"Pocut Rauzha? Ada di sini? Kau ngapain" Ghifar sampai menyebutkan nama panjang wanita berprofesi sebagai dokter tersebut.
"He'em." Rauzha tersenyum amat manis, "Abi aku nikah lagi sama orang sini. Aku tinggal di daerah sini, nganter adik aku sekolah." jawabnya kemudian.
Ghifar menyipitkan matanya, "Kau udah waktunya kawin, masih punya adik kecil aja?" ia memperhatikan gadis kecil berhijab itu dan kakaknya secara bergantian.
"Iya, ini adik bungsu aku nih." Rauzha masih mempertahankan senyumnya.
Rauzha mengusap pundak adiknya, "Gih masuk."
"Ya, Kak." gadis kecil berkerudung tersebut berjalan cepat melewati gerbang sekolah dasar.
"Pocut…." Ghifar masih terheran-heran dengan adanya mantan kekasihnya di daerahnya itu.
"Ya? Rauzha, Far. Jangan Pocut, Roza aja biar gampang. Dari dulu pun, aku dipanggil Roza sama orang tua aku, sama kawan-kawan aku." mantan kekasih Ghifar yang kebetulan dulu adalah kakak kelas Ghifar tersebut, mengusap lengan Ghifar saat menjelaskan perihal nama panggilannya.
Ghifar langsung menepis tangan tersebut. Ia celingukan, ia khawatir ada mata-mata yang akan melaporkan ke istrinya. Karena dulu sering terjadi kesalahpahaman, jika Ghifar tengah mengobrol dengan seorang wanita seperti.
Tapi, Ghifar langsung tersadar bahwa istrinya sudah meninggalkannya untuk selamanya. Wajahnya langsung berubah menjadi sendu, dengan sorot mata yang mengarah ke tanah.
"Kau kenapa, Far?"
Ghifar menggeleng, kemudian ia bergegas pergi dengan menggunakan motor kakaknya tersebut.
Suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Semangatnya untuk bekerja hari ini dan beraktivitas di luar ruangan, tiba-tiba redup begitu saja.
Ia memilih untuk mengurung dirinya kembali di istananya.
Sedangkan di halaman samping rumahnya, ada kakak dan ayahnya yang tengah membersihkan lingkungan rumahnya yang tak terurus. Mereka membersihkan halaman tersebut, semata-mata agar anak-anak aman bermain di lingkungan itu.
Mau bagaimana pun juga, rumah dekat dengan ladang luas sering didatangi binatang yang tidak diharapkan kehadirannya.
"Kenalkan aja sama siapa gitu, Pah." usul Givan, ia tak sampai hati melihat adiknya terus menerus mengurung diri tersebut.
"Biar dia sembuhkan hatinya dulu." papah Adi menyadari putranya itu memiliki beberapa luka dan trauma yang membekas.
"Pernah ng*cok tak ya dia, Pah?" pertanyaan konyol tersebut, terlontar begitu saja dari Givan.
Ia bahkan sampai tertawa seorang diri, mendengar ucapan konyolnya.
"Kau kan pernah jadi duda. Kau gimana dulu?" papah Adi melemparkan pertanyaan tersebut ada diri Givan sendiri.
"Is, dulu duda anak tiga juga perempuan pada antri. Tak dicolek juga, mereka pada nemplok sendiri. Tak korban sabun, tak korban uang. Selang*angan ada di depan mata sendiri." tabiat sombong putra pertama tersebut, memang sudah terkenal sejak lama.
Papah Adi tertawa lepas. Keluarga mereka sudah seperti tongkrongan warung kopi. Di mana antara orang tua dan anak, sudah tidak ada batasan untuk begurau dan mengobrol lagi.
"Sekarang anaknya udah berapa jadi?" tanya orang tua yang masih gagah itu.
"Eummm?" Givan menempelkan jarinya di dagunya, "OTW enam." jawabnya dengan tertawa geli.
Tawa lepas terdengar dari keduanya, membuat Ghifar yang berada di kamarnya yang terletak di lantai dua, merasa penasaran dengan gelak tawa tersebut. Ia melongok di jendela kamarnya, kepalanya menghadap ke bawah, memperhatikan orang terdekatnya tersebut.
Rasa ingin berbaur, membuat geli kaki Ghifar. Namun, suasana hatinya belum membaik. Sulit baginya memandang lepas ke luar, saat kenangan bersama istrinya begitu indah di dalam rumah mereka.
Bulu matanya mulai basah. Ia menekan ujung matanya, lalu mencari kesibukan lain di dalam rumahnya. Meski hanya sekedar memasak nasi dalam rice cooker, juga membuat sayur bening dan ayam goreng untuk anaknya. Ghifar lakukan semata-mata, agar anak-anaknya tetap mendapat asupan makanan seperti saat ada ibunya.
~
"Kita tak boleh biarin Ghifar terus-terusan kek gini. Apa gak gila nanti itu anak?" mamah Dinda tengah bertopang dagu, dengan memperhatikan cucu-cucunya yang berlarian ke sana ke mari itu.
"Tak mungkin jadi gila juga lah." sahut suaminya, yang senantiasa ada di sampingnya sembari menikmati teh hangat.
"Aku punya ide." ungkap mamah Dinda, dengan menjentikkan jarinya.
Papah Adi menoleh, "Apa?" tanyanya kemudian.
Mamah Dinda membuat lorong dengan kedua telapak tangannya di depan telinga suaminya. Kemudian, ia membisikkan ide brilian sebagai jalan keluar untuk Ghifar.
Namun, papah Adi malah geleng-geleng kepala. Ia tidak setuju, dengan ide istrinya yang sedikit gila.
"Jangan dibakar juga pabriknya, Adindaku! Ghifar bangkrut, apa kita tak ikut miskin juga?!"
Mamah Dinda cekikikan dengan memegangi perutnya. Ia sadar, bahwa idenya sedikit berlebihan. Tapi otaknya sudah tumpul, untuk memancing anaknya keluar dan menjadi manusia yang memiliki rutinitas baru. Bukan melulu berada di dalam rumah, untuk mengasuh dan membuatkan makan siang untuk anaknya sendiri.
"Menolak keriput juga, tapi lagaknya kek tak doyan uang." papah Adi masih tidak habis pikir dengan ide istrinya.
"Terus apa dong? Aku capek pura-pura sakit biar ditengokin Ghifar." mamah Dinda memandang kosong pohon belimbing wuluh yang berbuah lebat tersebut.
"Jangan sakit lagi. Kita coba….." suara papah Adi membuat rasa penasaran mamah Dinda.
"Apa, Bang?" tanya mamah Dinda penasaran.
"Kita mulai dari…….
...***************...
Udah beraksi dong mamah papah 🤩 ayo bantu Ghifar sembuh 😌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Nindi Ramadhani
lanjut
2022-04-06
1
Mamahna Kamila
lagi dong Thor 😁✌️ masih kurang banget...😘😘
2022-04-05
1
liatina
kek nya si pocut masih suka ma ghifar ya 🙊😜😜😜
2022-04-05
2