"Ini tentang anak-anak kau. Apa tak sebaiknya pakai jasa pengasuh aja? Mamah carikan ya?" mamah Dinda mengusap lengan anaknya.
Ghifar malah menunduk dengan menyangga dahinya, "Mamah kan tau aku tak percaya sama orang." Ghifar menoleh pada ibunya.
"Tapi aku juga tak mungkin biarkan mereka terus-menerus sendiri. Aku kasian, Mah." lanjutnya dengan menyandarkan punggungnya.
"Ya nikah lagi berarti." Ghifar hanya terdiam, mendapat usulan itu dari ibunya.
"Kau tau kan, kalau Mamah di sini sembari handle anak bungsunya abang kau? Mamah tak keberatan tentang Kal di sini, Kaf juga nurut. Masalahnya, Mamah keteteran ngurus anak-anak kecil. Mamah kalah gesit sama umur, Mamah udah tak muda lagi." mamah Dinda mencoba tidak membuat anak-anaknya cemburu akan kasih sayangnya, "Si Tuyulnya Givan juga, mau dipegang pengasuh. Udah diobrolin sama abang kau juga."
Ghifar mengerutkan keningnya, "Mau jadi TKW ke Taiwan kah kakak ipar aku?"
Namun, suasana malah menjadi gurauan.
"Hamil, Far. Pas awal positif, langsung rujuk rumah sakit. Gejala keguguran, ngeflek karena kecapean. Si Tuyulnya hiperaktif gitu, ibunya letoy. Yang langsung kram perut aja ngadepin si Ra ini."
Ghifar ikut memikirkan saja di sini.
"Ya udah ambil pengasuh aja buat Ra, kasian ibunya."
Mamah Dinda menghela nafasnya, lalu menepuk pundak anaknya.
"Abang kau yang disiplin, ada istri aja, dia ambil pengasuh loh. Rumah juga diurus asisten rumah tangga. Kau apa-apa sendiri begini sampai kapan? Apa sampai Kin hidup lagi? Atau sampai datangnya pengganti Kin?"
Ghifar menoleh cepat, ia tidak suka dengan ucapan terakhir dari ibunya.
"Sampai mati pun, aku tak bakal cari pengganti Kin. Dia tak akan pernah tergantikan, Mah. Dia yang terbaik buat aku dan keturunan aku." tatapan matanya begitu tajam.
Layaknya ia membela istrinya sendiri.
"Ohh, kalau pengganti tak kau inginkan. Mulai besok mamah carikan seseorang yang menyambung tanggung jawab Kin. Dia bakal lanjutkan aktivitas Kin dan tugas Kin di rumah."
Ghifar mencilak tak percaya, "Mamah ngomong apa sih?!" ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Tak mau istri pengganti, masih ada istri sambung. Dari pada gini! Ambil jasa pengasuh, tak mau. Kerja, harus disuruh. Kodrat kau itu kerja, cari nafkah. Bukan di rumah urus anak. Sekarang kau kaya, usaha kau berjaya. Tapi sekalinya usaha kau salah tangan, apa tak gila kau mikirin pendidikan anak-anak kau? Enam bulan kau di rumah aja itu, keuangan kau tekor. Terlalu banyak uang yang terbuang, buat urus usaha yang seharusnya kau bisa handle sendiri. Terus juga, apa kau kira tak dosa, tiap hari nyuruh orang tua buat ini itu. Udah capek Mamah, kau susah dikasih pahamnya. Minta tolong tuh sekali dua kali, bukan terus-terusan tiap hari. Namanya ngerepotin itu, Far! Dikasih saran, tak mau terus."
Ghifar terkejut mendapat amarah tiba-tiba tersebut.
"Jadi aku ngerepotin Mamah?" begitu getir saat Ghifar mengatakan hal itu.
"Ya! Kek punya dua rumah, kek punya dua suami, kek punya dua tanggung jawab. Mah, ini habis, itu habis, tolong bawain ke sini, nanti aku ganti uangnya. Bukan sekali dua kali. Mamah capek, Far." mamah Dinda melirik sinis anaknya.
Ia tidak benar-benar mengatakannya. Jauh di lubuk hatinya, beliau pun merasakan keterpurukan anaknya. Hanya saja, ia ingin Ghifar berubah dan mengerti keadaan.
Mamah Dinda ingin senyum dan kehidupan Ghifar kembali normal.
Ghifar memandang telapak tangannya, "Mulai hari ini aku usahain biar tak ngerepotin Mamah lagi. Aku minta maaf ya, Mah? Aku pulang dulu."
Ghifar berlalu pergi, tanpa menoleh ke arah ibunya. Meski ia paham ibunya terkenal bermulut pedas, tetapi saat ini hatinya terlalu sensitif untuk mendengar semua ucapan ibunya. Ghifar tidak siap, mendengar kalimat-kalimat yang mengguncang pikirannya.
"Gagal lagi. Susah betul urus satu anak itu." mamah Dinda menggerutu dengan melirik kepergian anaknya itu.
Pagi harinya, Ghifar memutuskan untuk tidak membuka pintu untuk ibunya. Mulai hari ini, ia bertekad untuk tidak menyusahkan orang lain lagi. Terutama ibunya, yang sedari kecil ia susahkan melulu.
"Kek, nenek datang antar sarapan." Kaf menggoyangkan lengan ayahnya.
"Papa udah buat sarapan, Kaf. Nih makan." Ghifar menyuapkan anak bungsunya hasil masakannya.
"Sayur bayam ya, Pa?" Kaf melirik dulu isi piringnya.
"Iya, biar kuat kek Popeye." Ghifar tersenyum lebar pada anaknya.
Kaf mengangguk, kemudian membuka mulutnya. Begitu pun dengan Kal, anak gadis Ghifar itu makan dengan lahap hasil masakan ayahnya.
"Kaf Papa anter ya? Nanti pulangnya Papa jemput."
Ghifar berencana mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Kemudian, saat anaknya pulang dari sekolah ia berniat untuk keluar sementara dari kawasan pabriknya. Guna menjemput anaknya dan mengurus makan siang anaknya terlebih dahulu.
Hingga tidak terasa, kemandiriannya empat bulan ini membuat pekerjaannya terbengkalai. Ia direpotkan mengurus anak-anaknya, sehingga membuat pekerjaannya bertambah menumpuk.
"Far…. Asisten kau sampai ngeluh, sekertaris kau kebingungan juga." Novi memberikan kembali beberapa tumpukan map untuk Ghifar.
"Dewi kurang handal, Jeni kurang cepat kerjanya. Tarik aja sekertaris dan asisten aku yang kemarin."
Menurut Novi, ini tidak ada sangkut pautnya. Ditambah lagi, ucapan Ghifar tidaklah benar. Novi tahu itu. Novi tahu kinerja orang-orang yang dipilihnya untuk menduduki posisi itu.
"Nih, Far. Kau perlu tau, kalau Jeni ini pernah jadi buruh pabrik. Di mana, kecepatan bekerjanya ini tidak perlu dipertanyakan. Kemarin sebelum Jeni aku tarik kerja di sini, Jeni ini yang handle salah satu perusahaan bang Lendra yang ada di Singapore. Dia juga tangan kanan bang Givan, untuk kepentingan pengecekan di lapangan tambangnya. Terus…. Dewi ini bisa sampai aku kasih dia posisi personal asistant, si tangan kanan atasan. Karena kecakapan bahasanya bagus, dia nguasain kurang lebih sepuluh bahasa. Kinerjanya juga bagus, meski pendidikannya cuma di ilmu bahasa aja. Dia kerja bisa sesuai yang kau perintahkan. Sayangnya, yang memberi perintahnya kurang pandai."
Ghifar mendelik cepat, mendengar akhir kalimat dari Novi.
"Maksud kau, aku yang tidak becus kerja begitu?" Ghifar menggebrak meja kerjanya, kemudian ia bangkit dari duduknya.
Dewi yang berada di seberang meja Ghifar, memilih untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia tetap ingin posisinya aman, ia tetap ingin mendapatkan upahnya. Ia tidak mau tahu apapun, masalah Ghifar dan Novi. Karena itu di luar tugasnya. Dewi hanya mencoba sopan dan profesional untuk pekerjaannya.
"Nyatanya begitu. Menghargai waktu aja kau tak bisa, Far! Kau datang jam sembilan, kau keluar lagi pukul sepuluh. Kau masuk lagi pukul sebelas, terus keluar lagi pukul dua belas dan baru kerja kembali pukul setengah dua siang. Memang kau pemilik perusahaan, tapi kau punya tanggung jawab atas tugas-tugas kau Far! Kalau memang merasa tak mampu, jual aja perusahaan kau. Aku yakin, saudara-saudara kau mampu beli perusahaan kau. Daripada membebani banyak orang begini, Far. Kerjaan kau numpuk, yang pusing aku juga. Karena tak ada dokumen yang harus aku proses, pekerjaanku pun tersendat, hanya untuk minta tanda tangan persetujuan kau." kilat amarah Novi tidak bisa disembunyikan lagi.
Mereka saling memandang dengan sengit. Seperti para petarung yang melihat musuhnya.
...****************...
🤦♀️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Bat Riani
sama Ria aja.... adiknya canda. kan orang dekat jg. pastilah dipercaya u momong anak mu Far...
2022-04-16
0
Sri Muliani
next thor gk tau hrs ngomong apa
2022-04-15
0
Red Velvet
Semua gak akan bisa di handle sendiri, coba aja pelan2 menerima kepergian Kin.
2022-04-14
1