...***...
Nathan kesal melihat Widya lebih perhatian ke Harsa.Ia pun meninggalkan area book fair tersebut menuju mobilnya. Masih dengan bibirnya yang menggerutu kesal, sebab Widya pulang diantar Harsa. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, Nathan pun sampai di depan rumahnya yang disambut oleh si kembar—Evan dan Ellen, serta mamanya.
"Bang Nath, kenapa, sih, wajahnya ditekuk begitu? Kayak dompet tanggung bulan aja!" seru salah satu adik kembarnya—Ellen. Nathan hanya merespon dengan pandangan malas, merotasikan kedua bola matanya lalu menjawab bohong. Dia sudah mengira, ia pasti akan di-bully bila bercerita sejujurnya.
"Nggak ada apa-apa, sih. Capek doang. Secara, 'kan, Sentul itu lumayan jauh! Belum lagi macetnya," kilah Nathan.
"Yakin, nih, cuma macet doang? Nggak ada yang lain semisalnya ditinggal ama gebetan, gitu?" ceteluk Evan mengejek abang tampannya, diikuti oleh tawa mengejek pula dari adik kembarnya yang perempuan.
"Hush! Nggak boleh gitu sama abang!" hardik Liana.
Nathan berdecak, "Tau, nih. Emang ada apaan, sih? Kepo banget!" Kedua matanya melotot ke arah kedua adiknya bergantian. "Dah, ah, masuk dulu, mau mandi. Lengket banget, nih, badan!" Nathan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, tetapi Liana memanggilnya lagi. Membuat langkahnya pun jadi terhenti.
"Bang, kenapa? Bete banget, ya? Sampai mama nggak disapa," tanya Liana merasa aneh dengan sikap anaknya. “Orang pulang dari acara book fair itu senang. Ini pulang-pulang malah kayak koran kusut saja mukanya.”
"Ih, Mama kenapa, sih? Kok, ngomongnya gitu banget. Mau ikutan ngeledekin Nathan? Segala ngatain anaknya sendiri kayak koran kusut!” Tanpa berbalik badan Nathan menanggapi pertanyaan mamanya dengan nada ketus.
“Lah, emang iya, toh! Kok, kamu ngomongnya ketus gitu sama mama?"
Nathan menghela napasnya kasar, tubuhnya berbalik menghadap Liana. Kedua bahunya melemas seraya menatap mamanya dengan tatapan menyesal. Ia yang kesal dengan kedekatan Harsa dan Widya, malah melampiaskannya kepada keluarganya.
"Sorry, Ma! Nathan nggak apa-apa, kok. Beneran cuma capek," sesal Nathan dengan nada lebih lembut. Senyuman tipis ia sematkan di bibirnya, sebagai tanda jika dia baik-baik saja.
"Ehm ... ya sudah, kalau nggak ada apa-apa." Liana membalas senyuman Nathan, "sana masuk! Mandi, makan, terus istirahat, ya! Kamu lelah, kan?" perintah Liana penuh perhatian. Senyuman hangat masih setia menghiasi wajah cantiknya.
Nathan pun mengangguk, ia menuruti perkataan mamanya. Namun, sebelum berbalik badan dan pergi, lelaki bermata sipit itu melangkah menghampiri Liana, lalu memeluknya dengan erat. "Thank's, Mam!" ucapnya lirih. Liana hanya mengusap punggung Nathan dengan lembut, sebelum kemudian pelukan itu terurai kembali.
"Aku, kok, nggak dipeluk?" celoteh Ellen dengan bibir manyun.
"Aku juga mau dipeluk," timpal Evan tidak mau kalah.
Nathan mencebikkan bibirnya, tetapi senyuman usil terbit setelahnya. Ia merentangkan kedua tangannya, "Sini abang peluk!" ucapnya kepada kedua adiknya. Tanpa berpikir lama, mereka pun masuk ke dalam pelukan sang kakak.
Liana tersenyum senang, ia bahagia melihat anak-anaknya hidup rukun dan saling sayang.
***
Setelah mandi, makan, dan beristirahat sejenak. Nathan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Ia ingin menghubungi seseorang, yang katanya sahabat, tetapi rasa pacar. Siapa lagi kalau bukan Widya Putri Esmeralda. Gadis manis nan cantik jelita, yang sudah menjadi sahabatnya semenjak dari SMA.
Menekan nomor Widya, ia memulai panggilannya. Walaupun cukup lama diangkat di seberang sana.
"Hallo, Nath." Setelah menunggu sedikit lama akhirnya terdengar suara Widya. Nathan pun tersenyum, seolah suara itu menjadi menyuplai semangatnya yang sempat berkurang sebelumya.
"Malam, Sayang. Apa kabar? Kangen, deh!" celoteh Nathan sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Benda pipih yang menjadi perantara obrolan mereka masih menempel di telinganya.
"Apaan, sih, Nath? Nggak jelas banget, deh. Gue baru aja pulang abis ketemu lo, ya, kalau lo lupa!" balas Widya sedikit kesal.
"Widih ... ada yang marah. Santai aja kali, Yang! Nggak usah pake ngegas," ujar Nathan lalu tertawa.
Sekali lagi, Widya hanya bisa menghela napas panjang. Menyuplai oksigen sebanyak-banyaknya, untuk stok menghadapi seorang Nathan. "Ada apaan, sih? Udah malam juga, masih ganggu aja, lo! Memangnya lo nggak cape apa? Istirahat sana!" gerundel Widya.
Namun, ocehan Widya tersebut malah semakin membuat sikap konyol Nathan semakin menjadi. "Aciyeee ... udah mulai perhatian, nih!"
"Iih ... Nathan!" Widya semakin geram.
Nathan malah tertawa mendengar omelan Widya. Ia sama sekali tidak marah mendengar omelan Widya yang menurutnya lucu. “Aku kalau hubungin kamu, nggak ada capeknya. Cuma mau tanya aja, jam berapa sampai di rumah, Sayangku, Widya Putri Es—” Belum lengkap Nathan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba Widya menyela.
"Udah deh, Nath. Jangan panggil nama lengkap gue atau gue matiin, nih! Gue cape tau, Nath!"
"Napa, sih? Sewot terus kalau sama gue, coba kalau sama Harsa!" Nathan terdengar berdecak kesal. Kata-katanya terdengar lirih, hingga tidak terdengar oleh Widya.
"Lo ngomong apa, sih? Gue nggak denger."
"Udah lewat, nggak ada siaran ulang!"
"Nath!" Widya memberikan peringatan lagi ketika mendengar Nathan kembali berulah.
“Iya-iya. Bukan apa-apa, kok. Eh, selama perjalanan pulang tadi, ngapain aja sama Harsa?” tanya Nathan kepo. Ia merasa harus mengetahui Harsa mengantarkan Widya sampai rumah dengan tepat waktu atau malah memanfaatkannya, membawa Widya berkeliling sejenak sebelum kembali ke rumah. Bisa saja, ‘kan, Harsa memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan perhatian Widya kembali.
Terpaksa, Widya pun menceritakan selama perjalanan pulangnya dengan Harsa. Ia tidak bisa menolak permintaan Nathan, karena ia tahu laki-laki itu tidak berhenti jika keinginannya tidak dipenuhi. Widya menceritakan semuanya. Dari awal perjalanan dari Sentul sampai ke rumah Widya. Tidak tanggung-tanggung, ia juga menceritakan tentang hal-hal yang menurut Nathan menyebalkan. Sudah tentu membuat telinga Nathan panas ketika mendengarkannya.
Entah sengaja atau tidak, Widya bercerita tentang bagaimana perhatian Harsa kepadanya sewaktu di dalam mobil. Di situlah Nathan merasa Widya lebih bahagia dan menaruh perhatian juga ke Harsa. Perasaan itu muncul tiba-tiba. Entahlah, apa ia cemburu atau masih kesal dengan Harsa sebab telah banyak menggores luka di hati Widya. Sahabat yang menjadi tempatnya berkeluh kesah selama ini. Yang pasti, Nathan merasa sedih, karena sekarang Widya lebih dekat dengan Harsa.
Hingga akhirnya panggilan itu pun berakhir dengan persetujuan berdua. Berhubung hari sudah larut malam, dan besok mereka akan memulai kuliah. Panggilan itu menyisakan rasa kesal dan sesak di hati Nathan. Apalah daya, niat hati menghubungi Widya ingin menertalkan perasaannya, tetapi malah semakin memperkeruh saja.
***
Waktu pun berlalu begitu cepat. Widya dan Harsa semakin hari semakin dekat saja, membuat Nathan akhirnya bertanya kepada Widya.
"Widya, apa lo masih ada rasa sama Harsa?” tanya Nathan menghampiri Widya yang kebetulan ada di kantin.
"Apaan sih lo, Nat. Datang-datang nanya sembarangan!” kesal Widy mencebikkan bibirnya.
“Jawab gue, Wid!” pinta Nathan memaksa Widya menjawab pertanyaannya.
Meletakkan sendok ke mangkuk yang berisi bakso, Widya pun berkata, “Ya, nggak lah. Kenapa, sih, lo itu mikirnya sampai ke situ? Apa jangan-jangan, lo cemburu, ya, lihat gue dekat ama Harsa?” tanya Widya menatap Nathan.
Pertanyaan Widya membuat Nathan salah tingkah. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Please, Nath, jauhkan pikiran negatif, lo, ya! Gue itu sama Harsa hanya teman biasa aja, dan asal lo ingat, ya, Nat. Hati gue ini masih sakit dengan kenyataan kalo dia cuma mempermainkan perasaan gue waktu itu!” Widya menepuk-nepuk dadanya. Dengan mata memerah, Widya kembali berkata, “Sakit, Nat. Asal kamu tahu, hati ini ibarat kaca. Jika sudah hancur berkeping-keping akan susah menjadi utuh seperti sediakala. Dan walaupun bisa, akan terlihat berbekas. Gue, nggak bisa melupakan akan hal itu.”
Pengakuan Widya baru saja membuat Nathan tersenyum. Ia pun kembali meraih mangkuk bakso yang ada di hadapan Widya. Membujuk gadis itu kembali makan. Ia sudah merasa tenang dengan jawaban Widya. Menjelang sore mereka memutuskan kembali ke rumah kebetulan tidak ada jadwal kegiatan lagi yang harus diikuti.
...***...
Aciyeee ... udah mulai bertunas benih-benih cintanya Nathan.
Dilanjut besok, ya! Othornya mau menyiapkan diri dulu buat mendengar isi hati Nathan, terima atau jangan? 😅😅
Bye....
Jangan lupa tinggalkan jejak, kawan 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
LDR⃟ 😎
awal baca
2022-03-04
0
Ani Aira
" curhat dong thor" reader said
2022-02-15
0
Ani Aira
klo bener seperti itu kenapa kamu seolah memberi kesempatan sm Harsa
2022-02-15
0