Enam bulan berlalu.
"Makanlah dulu, Far." mamah Dinda kembali datang mengirimkan sarapan buatannya, untuk anak dan cucu-cucunya.
"Biar nanti, Mah." Ghifar masih tidak berkedip, memperhatikan tembok yang kosong tersebut.
"Biar apa?! Biar cepat mati juga?! Terus anak-anak kau jadi yatim piatu? Iya? Begitu?" suara tinggi ibu yang melahirkan banyak anak tersebut, dihafal setiap hari oleh Ghifar.
"Ya, Mah. Nanti aku makan." Ghifar menoleh pada ibunya yang sudah berubah wujud menjadi banteng.
Ghifar tersenyum amat lebar, sangat terlihat dibuat-buat tersebut.
"Nanti! Nanti! Sekarang!!!" bentakan penuh paksaan dilangsungkan lagi enam bulan belakangan.
"Iya nih, Mah. Aku makan nih, Mah." Ghifar terburu-buru langsung menyendokan nasi goreng itu ke mulutnya.
"Terus kerja kau! Kasian Abang kau sampai ubanan. Perusahaan kolaps sampai jadi stabil, kau tak pernah tau kabar apapun. Sanalah keluar rumah. Kau tak punya masa iddah dan kau tak berdosa, karena melanggarnya juga." mamah Dinda membantu menyuapi Kaf makan sarapannya.
"Ada apa di luar? Anak aku siapa yang urus?" jawab Ghifar, dengan menikmati sarapannya ini.
"Aku pengen diantar sekolah sama Papa, kek bang Chandra. Aku bosen diantar jemput becak motor terus." ungkap si sulung yang paling cantik tersebut.
Tentu cantik, karena Kal adalah anak perempuan satu-satunya dan Kaf paling tampan karena anak laki-laki satu-satunya.
"Kan enak ditungguin sama tukang becak motornya. Nanti kalau diantar Papa, Kak Kal ditinggal di sekolahan, baru dijemput pas pulang." alasan ini yang selalu Ghifar gunakan, untuk tidak keluar dari rumahnya.
Meski hidup dalam lingkungan yang kelebihan materi. Mereka tinggal di perkampungan. Kampung Kenawat Redelong, kecamatan Bukit, kabupaten Bener Meriah, provinsi Aceh menjadi tempat tinggal turun temurun dari generasi keluarga mereka.
Tidak heran, tempat tinggalnya dikelilingi oleh ladang kopi arabika Gayo milik orang tua Ghifar sendiri. Dengan perusahaannya juga, yang bergerak di bidang produksi bubuk kopi ternama yang memiliki pasar luar negeri sendiri.
"Tukang becak juga ada pulangnya lah, Pa. Masa iya nungguin aku sampai selesai belajar." Kal melirik malas ayahnya itu.
"Iya tuh, Far. Turutin kenapa!" tambah mamah Dinda, agar Ghifar mau keluar rumah sekedar untuk mengantar anaknya sekolah.
"Kaf sama siapa, Nek?" tanya Kaf, yang masih duduk dalam taman kanak-kanak.
"Sama Hadi, biasa." mamah Dinda menarik turunkan alisnya.
Hadi adalah sepupu Kaf dan juga Kal. Ibunda Hadi merupakan adik perempuan satu-satunya untuk Ghifar.
"Ya, Pa? Antar aku sekolah naik motor." Kal menggoyangkan lengan kiri ayahnya.
"Iya, iya. Tapi nanti Papa pulang lagi, jemput kalau jamnya kak Kaf pulang sekolah." putus Ghifar yang membuat hati mamah Dinda dan Kal begitu gembira.
Mamah Dinda pasti bergembira juga, karena anaknya hari ini mau untuk melihat dunia luar.
Beberapa saat kemudian, Ghifar menyipitkan matanya ketika baru membuka pintu rumahnya.
Beginikah hangatnya sinar matahari pagi?
Benak Ghifar bertanya-tanya seorang diri.
"Eit, cieeeeee. Tarzan rumahan keluar." sindir seseorang bertubuh tinggi tegap dengan wajah tampannya.
Ananda Givan, anak pertama mamah Dinda dan suami terdahulunya. Anak-anaknya hidup bertetangga dengan tentram, dengan rumah-rumah yang hampir mirip semua seperti perumahan subsidi itu.
"Tarzan! Tarzan!" gerutu Ghifar dengan mengikat rambutnya, yang disatukan di bagian tengkuk.
Enam bulan mengasingkan diri, membuat rupa Ghifar begitu pangling di mata orang-orang. Rambut yang panjang sebahu dan ikal, ditambah lagi baju rumahan yang terlihat lusuh tak terurus.
Direktur utama perusahaan bubuk kopi tersebut, tidak terlihat berwibawa sama sekali.
Ghifar mengamati kakak pertamanya yang keluar masuk dari pintu besi, yang menjadi akses antara halaman samping rumahnya itu.
"Ada apa, Bang?" tanya Ghifar dengan mendekati kakaknya.
"Halaman kau, berubah jadi rawa-rawa. Dari kecebong, biawak, komodo, buaya, hidup berbahagia dengan kearifan lokal." jawab Givan, dengan menarik rerimbunan rumput air yang tumbuh di atas genangan yang cukup dalam tersebut.
"Yayah….." tangis kejar dengan sosok berdiapers tersebut muncul di ambang pintu besi itu.
"Ihh, tuyul kau udah bisa jalan sih?" Ghifar begitu terheran-heran, melihat anak bungsu kakaknya yang sudah berdiri tegap itu.
"Mandi dulu!" bentak Givan dengan memelototi anaknya itu.
"Yayah, entut." anak tersebut menghentak-hentakan kakinya ke tanah.
"Duh…." Givan dengan berat hati memindahkan anaknya itu untuk duduk di teras rumah Ghifar.
"Hei, Tuyul! Kau udah bisa jalan sih?" Ghifar berjongkok, lalu mencolek pipi anak perempuan tersebut.
Dengan sombongnya, anak perempuan tersebut mengusap bekas colekan Ghifar. Ia memanyunkan bibirnya, dengan tidak meladeni pamannya tersebut.
"Ihh, sombongnya! Baru enam bulan, udah tak kenal kau?!" Ghifar bangkit, lalu memakai sendalnya yang sudah pudar karena dihantam panas dan hujan tersebut.
"Aku disuruh papah buat bersihin halaman kau nih. Bantu kah apa? Abang kau bukan pengangguran, M*ho!" ledekan beberapa tahun silam itu, terdengar kembali.
Ghifar terkekeh, "Nanti agak siangan deh." ia berjalan dan melongok halaman sampingnya itu.
"Ayo, Pa. Aku udah siap." Kal muncul, dengan sudah mengenakan seragam merah putih dan sepatu hitam putih itu.
"Ayo, ayo." Ghifar memutar tubuhnya, ia berjalan menuju garasi rumahnya.
Beberapa kali ia mencoba menghidupkan motor berbodi bongsor berwarna hitam tersebut, tetap tidak membuahkan hasil. Ghifar berpikir motornya rusak, karena lama tidak dipanasi mesinnya.
"Pakai motor Abang aja." Givan muncul dengan menggendong anak perempuan berdiapers tersebut.
"Mana kuncinya?" Ghifar menengadahkan tangannya pada kakaknya.
"Nih." Givan menyerahkan kunci motornya.
"Yayah, entut." anak perempuan di gendongan Givan itu kembali merengek dengan merengkuh lehernya.
"Entut, entut! Kau belum mandi! Jangan batat coba, Nak. Nurut!" Givan berjalan kembali menuju pintu besi penghubung halaman samping tersebut.
"Ini motornya, Far." seru Givan dari ambang pintu besi tersebut.
Ghifar mengangguk. Ia menutup kembali garasi rumahnya, kemudian menggandeng anaknya menuju ke rumah kakaknya itu.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah melaju di atas motor matic plesetan dari kata sexy itu.
Orang-orang memusatkan perhatian mereka, pada sosok Ghifar yang terasingkan tersebut. Ia seperti baru keluar dari mesin waktu. Ia bagaikan manusia yang hilang di peradaban, kemudian muncul kembali di zaman modern.
Motor itu berhenti di depan sekolah dasar negeri tersebut.
"Papa salim dulu." Kal langsung mencium tangan ayahnya.
"Jam dua belas Papa jemput ya?" Ghifar mengusap-usap kepala anaknya yang terlapisi kerudung instan tersebut.
"Ya, Papa. Assalamualaikum, aku sekolah dulu."
Ghifar mengangguk dan menjawab salam anaknya dalam hati. Ia memperhatikan anaknya yang berjalan menuju kelasnya tersebut.
Tepukan lembut Ghifar dapatkan di bahu kanannya. Senyum manis wanita bermata teduh tersebut melayang pada Ghifar.
Ghifar menoleh, ia tertegun persekian detik mengingat kembali rupa tersebut.
...****************...
Main cepat nih 😘 enak gak ya 🤗 tapi kalau lebih luka slowly, kabarin ya 😉 nanti author improvisasi di tengah episode 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Suwarti Rahayu
di episod ini ada tanah gayo kampung suamiku tercinta yg sdh alm jadi sedih
2022-06-14
1
Chintya
Aku sih tetep pingin canda sama gifar mau slow apa cepet terserah aja yg penting akhirnya mereka bersama ya ya ya plisss hahahha
2022-04-04
1
berkah banyak rejeki dan sehat
cepetin canda dl Thor biar aku ga nebak² Mulu😂 aku yakin othor dah punya tabungan naskah ni jd gercep up dalam 2 cerita ,,sehat² Thor lancar segla urusannya
2022-04-04
0