"Ra! Denger Nenek tak?! Jangan sampai Nenek jual juga ya kau, Ra!"
Ghifar geleng-geleng kepala, mendapat sambutan suara menggelegar dari ibunya.
Brukh…..
"Sukur!" suara mamah Dinda yang kian mendekat, bersambung dengan suara tangis anak usia dua tahun itu.
Ghifar langsung menggendong anak perempuan berdiapers, yang baru saja menabraknya itu.
"Tak ikut yayah kau?" Ghifar mencoba menenangkan anak itu.
"Yayah nana?" anak perempuan tersebut begitu cantik menurut Ghifar.
Wajahnya begitu imut dan alim, tetapi aktivitasnya begitu super. Anak itu seperti memiliki baterai ganda.
"Jangan kasih tau, Far!" Ghifar mendapat peringatan dari ibunya.
Mata Ghifar menangkap ayahnya yang sudah rapih saja. Ia memperhatikan rumah orang tuanya, yang sedikit asing menurutnya.
"Mau ke mana, Pah?" tanyanya pada ayahnya.
"Reutoeh almarhumah ibunya Zuhdi." papah Adi mengenakan pecinya.
Ghifar cukup kaget mendengar ibu dari suami adiknya itu telah tiada.
"Udah tiga bulan aja meninggalnya. Kok aku tak dengar kabar apapun?" tanyanya dengan melangkah memasuki ruang keluarga ini.
"Kek… Entut." rengek anak di gendongan Ghifar.
"Adek pakai bajunya, pakai kerudung juga!" nada bicara papah Adi sedikit tegas.
"Nekkk… Aju, udung." anak itu merosot dari gendongan Ghifar.
Anak itu berlari mencari keberadaan neneknya, yang tengah sibuk membereskan peralatan rumah tangga yang diacak-acak oleh cucunya.
"Gavin sama Gibran sejak kapan pulang? Kal cerita, katanya Papah tadi antar balik mereka ke pesantren." Ghifar duduk di sofa ruang keluarga yang begitu nyaman itu.
"Dua hari. Cuma kau kakak yang paling dekat sama mereka. Kau ke mana aja? Lupa kah masih punya adik yang kecil?" papah Adi duduk di sofa yang sama, sembari menunggu cucu perempuannya yang akan ikut dengannya tersebut.
"Entahlah, Pah." Ghifar memijat pelipisnya sendiri.
Ia pun tidak mengerti akan kemauan dirinya sendiri.
"Pak wa, aku keluar dulu ya?"
Ghifar menoleh pada seseorang yang menuruni tangga tersebut. Ia terperangah, melihat penampilan cantik mempesona dari gadis dewasa yang pagi tadi ia cium.
"Laki-laki kau suruh jemput ke sini! Ketemu di jalan lagi, Pak wa pondokin juga kau sama Gavin dan Gibran." papah Adi mengacungkan jarinya ke arah Novi.
Suara tegas meningginya, membuat siapa saja enggan menyahuti.
"Orang tua kau udah meninggal, Nov! Baik-baik lah kau di sini, biar Pak wa tak ngerasa kecolongan karena dititipkan kau! Anteng! Kelayapan terus! Masanya ada yang niat serius pun, dia bakal datang ke rumah Pak wa. Bukan ngajakin kau ketemuan di coffe shop, atau di depan gang begini."
Novi hanya bisa terdiam. Ia malah teringat kecelakaan tragis, yang merenggut nyawa kedua orang tuanya.
"Sekali lagi Pak wa liat kau dibonceng si Nando lagi. Pak wa bakal serahin kau ke WH sekalian! Awas aja kau!" papah Adi mengancam keponakannya itu.
Novi hanya mengangguk, kemudian ia berbalik menaiki tangga dengan wajah murungnya. Novi berpikir dirinya tidak akan laku seumur hidup, karena di usianya yang sudah kepala tiga ini, dirinya masih dilarang untuk jalan dengan seorang laki-laki.
Padahal, orang tua Novi tidak seperti ini. Namun, kehidupannya berubah sejak sepeninggal orang tuanya dua bulan silam.
"Biar Novi keluar, Pah. Kapan lagi dia pacaran? Novi udah umur." ujar Ghifar menegur baik-baik ayahnya.
"Diam aja kau kalau tak ngerti apa-apa." sahut ayahnya dengan berjalan mencari keberadaan cucunya.
"Raaaa… cepet! Katanya ikut Kakek." papah Adi berjalan ke arah dapur.
Ghifar terdiam dengan sorot mengarah ke televisi. Ghifar hanya melirik, saat papah Adi lewat di sampingnya dengan menggendong anak usia dua tahun tersebut.
"Gimana, Far? Mana anak kau?" Ghifar mendapat tepukan di bahunya, sebelum tempat di sebelahnya sedikit bergoyang.
"Udah pada lelap, Mah. Anak-anak tak pernah lagi tidur siang, sejak Kin tak ada. Jadi abis isya udah tidur, bangun subuh." Ghifar menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
Begitu nyaman, Ghifar jadi merasa mengantuk. Namun, ia ingat bahwa dirinya harus tidur di rumah.
"Coba kau cukur rambut, Far. Atau…. Besok ikut Mamah yuk?" mamah Dinda miring ke arah Ghifar sembari menyangga kepalanya dengan satu tangan, yang sikunya menempel pada sandaran sofa.
"Kal juga minta jalan-jalan. Tapi ke mana, Mah?" Ghifar sesekali menoleh ke arah ibunya.
"Ke mana aja." mamah Dinda menahan senyum manisnya.
"Males, Mah. Aku lebih nyaman di rumah."
Lagi dan lagi, Ghifar teringat ucapan istrinya ketika dulu ia sering keluar rumah untuk bertemu dengan temannya di coffee shop.
"Keluyuran terus, Yang?! Menikah itu komitmen, Yang. Kalau masih mau main-main sama kawan, jangan ambil opsi buat nikah. Inilah resiko menikah, kau tak akan bebas main."
Namun, Ghifar membaca raut kecewa di wajah ibunya. Ghifar berpikir untuk menawarkan opsi lain, agar senyum ibunya kembali riang.
"Aku anter, tapi aku tunggu di mobil. Paginya pun, aku minta papah betulkan mobil aku dulu. Bingung, punya kendaraan tapi tak bisa nyala semua." ucapnya kemudian.
"Anak kau diajak? Mamah suruh jalan-jalan di dalam swalayan sendirian dengan jaga kedua anak kau begitu?" tanya ibunya dengan wajah garangnya.
"Mamah mampu jalan-jalan sendiri kalau begitu, Far. Tujuan Mamah ngajak kau jalan-jalan tuh, ya pengen refreshing sama kau." lanjut mamah Dinda dengan menunduk sendu.
Ghifar kebingungan di sini. Ia tidak mau membuat ibunya bersedih hati, tetapi ia masih tidak nyaman terlalu lama berada di luar. Kecuali dengan alasan yang jelas, seperti bekerja.
"Lain waktu mungkin, Mah." Ghifar menyugar rambutnya yang gondrong itu ke belakang.
"Ya udah kau sekarang ambilkan persenan Mamah di tante Shasha. Tadi lupa bilang ke papah, kalau Mamah pergi sendiri, papah pasti marah kalau tau."
Ghifar langsung mengangguk. Setidaknya, sedikit menuruti perintah ibunya akan membuat ibunya senang.
"Nih uangnya." mamah Dinda berjalan ke arah kamarnya, lalu keluar dengan memberikan beberapa lembar uang pada Ghifar.
"Aku ada, Mah. Tapi ambil dulu di rumah."
"Lama! Udah aja pakai uang Mamah." mamah Dinda celingukan, "Bentar, cari kunci motor dulu."
Tak lama kemudian, Ghifar begitu terheran-heran melihat rumah teman ibunya yang dimaksud. Karena beberapa bulan silam, teman ibunya tersebut berjualan makanan.
Namun, sekarang jelas berbeda. Rumah tersebut disulap seperti toko di satu sisinya. Rolling door toko tersebut pun, sudah tutup.
Yang muncul di benak Ghifar hanya satu. Apakah rumah itu masih benar rumah milik tante Shasha?
Enam bulan mengurung diri. Bisa saja terjadi sesuatu hal, yang di luar sana tanpa ia ketahui. Contohnya, seperti pada saudara-saudaranya.
"Ahh, udah nyampe juga. Kalau toh salah, bisa balik lagi." Ghifar memilih untuk mengetuk pintu rumah tersebut.
Tok, tok, tok….
"Assalamualaikum…." Ghifar melantangkan suaranya.
"Ya, wa'alaikum salam."
Ceklek….
"Hah?" Ghifar melongo saja, melihat…..
...****************...
Sapa maning 🙄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
My_ChA
si tuyul kata ghifar cantik, udah pasti keturunan givan gak diragukan. wajahnya imut dan alim, mirip biyung dong, ini tuh lapak nya ghifar to dr pertama banyak yg salfok sm istri nya ayah Ipan sm situyul 😅😅
2022-04-13
1
Yuli Amoorea Mega
Rara anak Canda kah?
soalnya wajahnya imut dan alim....
penasaran????
2022-04-12
1
liatina
kamu kelamaan bertapa sih far, jadi gak tau dunia luar sekalianya keluar bengong 🙊😁😁😁✌
2022-04-12
2