...***...
Setelah kepergian Kartika, Nathan segera menuju ke ruang dosen. Ia ingat harus segera menyelesaikan tugasnya dengan salah satu dosen mata kuliah hari ini juga. Setelah hampir tiga puluh menit berada di ruang dosen, akhirnya ia bisa bernapas lega, semua tugasnya bisa diterima oleh sang dosen.
Sebelum beranjak pulang, ia berniat menelepon Widya untuk mengajaknya pulang bersama. Senyumnya mengembang mengingat wajah manis Widya. Mungkin dia rindu, karena sejak tadi pagi ia tidak ada waktu berduaan dengan Widya. Lelaki itu terlalu sibuk menyelesaikan beberapa tugas dari dosen.
Belum sempat ia menekan nomor Widya di ponselnya, ia kembali melihat pemandangan yang membuatnya geram. Lagi-lagi Harsa berhasil mencuri start darinya. Dari kejauhan ia melihat Harsa membukakan pintu mobil untuk Widya.
"Aaargh ... brengsek!" Nathan mengacak rambutnya frustrasi. "Lo kenapa malah pulang bareng Harsa, sih, Wid? Lo nggak bisa dengerin batin gue apa, 'kan dari tadi gue udah bilang mau ajak lo pulang bareng, dalam hati gue tapi." Nathan tersenyum miris, ia seolah menertawakan kebodohannya.
"Woy ... lo nggak sakit, 'kan, Nath?" Tiba-tiba Zakir menepuk bahu Nathan, membuat Nathan berjingkat kaget. Hampir saja ponsel yang berlogo apel separuh di genggamannya terlepas.
"Brengsek lo, Zak! Hampir saja ponsel gue jadi korban," gerutu Nathan sambil memukul kepala Zakir.
Zakir yang melihat muka Nathan yang seperti anak ayam yang kehilangan induknya, malah semakin tertawa terpingkal, "Lo kenapa? Muka lo persis kayak baju gue yang baru diangkat dari jemuran, kusut banget gitu." Zakir menghentikan tawanya, lalu memasang wajah serius. "Gue liat dari tadi lo ngomong sendiri, jangan-jangan lo stres, ya, Nath?" Zakir menempelkan punggung tangannya ke dahi Nathan, lantas melanjutkan tawanya yang sempat ia tahan. Ia tidak bisa menahan tawanya lagi ketika melihat mimik wajah Nathan yang terlihat seperti orang sawan.
"Resek, lo! Udah, ah, gue duluan. Kelamaan sama lo di sini takut lo jatuh cinta sama gue," decak Nathan meninggalkan Zakir yang masih tertawa melihat tingkah Nathan yang menurutnya aneh. Walaupun Zakir masih penasaran, tetapi ia membiarkan sahabatnya untuk pergi.
"Dasar sableng! Hati-hati, Nath! Takutnya kesambet lo di gang depan." Zakir masih terus menggoda Nathan, ia berteriak setelah Nathan jauh memberi jarak. Membuat Nathan semakin kesal, ia tidak bisa apa-apa selain menghela napas kasar, lalu melanjutkan langkahnya tanpa berkomentar.
***
Setibanya di rumah, Nathan bisa bernapas lega, karena adik-adiknya belum pulang dari sekolah. Jadi, ia bisa segera masuk ke kamarnya tanpa harus meladeni keusilan adik-adiknya terlebih dahulu.
Berharap bisa menghilangkan sedikit penat dan kugusaran pikirannya sejak tadi, ia langsung membersihkan diri di kamar mandi. Setelah mandi dan merasa lebih segar, Nathan lekas mangambil ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu duduk di tepinya. Ia ingin menghubungi Widya, entah apa yang dirasakannya saat ini. Ia masih bingung mendeskripsikannya.
Setelah mengambil ponselnya, niatnya terhenti, ia urungkan menelepon Widya. Ia kembali memikirkan perkataan Kartika tadi di kampus. "Apa iya gue ada rasa sama lo, Wid?" gumamnya.
Nathan melihat galeri fotonya, di sana banyak foto-foto kebersamaannya bersama Widya. Ia tersenyum melihat wajah manis Widya dan mengingat semua tingkah konyolnya bersama Widya. "Masa, sih, gue jatuh cinta sama lo?" batin Nathan lagi. Sambil tersenyum ia menggelengkan kepalanya. "Ah, nggak mungkinlah! Tika mana tahu apa itu jatuh cinta, dia sendiri aja jomlo." Nathan terkekeh pelan, mencoba menepis perasaannya.
Nathan masih mencoba mengabaikan ucapan Kartika. Ia lekas menelepon Widya. Baru sekali nada dering panggilan terdengar, suara yang ia nantikan langsung menyambar di seberang sana.
"Hallo, Assalamualaikum. Lo kemana aja, sih, Nath? Seharian ngilang nggak ada kabar, gue kira lo kabur ke Singapura lagi. Lo nggak sakit, 'kan? Lo baik-baik aja, 'kan? Gimana tugas lo tadi, udah beres semua, 'kan?" Widya mencecar pertanyaan tanpa jeda, membuat Nathan tidak bisa menahan tawanya, ia membayangkan betapa paniknya muka Widya saat berbicara seperti itu.
"Aduh, Sayang. Pelan-pelan, dong, ngomongnya! Kalau mau ngasih pertanyaan itu satu-satu! Sabar, sabar! Abang Nathan nggak akan kemana-mana, kok. Alhamdulillah masih sehat wal'afiat ini," kekeh Nathan, "eh, iya ... waalaikumsalam. Sampai lupa, 'kan, aku jawab salamnya. ups ... gue maksudnya," sambung Nathan sedikit gugup, "Lo sih, Wid, nyerocos terus. Gue jadi lupa, 'kan, pertanyaannya apa aja tadi, gue harus jawab apa dulu?" Nathan memejamkan kedua matanya sejenak, berusaha mengalihkan rasa gugupnya. Ia merasa heran kenapa dirinya bisa segugup itu ketika menelepon Widya. Ada apa dengan dirinya? Bukankah selama ini sudah terbiasa melakukan panggilan telepon dengan gadis itu?
Widya tertawa mendengar ocehan Nathan, ia lega bisa mendengar suara Nathan. Jujur ia memang khawatir, karena biasanya Nathan selalu usil kepadanya. Namun, untuk hari ini di kampus, sejak jam mata kuliah terakhir selesai, ia tidak melihat Nathan. Makanya ia memilih untuk makan di kantin bersama Harsa. Saat Harsa mengajaknya pulang bersama, ia tidak menolaknya karena tadi Karin dan Kartika bilang kalau mereka akan pulang telat. Keduanya masih ada tugas dari salah satu dosen juga. Widya mengira Nathan juga sudah pulang karena tidak melihatnya sejak tadi.
"Kok diem, sih, Sayang? Kenapa, lo kangen sama gue, ya?" Suara Nathan membuyarkan lamunan Widya.
"Ih ... apaan sih, lo, Nath, nyebelin banget, deh!" sanggah Widya. "Ya udah, terus lo nelepon gue sekarang mau ngomong apa?" tanya Widya ketus, ia jengkel karena Nathan selalu saja jahil memanggilnya 'sayang' padahal mereka hanya sebatas sahabat.
"Galak banget, sih, Sayang! Gue tahu, kok, rindu itu berat makanya jangan ditahan, dong!" Bukannya berhenti, Nathan malah semakin menggoda Widya.
"Apa, sih! Gue tutup nih, teleponnya." Widya berdecak kesal.
"Eh, eh ... bentar, dong! Gitu aja ngambek. Besok gue jemput lo, ya! Besok ada kelas pagi, 'kan, kita?" sahut Nathan.
"Nggak bisa, Nath. Besok gue udah janji mau bareng Harsa," jawab Widya.
"Lho, kok, bareng Harsa lagi, sih, Wid? 'Kan, tadi lo udah pulang bareng sama dia. Kenapa jadi keterusan, sih? Gue, 'kan, udah bilang jangan deket-deket sama Harsa lagi! Nanti dia salah paham, kalau dia suka sama lo lagi gimana?" Suara Nathan terdengar penuh intimidasi.
"Kok, lo tahu gue tadi pulang bareng Harsa, Nath? Bukannya tadi lo udah pulang duluan, ya?" tanya Widya.
"Gue belum pulang, tadinya mau ngajak lo bareng, tapi Harsa udah nyuri start duluan. Lo, sih, mau aja diajak bareng dia. Kenapa nggak nungguin gue aja tadi?" Nathan masih emosi mengingat kejadian tadi di kampus.
"Lah, lo malah nyalahin gue, sih. Mana gue tahu kalau lo masih di kampus tadi, elonya ngilang—"
"Widya ...." Terdengar teriakan ibunya Widya dari luar kamar.
"Udah, ah! Sampai ketemu besok di kampus, ya. Gue dipanggil bunda, tuh. Assalamualaikum." Widya menutup sambungan teleponnya tanpa menunggu balasan dari Nathan. Membuat Nathan sontak menarik ponselnya dari telinganya, lalu menatapnya heran.
"Waalaikumsalam. Gimana, sih, main tutup aja! 'Kan, gue yang nelepon, Wid," gerutu Nathan walaupun tidak terdengar oleh Widya. Ia sangat kesal, merasa diabaikan oleh Widya.
"Sial!" Lagi-lagi Nathan mengumpat dalam hati, niatnya menelepon Widya agar sedikit mengurangi kegundahan hatinya ternyata malah semakin membuat dirinya dilema.
"Pulang sama Harsa, makan sama Harsa berangkat di jemput Harsa. Lo gimana, sih, Wid?! Nanti kalau Harsa deketin lo lagi gimana? Lo mau Harsa nyakitin lo lagi? Arghh ... brengsek!" Nathan mengepalkan tangannya, ingin sekali ia melampiaskan kekesalannya, tetapi pada siapa? Entahlah, ia semakin bingung dengan perasaannya. Dan akhirnya, hanya kasur yang tidak bersalah yang terpaksa jadi pelampiasan bogem mentahnya.
***
Di kampus, Nathan yang baru turun dari mobilnya disuguhkan dengan pemandangan yang membuat hatinya makin tidak baik-baik saja.
Saat melihat Harsa yang berjalan beriringan dengan Widya sambil sesekali mereka tertawa bersama, Harsa yang juga sering mengusap kepala Widya. Widya yang tidak menolak perlakuan Harsa, membuat Nathan benar-benar tidak tahan lagi.
Rahangnya mengeras menahan amarah. Ia tidak suka melihat kedekatan Widya dan Harsa. Cemburu? Mungkin itulah yang ia rasakan sekarang, tetapi kenapa ia harus cemburu? Ia bukan siapa-siapanya Widya. Nathan mengusap wajahnya kasar, emosinya tertekan oleh perasaan yang tidak bisa ia artikan.
Karin dan Kartika datang bersamaan dengan Zakir dan Edo. Nathan mencoba bersikap sebiasa mungkin, ia tak ingin di ejek lagi oleh Zakir.
Prediksinya salah ternyata, Kartika yang memang sudah mengamatinya dari tadi langsung menghampirinya dan berkata, "Makanya kalau cinta itu bilang, nanti kalau kelamaan mikir, terus Harsa maju duluan kelar hidup lo!"
Seketika Zakir, Edo, dan Karin beralih menatap Nathan seolah menuntut penjelasan.
"Lo suka sama Widya, Nath?" tanya Zakir.
"Wah, saingan lo berat! Sang mantan, Bro." Edo berkata sambil memegang bahu Nathan.
"Jadi beneran, ya, lo suka sama Widya, Nath?" Karin memastikan juga.
"Ngomong apa, sih? Jangan dengerin! Tika emang suka ember. Masuk, yuk! Tumben kalian barengan, ada kelas pagi juga?" Nathan mencoba mengelak sambil mengajak para sahabatnya segera meninggalkan parkiran.
"Enak aja, lo bilang gue ember, awas aja kalau sampai lo beneran jadian sama Widya! Lo harus traktir gue makan menu kesukaan gue di cafe Hamber selama sebulan! Kalian saksinya, ya!" Kartika berucap sambil menunjuk jari ke arah para sahabatnya satu persatu.
Ketiga sahabatnya kompak memberikan tanda jempol tanda setuju, lalu tergelak bersama.
Nathan yang merasa tersudut, hanya tersenyum kecut dan berlalu pergi mendahului teman-temannya. Ia bingung dengan perasaannya sendiri.
Setelah mata kuliah hari itu selesai, Nathan yang tidak bisa mengontrol kecemburuan menghampiri Harsa, saat Harsa berjalan sendiri di koridor perpustakaan. "Sa, lo bisa nggak, sih, jangan deket-deket sama Widya?! Lo harusnya sadar, lo udah pernah nyakitin dia, jangan PHP-in Widya lagi!" Nathan berkata tanpa mau berbasa-basi.
Harsa berhenti melangkah, tubuhnya berbalik menghadap Nathan. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman miring di sana. "Kenapa? Lo cemburu? Takut bersaing sama gue?" Harsa berbicara dengan sarkas. Senyuman smirks masih membingkai di bibirnya seperti meremehkan Nathan.
"Kita udah sama-sama dewasa, Nath. Udah bukan Anak SMA lagi. Gue tahu, lo suka juga, 'kan sama Widya? Jadi, mari bersaing secara sehat!" Harsa berkata lagi sembari menepuk-nepuk bahu Nathan, kemudian berlalu pergi meninggalkannya.
Nathan tercenung seketika, ucapan Harsa seolah menusuk hatinya. Sikapnya yang uring-uringan melihat kedekatan Widya dan Harsa layaknya orang gila, bodoh, dan tidak masuk akal. Membuat Nathan semakin dilanda kebingungan.
...***...
Othor: Siapkan nyali, ya. Kayaknya besok Nathan dan Harsa bakalan berduel.
Tizeen: Duel rebutin Widya?🤔
Othor: Bukan.
Tizeen: Terus 🙄
Othor: Duel rebutin othornya 😎
Tizeen: Fix, gue nggak baca bab besok.
Othor: Heh! 🙄
Jangan dengerin tizeen, ya! Ikuti terus kisah mereka, tinggalkan jejak sama komentarnya juga, sama gift seikhlasnya. Makasih 🥰🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Ay_katsuki
kudu diiling-iling iki
2022-03-02
1
Ani Aira
seru nih klo sampe mereka baku hantam
2022-02-27
1
Ani Aira
dalem hati mah ngomong sendiri Nath aneh aja sih
2022-02-27
0