaat sebelum
menjawabnya dengan tenang,
"Saya rasa anda juga menyadari bahwa kondisi nenek anda sudah sangat lemah. Saat ini kondisinya masih stabil. Namun saya harap anda sekeluarga bisa mempersiapkan hati untuk menghadapi yang terburuk malam ini." Mendengarnya, Rainy nyaris terjungkal andai saja ia tidak sedang berada dalam pelukan Raka. Tubuhnya terasa lemah dan kehilangan tenaga. Ia hanya bisa bersandar lemas sebelum tubuhnya diputar dan ditarik masuk lebih dalam ke dalam pelukan Raka.
"Tidak apa-apa." Didengarnya suara maskulin mengalir dari mulut Raka. Suara yang sangat dikenalnya, suara yang selama beberapa tahun terus mengisi hari-harinya.
"Menangislah kalau kau ingin menangis, Rainy. Tidak apa-apa. Aku ada disini. Aku akan menemanimu." Bujuk Raka lembut. Mendengar rayuan ini, air mata Rainy yang sedari tadi sudah membasahi wajahnya, turun semakin deras.
Copyright @FreyaCesare
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 293 Episodes
Comments
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
sudah bkn rahasia lgi klo novel genre horor
tulisan pdhl rapih,ga bosenin
tpi yg like dikit
semangat buat author di NT genre horor 💪💪💪
2023-01-11
1
Rani Melissa
novelnya bagus, bahasanya g monoton bikin enak bacanya, aku masukin favorit Kaka like sekebon sampeu buat karya mu
2022-06-24
4