...***...
Sudah tiga hari ini Nathan jadi kaum rebahan. Selain karena kepalanya yang masih terasa berat, perhatian Widya juga menjadi salah satu alasan Nathan untuk bermanja. Kapan lagi Nathan mendapat perhatian lebih dari Widya? Setidaknya dengan kejadian ini, Widya selalu menyapa melalui ponselnya untuk sekedar menanyakan apakah Nathan sudah makan atau minum obat. Seperti pagi ini, Widya menyempatkan diri untuk menghubungi sebelum berangkat kuliah.
Widya: Pagi, Nath. Sudah sarapan?
^^^Nathan: Belum, nggak selera.^^^
Widya: Harus dipaksain, dong! Habis itu minum obat.
^^^Nathan: Nggak mau, nunggu lo suapin.^^^
Widya: Hari ini jadwal gue padat, mungkin agak sore gue baru bisa ke rumah.
^^^Nathan: Yaah, pusing lagi, nih. ^^^
Widya: Pokoknya lo harus makan dan minum obat, kalau enggak, gue nggak akan ke rumah. Dah, Nathan!
Nathan meletakkan ponselnya di atas nakas ketika Liana mengetuk kamar Nathan.
“Nath, sudah bangun? Mama boleh masuk?” tanya Liana yang berdiri di depan pintu kamar Nathan.
“Masuk saja, Ma!” seru Nathan. Liana membuka pintu dan masuk membawa sarapan untuk Nathan. Semangkuk sup krim dan segelas air madu hangat.
“Sarapan dulu, biar cepet sehat!” Liana meletakkan nampan di atas nakas.
“Nathan nggak mau makan, Ma. Rasanya masih nggak enak,” tolak Nathan merapatkan selimutnya hingga menutupi kepalanya.
“Kenapa anak mama jadi manja gini? Mau mama suapin?” goda Liana.
“Taruh aja di situ, nanti Nathan makan. Sekarang Nathan mau tidur bentar, Ma,” kata Nathan yang kembali merasakan pusing di kepalanya. Liana pun berlalu setelah menyiapkan obat di samping sarapan Nathan.
Sebenarnya Liana ingin menyampaikan pesan dari papanya semalam. Namun, melihat kondisi Nathan yang masih belum sehat, Liana tidak tega. Semalam suaminya menelepon dan memberi kabar tentang perusahaannya yang sedang ada sedikit masalah. Sudah biasa, ada rekan bisnisnya yang kembali bikin ulah. Suaminya meminta Nathan untuk membantu menyelesaikan urusan perusahaan. Liana bimbang, karena saat ini Nathan sedang tidak sehat, tetapi Liana juga tidak tega membiarkan suaminya berjuang sendiri di sana.
Pukul sepuluh, Liana kembali masuk ke kamar Nathan dan melihat Nathan bersandar di kepala ranjang sedang menikmati sup krimnya. Perlahan Liana mendekat dan duduk di dekat Nathan.
“Sudah merasa enakan?” tanya Liana tersenyum menatap putranya sudah menghabiskan sup krim buatannya.
“Lumayan, Ma. Udah mendingan,” jawab Nathan.
“Mama mau cerita, semalam Papa telepon. Papa bilang kalau om Yuda berulah lagi. Perusahaan mulai repot akibat ulah om Yuda.” Nathan diam mendengar cerita Liana. Yuda adalah salah satu dari beberapa pemilik saham di perusahaan milik papanya. Meskipun persentasenya masih di bawah Nathan, tetapi karena Yuda orang yang licik, dia bisa memengaruhi pemilik saham yang lain. Dan Nathan adalah salah satu yang bisa menghadapi Yuda.
“Kapan Nathan harus terbang ke sana?” tanya Nathan yang sudah mengerti arah pembicaraan papa dan mamanya.
“Tapi kamu masih sakit, Sayang. Kesehatan kamu lebih penting,” ujar Liana.
"Nathan usahakan secepatnya ke sana, Ma. Kalau hari ini Nathan merasa belum sanggup untuk berdebat dengan om Yuda,” terang Nathan.
“Iya, Sayang. Sekarang kamu banyakin makan dulu, ya! Biar kesehatanmu segera pulih.” Liana berlalu membawa nampan yang berisi mangkuk dan gelas yang kotor.
Nathan berpikir keras, apa lagi yang sudah Yuda perbuat. Sebenarnya Nathan ingin segera terbang ke Singapura, tetapi dia merasa tubuhnya belum bisa diajak berperang. Tiba-tiba pikirannya beralih pada Widya. Ada rasa berat untuk terbang ke Singapura, mengingat kejadian dulu ketika dia mengetahui Widya kembali menjalin hubungan dengan Harsa, sekembalinya dia dari Singapura. Jujur, untuk hal yang satu ini Nathan masih sangat trauma. Namun, di sisi lain papa dan perusahaannya membutuhkannya. Kali ini, Nathan mencoba berdamai dengan keadaan. Jika dipaksakan, Nathan takut justru akan berakibat buruk pada fisiknya. Dia segera mengirim pesan untuk papanya.
Nathan: Lusa Nathan datang, Pa.
^^^Papa: Bagaimana dengan kesehatan kamu? Mama bilang kamu sakit.^^^
Nathan: Hari ini Nathan masih pusing, semoga besok sudah benar-benar membaik.
^^^Papa: Baiklah, papa tunggu.^^^
Nathan bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi, berendam dalam air hangat berharap tubuhnya segera membaik. Tiga puluh menit lamanya dia berendam, setelah ganti baju Nathan mulai membuka laptopnya meminta papanya mengirimkan beberapa file yang bermasalah untuk Nathan pelajari sebelum dia berhadapan dengan Yuda.
***
Pukul empat sore ojol yang Widya tumpangi berhenti di depan rumah Nathan. Widya turun dan berjalan menuju pintu utama.
“Tumben, sore baru sampai sini, Mbak,” sapa pak Maman, sopir keluarga Nathan.
“Iya, Pak. Lagi banyak kegiatan. Nathan ada?” tanya Widya sopan.
“Ada, mas Nathan dari tadi nggak keluar rumah,” terang pak Maman.
“Baiklah, terima kasih, Pak,” ucap Widya.
Widya berlalu menuju pintu utama. Liana berdiri di sana dan tersenyum menyambut kedatangan Widya.
“Sore, Tan. Gimana kabar Nathan hari ini?” tanya Widya setelah mencium punggung tangan Liana.
“Alhamdulillah, sepertinya Nathan sudah mulai membaik. Ayo, masuk!” Liana mengajak Widya menuju ruang tengah. Tidak lama kemudian asisten rumah tangga datang membawakan segelas jus strawberry bersama makanan ringan.
“Ayo, diminum dulu! Kamu pasti haus. Tante panggilin Nathan dulu, ya.” Liana berlalu menuju kamar Nathan. Nathan tampak lebih segar, dia berjalan menuruni tangga dan menatap Widya yang duduk di ruang tengah.
“Gimana kabar lo, Nath?” tanya Widya begitu melihat Nathan yang masih berada di anak tangga. Widya sudah tidak sabar ingin mendengar kabar lelaki itu. Nathan tersenyum melihat raut muka Widya yang terlihat khawatir.
“Kok diem aja? Masih pusing, ya?” tanya Widya lagi.
“Nggak sabaran amat, sih. Takut gue kenapa-napa?” goda Nathan.
“Ish! Gue kan cuma nanya. Nih, gue bawain leker. Tadi katanya lagi pengen yang manis-manis.” Widya mengulurkan kantong berisi leker yang harumnya menggoda. Nathan menerima dan duduk di dekat Widya.
“Terima kasih lekernya, Sayang. Gue udah baikan. Apalagi sering diperhatiin sama lo, gue jadi cepet sembuh.” Kalimat Nathan membuat Widya tersipu, tetapi ia berusaha untuk mengalihkannya dengan membahas hal lain. Mereka berbincang banyak hal mulai dari kegiatan kuliah, tugas, hingga obat yang Nathan minum.
“Wid, lusa gue harus ke Singapura untuk waktu yang belum bisa dipastikan. Bisa lama, bisa juga sebentar ...." Kalimat Nathan terjeda. Ada rasa sesak ketika mengatakan hal ini.
“Ehm ... apa ... lo benar-benar tidak bisa menerima gue sebagai pacar lo?" Nathan sedikit ragu-ragu melanjutkannya, "terus terang gue takut, pas gue balik nanti, ternyata lo sudah menjadi milik orang lain. Kayak dulu.” Nathan menunduk, kalimatnya mulai sendu. Ada rasa perih di hati Widya mendengar ucapan Nathan, tetapi ia belum berhasil meyakinkan hatinya.
“Lo bakalan lama, di sana, ya?” tanya Widya berharap bahwa itu semua tidak benar. Sekalian mengalihkan pertanyaan Nathan.
Nathan mendongak, “Belum tahu berapa lama, yang jelas sampai urusan Papa selesai,” terangnya.
Mereka terdiam dalam pikiran masing-masing. Rasa takut untuk meninggalkan dan ditinggalkan yang hadir dalam hati mereka semakin mengikat dua hati yang saling bertaut. Meskipun untuk mengakuinya, Widya tidak punya keberanian seperti Nathan, lebih tepatnya hati Widya masih gamang.
...***...
Akhirnya Widya ditinggalin juga. Kira-kira bakalan rindu, nggak, dia?
Kasih komentarnya, ya 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Ani Aira
kan ditinggal kelamaan mikir sih Widya
2022-03-12
0
filaricsa
kalau sudah tiada baru terasa
2022-02-27
0
Sufisa ~ IG : Sufisa88
Nyesel ntar Lo, Wid
2022-02-19
0