Caca masih menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. Ia masih belum bisa menguasai dirinya sendiri saat ini.
Beberapa kali Caca menghela napas, untuk menetralkan tangisnya. Ia berusaha untuk mengusir rasa sesak dalam hatinya.
Banyak pertanyaan yang masih menggantung dalam benaknya. Kenapa? Ke mana? Bagaimana?. Tak pernah sekali pun Caca berpikir hingga jauh seperti ini.
Apa salahnya?
Pertanyaan itu tergambar jelas dalam otaknya. Membawa dirinya pada memori masa lalu, tentang kenangannya bersama sang kekasih, Dean.
Sama sekali tak ada kenangan buruk tentang hubungannya dengan Dean. Satu kali pun tak pernah ada pertengkaran di antaranya dan Dean. Pria itu selalu sabar dalam menghadapi tingkah lakunya.
Sesaat Caca mendengar pintu kamar tersebut terbuka. Ia masih berharap Dean yang berada di sana, sehingga ia bisa meyakinkan diri, bahwa semua ini hanya mimpi. Namun, harapan tetap harapan. Nyatanya, saat ini bukan Dean yang melangkah mendekati Caca, melainkan sosok yang menggantikan Dean untuk menikahi gadis itu.
Abimanyu Lakeswara
Memaksa tubuhnya untuk berdiri. Caca hampir saja terhuyung ke belakang saat kepalanya mendadak pusing. Terlalu lama menangis rupanya menghabiskan seluruh tenaganya.
“Ngapain lo ke sini?” Caca menatap tajam pria muda yang tengah berdiri di ambang pintu.
Pria berperawakan tinggi itu menggaruk keningnya. Langkahnya pelan masuk ke dalam kamar pengantin tersebut, setelah menutup pintu.
“Well, gue sebenarnya juga nggak mau berada di sini,” jawab Abimanyu seraya memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
“Dan lo harusnya terima kasih ke gue, karena udah nyelametin nama baik lo dan keluarga lo, bukan malah marah-marah sama gue,” ucap Abimanyu lagi.
Ia melangkah mendekati Caca. Mengamati gadis itu dari atas hingga bawah. Bibirnya tersenyum sinis melihat penampilan Caca yang sangat berantakan.
Pria muda berusia dua puluh satu tahun itu berdiri tepat di depan Caca. Ada gelak tawa yang sangat sulit ia sembunyikan saat bertatapan dengan gadis itu.
Gadis yang selalu menjadi orang nomor satu saat membantah perintahnya di kampus. Adik tingkatnya yang tak pernah satu pemikiran dengannya. Kini menjadi istrinya. Sungguh sial! Batin Abi.
“Mau apa lo deket-deket gue?” Caca mendelik tajam. Langkahnya mundur teratur hingga membentur sisi ranjang.
Abimanyu terkekeh melihat gadis itu begitu waspada padanya. “Ternyata cewek kayak lo bisa nangis juga,” ujar Abimanyu dengan nada mengejek.
Netra Caca melebar seketika. Ia memang tidak pernah memperlihatkan sisi lemahnya pada siapa pun, kecuali keluarganya sendiri. Terlebih pada seseorang di depannya ini. Caca selalu memasang benteng pertahanan untuk melawan sosok Abimanyu di kampusnya.
“Sebenarnya, apa tujuan lo ke sini? Dan ....” Caca memperhatikan pintu yang kembali tertutup. “Gimana cara lo masuk ke sini? Bukannya pintu itu dikunci!” tanyanya seraya menyipitkan mata.
Abimanyu hanya mengedikkan bahunya sekilas, kemudian menjawab, “Hotel ini milik perusahaan bokap gue. Secara nggak langsung, gue bisa dapetin kunci akses seluruh kamar hotel ini.”
Abimanyu memindai setiap sudut kamar tersebut. Kamar tersebut dihias sedemikian rupa untuk acara pernikahan yang ternyata berakhir sia-sia.
Tak luput dari tatapan Abimanyu, dua buah serbet dibentuk seperti angsa sedang berhadapan. Dan beberapa kelopak mawar bertabur secara acak di atas tempat tidur. Abimanyu begitu geli menatapnya.
Sebenarnya apa fungsi kelopak mawar itu diletakkan di sana? Bukankah nantinya bunga itu akan masuk ke dalam tempat sampah?, batin Abimanyu. Kepalanya menggeleng tak mengerti dengan cara pikir mereka yang menghias kamar pengantin seperti ini.
“Apa tujuan lo ke sini, Bi?” ulang Caca membuat fokus Abimanyu kembali pada gadis itu.
“Gue cuma disuruh sama orang tua gue untuk meriksa keadaan, lo. Mereka takut lo ....” Abimanyu menggerakkan tangan kanannya, membentuk garis lurus di depan leher.
“What? Gila kali gue bunuh diri!” seru Caca tak terima. Matanya masih menatap tajam pada Abimanyu.
“Karena lo udah lihat gimana keadaan gue. Sekarang gue minta, lo pergi dari sini, karena gue muak lihat muka, lo,” usir Caca sambil menunjuk Abimanyu. Ia mendorong pelan bahu Abimanyu ke belakang, meskipun pria itu tetap bergeming di tempatnya.
“Lo nggak perlu usir gue kayak gitu!” Abimanyu terlihat tidak terima dengan telunjuk Caca yang menempel pada tubuhnya.
“Pada dasarnya pun, gue nggak mau lihat muka lo, apalagi nikah sama lo,” papar Abimanyu sembari menepis tangan Caca dari bahunya.
“Kalau bukan karena nyokap lo, gue juga nggak sudi nikah sama cewek kayak lo,” ucapnya kemudian membalik tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Namun, saat akan membuka pintu tersebut, langkah Abimanyu berhenti sejenak.
“Kata nyokap, lo, satu jam lagi ada orang-orang yang akan ke sini dan ngerias lo lagi. Jadi, sebelum lo malu dengan penampilan lo saat ini, lo harus segera bersihin diri lo,” katanya tanpa menatap Caca.
Caca termangu menatap kepergian Abimanyu. Ia menggeram kesal akan apa yang tengah terjadi padanya.
“Aarrgghh,”
Sedetik kemudian ia kembali teringat pada sang kekasih.
“Kamu ke mana, De?” gumam Caca sebelum kembali menitikkan air mata.
***
Seperti apa yang Abimanyu sampaikan tadi. Satu jam setelah pria itu keluar dari kamar tersebut, beberapa orang wanita memasuki kamar pengantin baru itu.
Caca kembali dirias sedemikian rupa. Rambutnya yang sempat acak-acakkan kini kembali tertata rapi. Rambutnya digelung, menyisakan beberapa anak rambut yang membuatnya terkesan lebih cantik. Gaun selutut berwarna gold membalut tubuhnya, menambah kadar kecantikan Caca.
Caca menatap kosong pada cermin di hadapannya. Ia meratapi nasibnya sendiri. Semua yang terjadi hari ini tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kesalahan apa yang ia lakukan di masa lalu hingga membawanya kepada nasib yang tak jelas ini.
Abimanyu?
Cih, pria yang kata ayahnya lebih pantas untuk Caca daripada Dean. Nyatanya pria itu tidak sungguh-sungguh rela membantu keluarganya.
Pria yang sejak tadi dibanggakan oleh sang ayah, nyatanya adalah satu-satunya pria yang selalu menyanggah pendapatnya saat di kampus. Satu-satunya pria yang tak pernah melirik Caca.
Seorang wanita masuk ke dalam kamar tersebut. Ia menghampiri putrinya yang hampir selesai dirias. Wanita itu menyentuh bahu sang putri dan membuat gadis itu terperanjat.
“Mama?”
Jingga mengode para perias itu untuk keluar. Ia ingin berbicara empat mata dengan putri sulungnya.
“Kak, Kamu marah dengan Mama dan ayah?” tanya Jingga dengan suara lembut. Wanita yang berprofesi sebagai dokter anak itu menatap putrinya dengan hangat, melalui pantulan cermin.
Caca menggeleng. Tak sanggup rasanya Caca menatap mata teduh sang ibu. Mata wanita itu selalu berhasil membuat Caca tak tega.
“Kak, ayah dan Mama tidak masalah kalau Kakak marah. Mama minta maaf sudah memberikan keputusan yang tergesa-gesa,” ucap Jingga seraya menurunkan tubuhnya. Wanita itu menggenggam tangan putrinya dengan lembut.
“Tapi, kamu juga harus tahu. Abimanyu adalah pria baik. Dia pasti bisa menjaga kamu. Dia pasti juga bisa menjadi suami yang baik untuk kamu, Sayang.”
Mata Caca berkaca-kaca. Tak bisa rasanya Caca membendung kesedihannya saat di depan ibu. Ia merengkuh tubuh ibunya, membenamkan wajahnya pada tubuh wanita itu.
“Ma, tapi aku nggak suka sama Abi,” ucap Caca.
Jingga mengusap punggung putrinya dengan lembut. Berusaha menenangkan gadis itu dengan sentuhannya.
“Kak, Mama tahu ini berat untuk kamu. Tapi, kamu harus berusaha untuk menjalaninya. Jangan terus bersedih. Kamu pasti bisa, kamu bukan perempuan cengeng seperti biasanya. Kamu putri Mama yang paling kuat.” Jingga masih setia membelai putrinya itu. Tentu rasa kasihan itu menyelimuti benaknya. Namun, ia juga tak bisa apa-apa.
Jingga juga merasa kecewa dengan hilangnya Dean secara tiba-tiba. Memang tidak bisa dipastikan ke mana pria itu pergi. Di mana pria itu berada saat ini. Tapi, perasaannya sebagai ibu mengatakan bahwa pria itu tidak sungguh-sungguh dengan putrinya, membuat Jingga menerima keputusan menikahkan Caca dengan Abimanyu.
Sosok pria yang dulu pernah ia selamatkan nyawanya. Sosok yang sangat ia kenal sejak pria itu masih kecil. Jingga sangat mengenal Abimanyu. Pria itu bukan pria yang suka neko-neko. Dan Jingga sangat setuju jika putrinya menikah dengan Abimanyu.
“Terima, ya, Kak. Mama yakin suatu saat kalian bisa saling jatuh cinta.” Jingga menghela napas saat sang putri menggelengkan kepala.
Wanita itu melepaskan dekapan Caca. Ia mengusap pipi gadis itu dengan lembut.
“Udah nangisnya. Make up kamu jadi luntur, nih. Nanti dimarahin mbak-mbak MUA-nya,” goda Jingga membuat gadis itu mencebikkan bibirnya.
“Udah, ya, Mama tinggal dulu, kamu harus tampil cantik nanti,” ucap Jingga seraya membawa tubuhnya berdiri.
“Ma” Caca mencekal pergelangan tangan sang ibu.
“Boleh nggak sih, aku nggak keluar? Aku nggak mau sama Abi,” ucapnya dengan nada memelas.
Jingga hanya tersenyum, kemudian mengusap kepala gadis itu. Tanpa menjawab, Jingga beranjak dari kamar pengantin itu, meninggalkan putrinya sendiri.
Lagi-lagi Caca menghela napas. Ia mengepalkan tangannya kesal.
“Kenapa harus lo sih, Bi,” gumam Caca dengan raut muka kesal yang begitu kentara.
**
Di ruangan yang lain, Abimanyu juga sedang memohon kepada ibunya.
“Bun, bisa nggak sih, janji pernikahan dibatalkan?”
“Bi, kamu ini ngomong apa sih?” tanya Nabila–ibu Abimanyu, dengan mata memicing.
“Astaga, Bun. Aku nyesel nikah sama dia,” gumam Abimanyu, tapi masih bisa didengar oleh Nabila.
Wanita berusia empat puluh lima tahun itu menggeleng. Tak memedulikan suara merengek putra ke-tiganya itu. Ia sibuk menyiapkan tuxedo berwarna gold, yang harus dipakai Abimanyu setengah jam lagi.
Tak tahan mendengar gerutuan sang putra, Nabila memanggil pria itu dan menyuruhnya mendekat.
“Bun,” panggil Abimanyu dengan wajah memelas.
Nabila menghela napas. Ia tahu ini bukan keinginan Abimanyu. Tapi, putranya ini sendiri yang telah bersedia menggantikan posisi keponakannya sebagai mempelai pria calon menantu kakaknya.
Mengusap bahu sang putra dengan lembut. Nabila lantas menatap mata Abimanyu dengan kelembutan pula.
“Ini semua keputusan kamu. Kami semua hanya meminta tolong dan kamu bersedia.” Nabila membantu putranya memakaikan tuxedo tersebut pada tubuhnya.
“Bunda tidak suka, jika anak bunda melanggar ucapannya sendiri,” ucapnya sembari mengancingkan tuxedo tersebut.
“Lagi pula, Caca itu cantik. Bunda juga sempat kenal dengan orang tuanya ... bukannya kamu yang lebih kenal dengan Dokter Jingga? Seharusnya kamu lebih tahu, dong, bagaimana perangai keluarga mereka.”
Abimanyu memutar bola matanya malas. “Bunda nggak tahu aja, gimana si Caca itu kalau di kampus,” jawab Abimanyu sambil berdecak.
“Kalian satu kampus?”
Abimanyu mengangguk sebagai jawaban.
“Enak, dong, bisa bareng terus,” goda Nabila. Ia terkekeh saat mengambil sisir.
“Bi, meskipun kamu setengah hati menikah dengan Caca. Tapi, Bunda harap kamu bisa menjadi pemimpin keluarga yang bijak. Jangan hanya karena ego, kamu menelantarkan istri kamu, ya?” nasihat Nabila pada putranya.
Abimanyu tak bisa menjawab ucapan ibunya. Baginya semua itu sangat berat. Terlebih ia dan Caca tidak memiliki hubungan yang baik sejak dulu.
***
Jangan lupa like dan komen❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
❦ℝ𝕒𝕟𝕚❦🍇
yuhuuuu abi kenal ma caca..caca ingat ga ya abi 1 kampus 🙈🙈🙈
2022-03-30
0
Rahmalia Nurodin
semangat Thor.....
2022-01-23
1