Abimanyu mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah akhirnya mereka berhasil keluar dari kampus tanpa ada yang tahu, mereka bisa memecah keramaian jalan raya dengan tenang.
Jalanan cukup ramai saat ini, karena memasuki jam makan siang. Abimanyu dan Caca harus sedikit bersabar dengan jalanan yang lumayan macet.
“Iya, Bun. Ini lagi di jalan,” ucap Abimanyu. Nabila kembali menghubunginya, karena ia tak kunjung datang.
“Macet, Bun. Iya, tinggal dikit lagi nyampe,” ucapnya lagi sebelum menutup sambungan teleponnya.
Abimanyu melepaskan earphones dari telinganya. Meletakkannya kembali ke tempat semula.
“Bunda?” tanya Caca memastikan.
“Iya. Ya Tuhan, cerewet banget nyokap gue,” gerutu Abimanyu. Sang ibu sudah menghubunginya beberapa kali siang ini. Wanita itu ingin memastikan bahwa ia dan Caca benar-benar pergi bersama.
“Heh, nggak boleh ngomong gitu! Beruntung lo masih bisa diomelin bunda. Coba kalau bunda udah nggak ada?”
“Amit-amit. Ati-ati lo kalau ngomong!” Abimanyu melirik sinis pada istrinya. Ia paling tidak suka pembahasan seperti ini.
“Yah, dibilangin juga,” timpal gadis itu.
Tak lama kemudian mereka sampai di rumah sakit. Abimanyu memarkirkan mobilnya dengan benar, kemudian bergegas menuju ruang rawat kakek Caca.
Mereka berdua berjalan beriringan tanpa ada satu pun yang bersuara. Sesekali Abimanyu menatap layar ponselnya, membalas pesan Nabila yang memastikan mereka sudah berada di sana.
“Ca, Ayah Banyu ngajak makan siang bareng setelah jenguk opa,” ucap Abimanyu saat mereka berdua berada dalam lift.
“Haiss, ayah ada-ada aja deh. Orang opa lagi sakit juga malah ngajak makan siang,” gerutu Caca.
“Emang kalau keluarga kita sakit kita nggak boleh makan siang?” tanya Abimanyu.
“Ya, nggak gitu, Bi.” Caca memutar bola matanya malas.
“Lah, ya, makanya. Berarti nggak ada salahnya Ayah Banyu ngajak makan siang,” balas Abimanyu membuat Caca berdecak kesal.
“Nanti di depan opa pura-pura mesra nggak?”
Caca melirik sinis pada suaminya. “Nggak usah modus, lo,” tuduhnya membuat Abimanyu tertawa.
“Ya, siapa tahu,” balas Abimanyu sambil terkekeh dan dibalas dengkusan oleh Caca.
Caca dan Abimanyu masuk ke ruang rawat sang kakek. Mereka berdua tak menampakkan kemesraan, tetapi juga tak menampakkan ketidakakraban mereka.
Di sana hanya ada kedua orang tua Caca, neneknya, dan juga orang tua Abimanyu. Saudara sang ayah yang lain sudah berkunjung sejak semalam. Hanya ayah Caca saja yang baru berkunjung siang ini. Adik-adik Caca pun sepertinya juga belum menjenguk sang kakek. Mungkin nanti sore, gumam Caca.
Caca dan Abimanyu menyalami kedua orang tua mereka masing-masing dan tak lupa kakek dan nenek Caca.
“Baru pulang kalian?” tanya Banyu. Menatap bergantian pada anak dan menantunya.
“Bolos, Yah,” jawab Caca jujur apa adanya.
“Kenapa bolos segala?” Kali ini nenek Caca yang bertanya.
“Males, Oma. Kangen ayah juga. Mumpung sama-sama di sini, jadi aku cari kesempatan untuk ketemu ayah,” ujar Caca memberi alasan. Gadis itu tersenyum manis pada sang nenek, kemudian beralih pada kakeknya yang tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit.
“Opa abis minum es, ya? Atau makan coklat, makanya bisa masuk rumah sakit lagi,” tuduh Caca pada sang kakek.
Pria berusia lanjut itu terkekeh mendengar tuduhan cucunya yang memang hampir benar.
“Mana suami kamu?”
Caca mengerucutkan bibirnya. Ia sebal karena sang kakek bukannya menjawab pertanyaannya malah mencari suaminya.
“Bi, dicari opa,” panggil Caca pada suaminya dengan ketus.
Abimanyu yang tengah duduk bersama kedua orang tuanya pun mendekat. Ia berdiri di samping Caca yang duduk di samping ranjang sang kakek.
“Ada apa, Opa?” tanya pemuda itu dengan sopan.
“Tidak, Nak. Aku hanya ingin melihat seperti apa suami cucu cerewetku ini,” ucap pria itu diselingi tawa renyah. Namun, sedetik kemudian ia terbatuk.
“Opa bandel banget sih, jangan banyak bicara dulu, Opa. Nanti Opa nggak sembuh-sembuh. Kalau Opa nggak cepet sembuh, siapa yang bakal ngasih aku uang lagi?”
Opa Liyas semakin tertawa mendengar penuturan Caca yang terkesan seperti blak-blakan. Namun, ia sangat menyayangi cucunya itu, melebihi siapa pun.
“Yang kamu ingat hanya uang saja. Apa usaha ayahmu bangkrut dan kamu tidak lagi bekerja?” Pria tua itu menimpali ucapan Caca dengan sama bercandanya.
“Ayah ucapan itu doa. Hati-hati dengan ucapan Ayah.”
Opa Liyas tersenyum melihat putranya yang kesal. Banyu memang paling sensitif jika ada yang membicarakan masalah usahanya. Karena Banyu mendirikan kafe dan restoran itu tanpa bantuan siapa pun. Opa Liyas dulu hanya membantu meminjami modal yang kini sudah dikembalikan oleh Banyu.
“Opa kalau ngomong jangan sembarangan. Itu kerjaan aku, kalau sampai bangkrut bisa miskin mendadak aku,” ucap Caca hampir sama seperti ayahnya. Membuat sang nenek tertawa kecil.
“Apa Caca juga seperti ini di rumah kalian?” tanya nenek Caca pada Arjuna dan Nabila.
Pasutri itu tersenyum. Mereka menggeleng dengan kompak dan Nabila menjawab, “Tidak, Caca itu gadis baik di keluarga kami. Dia anak yang penurut. Dia juga sering membantu saya memasak untuk sarapan. Ya, meskipun terkadang bangun kesiangan.”
“Nah, sudah dengar kan? Aku itu gadis penurut,” ujar Caca memuji dirinya sendiri. Ia menepuk dadanya beberapa kali dengan senyum jemawa.
“Nak Abi. Kamu yang sabar, ya, menghadapi Caca, dia memang sedikit menyebalkan seperti itu,” ucap Opa Liyas sembari menatap Abimanyu. Pria itu memasang senyumnya, seolah tengah memberitahu Abi apa yang dia ucapkan hanya sebuah gurauan semata.
Abimanyu dapat menangkap apa yang kakek Caca katakan bukan hal yang sebenarnya. Ia bisa merasakan rasa sayang yang mereka miliki satu sama lain dengan saling melemparkan candaan.
Meskipun Caca terdengar sedikit kurang ajar ketika berbicara dengan kakeknya tadi, tetapi Abimanyu tahu semua itu tidak benar-benar dari hati Caca. Gadis itu hanya ingin menghibur kakeknya saja.
“Ca, jadi istri yang baik untuk suami kamu. Jangan terlalu sering membantah Abimanyu. Dari sifat kamu itu, Opa yakin kamu sering tidak mendengarkan atau bahkan tidak acuh dengan suami kamu,” ucap Opa Liyas tiba-tiba. Ia menggenggam tangan Caca dengan lembut. Mengusapnya perlahan, seolah mengirimkan seluruh kasih sayangnya pada gadis itu.
“Opa tahu kamu mungkin masih mencintai Dean. Memang sulit melupakan seseorang yang kita cintai. Tapi, Ca, kamu harus belajar untuk melupakan pacar kamu itu. Di sini ada Abimanyu yang lebih pantas mendapatkan cinta kamu,” nasihat Opa Liyas.
Hening, tak ada yang bersuara di sana, membuat suara Opa Liyas terdengar sangat jelas di telinga semua orang yang ada di ruangan itu.
Caca sendiri hanya bisa menundukkan kepala. Tanpa bisa menjawab atau pun membantah ucapan kakeknya.
“Abi,”
Abimanyu kembali fokus pada sang kakek ketika namanya dipanggil.
“Opa harap kamu bisa menerima Caca dengan sepenuh hati. Semoga kamu diberi kesabaran selama hidup bersama Caca.”
Pemuda itu mengangguk saja saat nasihat dari pria berusia lanjut itu beralih padanya.
“Udah, ih. Kenapa jadi rasanya aku yang dipojokin?” Caca mencebik.
Semua kembali terkekeh mendengar kalimat Caca.
“Yah, kami mau makan siang dulu. Nanti aku ke sini lagi,” pamit Banyu yang diangguki oleh Opa Liyas.
***
Jangan lupa like dan komen❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
umi masumah
up lagi yuk.....
2022-04-04
0
Ully Sihotang
lanjut dong kak. penasaran dgn abi dan caca
2022-04-04
0
Aysha Luthvi
semangat up ny kak👍😘💪
2022-04-03
0