Malam sudah sangat larut. Hari hampir berganti. Namun, gadis berkacamata yang tengah memandangi layar monitor di sebuah kamar masih belum bisa terlelap. Netranya sudah terlihat lelah. Namun, raganya belum jua diistirahatkan.
Pikiran gadis itu masih melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Saat ia tak sengaja melihat seseorang yang begitu ia tunggu.
“Dean?”
“Dean! Dean!”
Caca berlari mengejar sosok yang tak pernah hilang dari kepalanya. Di tengah keramaian pusat perbelanjaan, gadis itu memanggil nama sang kekasih yang seharusnya menikahinya beberapa waktu yang lalu.
“Dean,” panggil Caca lagi saat punggung pemuda itu semakin tertelan keramaian.
Malam itu di depan toko pakaian terkenal memang tengah membuka diskon besar-besaran, hingga masa mengerumuni tempat itu dan menghalangi pandangan Caca.
Berusaha menyibak keramaian manusia di sana, Caca kehilangan sosok yang ia kejar sejak tadi. Gadis itu luruh ke lantai, ia hampir saja menemukan kekasihnya, tetapi ternyata takdir berkata lain.
Teringat sesuatu. Gadis itu pun beranjak berdiri sebelum merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Ia menghubungi seseorang yang sejak kemarin dimintai bantuan.
“Ha-halo, Pak,” ucap Caca saat telepon itu tersambung.
“Pak, sa-sa-saya tadi melihat Dean di mal dekat kantor kakek. Tapi, saya tidak berhasil mengejarnya. A-apa Bapak sudah menemukan keberadaannya?” tanya gadis itu tergagap.
Memang sejak Dean hilang saat hari pernikahan itu, Caca meminta seorang untuk mencari keberadaan sang kekasih tanpa sepengetahuan ayahnya. Caca tahu, pria paruh baya itu tak akan suka jika ia melakukannya. Namun, Caca tak bisa tinggal diam dengan apa yang tengah menimpanya. Ia harus tahu bagaimana keadaan kekasihnya itu.
“Dean? Maaf, Nona. Kami belum menemukan keberadaan Dean hingga sekarang. Mungkin Nona salah orang,” jawab orang suruhan Caca itu.
“Tapi, Pak–”
“Tenang saja, Nona. Kami akan menemukan kekasih Anda secepatnya. Anda tenang saja,” ucap pria itu meyakinkan.
Caca hanya bisa mengangguk untuk mengiyakan penuturan pria itu. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu menutup sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket.
“Sebenarnya kamu di mana, De? Apa benar yang ayah katakan, bahwa kamu sengaja kabur dan tidak benar-benar ingin menikahiku?” gumam Caca dengan suara yang begitu lirih.
“Belum tidur, lo?”
Caca terenyak mendengar suara Abimanyu. Pria itu sudah berdiri di samping dirinya yang tengah duduk di lantai dengan laptop yang telah padam. Sepertinya Caca melamun cukup lama hingga tak menyadarinya.
Gadis itu menatap Abimanyu sekejap, kemudian menggeleng. Ia menyalakan kembali laptopnya untuk melanjutkan mengerjakan tugas.
“Udah malem, masih mau lanjut?” tanya pemuda itu seraya mendudukkan diri di sofa belakang Caca. Ia baru saja terjaga saat tidurnya terinterupsi oleh rasa ingin buang air kecil. Ketika keluar dari kamar mandi, Abimanyu mendapati sang istri tengah menatap kosong pada laptop yang telah padam.
“Belum selesai,” jawab Caca tak acuh. Ia kembali meluncurkan jarinya pada keyboard laptop dengan lincah.
“Itu materi buat sosialisasi kampus?” Abimanyu memindai layar laptop istrinya. Kemudian, ia lanjut bicara, “Udah, diselesain besok aja, Ca. Ini udah malem banget.”
Abimanyu merebut laptop istrinya dengan paksa. Lalu, mematikan laptop tersebut setelah menyimpan file yang baru saja dibuat oleh gadis itu.
“Bi–”
“Gue nggak mau ayah Banyu marahin gue gara-gara anak perempuannya begadang,” ucap pemuda itu seraya menyimpan laptop sang istri.
Abimanyu hendak kembali merebahkan diri, tetapi urung karena ia mengingat sesuatu.
“Ca, ponsel lo mati?” tanya Abimanyu sembari kembali mendudukkan diri.
Caca melihat ponselnya, kemudian menggeleng.
“Ayah Banyu tadi nanya kenapa lo nggak angkat telepon dia,” ujar Abimanyu jujur. Tadi, saat Caca baru pulang, ayah mertuanya menelepon dan menanyakan keberadaan Caca. Abimanyu pun menjelaskan bahwa gadis itu memang baru saja sampai di rumah dan tengah mandi. Setelah itu Banyu memutuskan sambungan telepon mereka setelah mengucapkan terima kasih.
“Enggak mati, cuma lagi gue silent,” jawab Caca tampak tak peduli. Ia segera merebahkan diri setelah Abimanyu tak bertanya lagi.
Abimanyu memandang aneh pada istrinya. Ia merasa ada yang janggal dengan sikap gadis itu, tetapi ia berusaha tak peduli. Pemuda itu lantas kembali melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda.
**
Hari telah berganti. Matahari telah terbit sangat tinggi. Namun, Caca masih menyelami mimpi. Gadis itu masih mengeratkan selimutnya saat alarm ponselnya berbunyi. Hingga pada dering ke sekian, gadis itu akhirnya bangun dan mematikan alarm tersebut.
Akhir pekan. Selalu membuat Caca merasa malas beranjak dari tempat tidur. Ia tak pernah bisa bangun pagi. Gadis itu menguap lebar sambil meregangkan tubuhnya. Tidur di sofa membuat seluruh badannya terasa sangat kaku. Gadis yang baru saja bangun itu tampak menyisir kamar dan ia merasa ada sesuatu yang aneh.
Abimanyu
Pemuda itu tak tampak di atas ranjangnya seperti yang ia lihat terakhir kali. Abimanyu yang biasanya tak bisa bangun pagi, pagi itu sudah pergi entah ke mana. Namun, Caca tak peduli dan bergegas ke kamar mandi.
“Baru bangun?” tanya Nabila, saat Caca baru saja masuk ke dapur.
Caca meringis, kemudian menggaruk tengkuknya yang terasa gatal secara mendadak.
“Maaf, ya, Bun. Aku kalau weekend suka telat bangunnya,” ucap gadis itu sedikit menyesal.
Nabila tersenyum. Ia memasukkan beberapa potong sayuran ke dalam panci berisi air mendidih, kemudian menjawab, “Enggak papa, Ca. Abi malah kebalikannya. Kalau weekend dia bisa bangun pagi, tapi kalau hari biasa ....” Nabila menggelengkan kepalanya. “Kamu tahu sendiri lah, ya,” lanjut wanita itu sambil terkekeh.
Caca ikut terkekeh seperti ibu mertuanya. Ia baru tahu, pemuda seperti Abimanyu tak bisa bangun pagi saat hari biasa. Padahal, pemuda itu terlihat selalu disiplin saat di kampus.
“Kamu mau masak sendiri atau ikut Bunda?” tanya Nabila menyentak lamunan Caca.
“Ikut Bunda aja, udah siang, males,” jawab gadis itu seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Sayur sop?” tanya Caca saat melihat olahan Nabila.
Nabila mengangguk. Kemudian meminta Caca untuk melanjutkan masakannya. Sementara wanita itu keluar dari dapur, karena ada panggilan dari telepon rumah.
“Kenapa setiap hari Bunda masak olahan nggak pedes?” tanya gadis itu saat sang ibu mertua telah kembali.
Nabila menoleh. “Kan Abimanyu nggak suka pedes. Jadi, setiap hari Bunda masak dua menu. Sekarang kan kamu selalu bantu masak, jadi Bunda tinggal masak untuk suami kamu aja,” jelas wanita itu.
Sejenak Caca terdiam. Sekarang ia tahu kenapa Abimanyu tak pernah menyentuh olahan masakannya. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal dalam benak Caca. Bagaimana bisa seorang laki-laki tidak suka makan pedas?
“Nanti kalau udah mateng kamu bawa ke sana, ya, Ca,” pinta Nabila dari arah pintu dapur. Wanita itu kemudian menyiapkan dua piring dan dua gelas untuk sarapan.
“Hah? Iya, Bun,” jawab Caca sedikit terkejut, karena ia sempat melamun.
Caca memindahkan sayur sop itu ke dalam mangkuk bening berukuran sedang. Kemudian ia meminta seorang asisten rumah tangga untuk membawa olahan sang bunda ke meja makan. Sebagai pencinta makanan pedas, Caca berniat membuat sambal sebagai pendamping sop ayam buatan Nabila.
**
“Kayaknya bulan ini aku belum bisa masuk ke kantor, Yah,” ucap Abimanyu pada Arjuna.
Saat ini, Abimanyu bersama ayah dan adiknya berada di sebuah stand bubur ayam pinggir jalan. Mereka baru saja bersepeda bersama, kegiatan yang tak pernah mereka tinggalkan saat akhir pekan.
“Kenapa?” Pria paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya, meminta alasan sang putra.
“Selama satu bulan ini bakal ada sosialisasi kampus. Aku ditunjuk jadi koordinator,” jelas pemuda itu.
“Lo ketua BEM kan, ya?” tanya Dio memastikan.
Abimanyu mengangguk. Lalu kembali memandang ayahnya yang masih diam.
“Gimana, Yah?” tanya Abimanyu.
“Kamu harus pintar-pintar membagi waktu, Bi. Ayah nggak minta kamu ke kantor setiap hari, kok. Tapi, jangan bulan depan juga, kelamaan,” jawab pria itu sembari meneguk air mineral untuk menghilangkan rasa hausnya.
“Yah–”
“Bi, Ayah nggak akan ngelarang kamu berkegiatan di kampus, tapi kamu juga harus ingat tanggung jawab. Meskipun kamu nggak suka sama Caca, dia itu tetep istri kamu. Seseorang yang harus kamu nafkahi.”
Arjuna memandang putra ke tiganya dengan sorot mata tegas. Sejak dulu ia memang tak pernah mengeluh mengenai kegiatan Abimanyu yang terkesan sangat padat. Namun, saat ini kondisinya berbeda. Abimanyu telah menikah dan Arjuna tak bisa membiarkan putranya itu terus bertopang padanya. Meskipun bekerja di perusahaannya sendiri, setidaknya Abimanyu bisa mendapatkan penghasilan dengan hasil jerih payahnya.
“Kamu bisa datang ke kantor saat ada jam kuliah siang atau saat jam kuliah kamu nggak sampai sore. Kamu juga nggak harus setiap hari ke kantor. Tapi, setidaknya kamu bantu-bantu pekerjaan abang kamu,” nasihat Arjuna.
Pemuda itu mengangguk sebelum menyuapkan satu sendok bubur ke dalam mulutnya.
“Jadi, aku bisa mulai kapan?”
“Terserah kamu, tapi jangan bulan depan.”
“Minggu depan gimana, Yah? Minggu ini kayaknya aku belum bisa diwakili apalagi hari rabu udah mulai kegiatannya. Aku nggak mungkin nggak dateng,” tanya Abimanyu meminta pendapat.
Arjun berpikir sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
“Iya, nggak papa,” jawab Arjuna.
Mereka kembali menyantap bubur ayam langganan mereka. Sesekali Arjuna mengajak kedua putranya mengobrol ringan, seperti bertanya bagaimana kegiatan mereka selama satu minggu ini di sekolah dan di kampus.
Ketika bersantai seperti ini, Arjun memang mencari kesempatan untuk mengobrol dengan putra putrinya. Ia tak mau melewatkan waktu kebersamaan mereka saat hari libur, meskipun ia sedang banyak pekerjaan. Baginya, anak-anak lebih dari segalanya.
Hari sudah semakin siang. Matahari juga semakin meninggi, hingga menimbulkan rasa panas pada permukaan kulit. Arjuna pun menghela kedua putranya untuk kembali ke rumah setelah bubur ketiganya telah tandas dan rasa lelah mereka telah reda.
Tak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk sampai di rumah, karena jarak stand bubur dengan rumah mereka tak terlalu jauh.
Setelah memarkirkan sepeda, Dio dan Abimanyu segera masuk ke dalam rumah, sedangkan Arjuna masih mengobrol dengan salah satu tetangga mereka.
“Lo ngerjain apa, Kak?” Dio bertanya pada Caca yang tengah membuka laptop di ruang tengah.
Caca memutar kepalanya mendengar suara sang adik ipar. “Ngerjain tugas, Di,” jawab gadis itu.
Dio melonggok, melihat tugas seperti apa yang Caca maksudkan.
“Bang, ini bukannya kegiatan yang lo omongin tadi?” Dio bertanya saat Abimanyu melintas di belakangnya.
Abimanyu berhenti, ikut melihat layar laptop Caca. “Iya, kenapa?” jawabnya.
“Kok, lo nggak bantu Kak Caca buat bahan presentasinya? Katanya lo koordinator.”
“Dia juga koordinator,” jawab Abimanyu sembari mendudukkan diri di samping Caca.
“Masih belum selesai? Mau dibantu apa?”
Caca menoleh pada suaminya. Dari samping pemuda itu terlihat lebih tampan dengan peluh bercucuran di kening dan juga lehernya.
“Mau dibantu apa?” tanya Abimanyu lagi saat tak ada respons dari istrinya.
“Hah? Em, ada nanti ... em, gue masih lupa mau tanya yang mana,” jawab gadis itu gugup.
Mikir apa si gue? batinnya.
“Sekarang aja, mumpung gue ada di sini.”
“Mandi dulu kali, Bi. Masih keringetan, lo. Bau,” olok Caca.
Abimanyu menaikkan sebelah alisnya. Menarik kerah kausnya sendiri untuk ia cium aromanya.
“Keringat gue wangi, Ca. Lagian biasanya cewek-cewek kalau lihat cowok ganteng keringetan biasanya malah seneng,” ujar pemuda itu percaya diri.
Alis Caca bertaut tiba-tiba. Bibirnya tersungging sebelah, tak setuju dengan apa yang Abimanyu katakan.
“Itu untuk cowok ganteng. Emang lo ganteng?” cibir Caca terang-terangan. Bahunya bergidik, kepalanya menggeleng tak percaya suaminya sangat percaya diri. Meskipun apa yang Abimanyu katakan benar adanya.
“Lah, emang gue ganteng kan?” balas Abimanyu semakin percaya diri. Dagunya mengedik pada sang adik meminta persetujuan.
“Udah ya, Bi. Sekarang lo mandi, abis itu bantu gue. Nih! Banyak yang mau gue tanya ke lo!” Caca memperlihatkan beberapa tulisan yang akan ia jadikan bahan untuk acara sosialisasi kampus pada suaminya.
“Ya udah makanya tanya sekarang aja.” Abimanyu masih kekeh tak ingin mandi terlebih dahulu, karena ia masih sangat lelah. Ia masih ingin beristirahat.
“Mandi dulu, Bi!”
“Entar, Ca!”
“Sekarang!”
“Nanti aja”
“Sekarang!”
“Nan–”
“Abi!” Nabila memotong bantahan Abimanyu terhadap Caca.
“Mandi sekarang! kamu itu kebiasaan, nggak pernah langsung mandi.” Nabila memasang sorot mata tajam pada putranya.
Sejak dulu kebiasaan Abimanyu tak pernah berubah. Pemuda itu sangat sulit disuruh untuk segera mandi setelah berolahraga.
“Tapi, Bun–”
“Mau bantah lagi Abimanyu Lakeswara?”
Abimanyu menggeleng. Ia langsung berdiri ketika sang ibu tercinta telah memanggilnya dengan nama lengkap. Itu pertanda sang ibu sudah sangat jengkel dengannya.
“Abi tu emang gitu, ya, Bun?” Caca bertanya saat Abimanyu sudah berlari ke kamar.
“Gitu gimana?” tanya Nabila balik.
“Sok ganteng”
“Lah, bukannya Abi emang ganteng?” Nabila terkekeh mendapati menantunya mendelik terkejut.
***
Jangan lupa like dan komen❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Hemi Imut
lucuuuu
2022-06-19
0
Fransiska Ida Toruan
lanjut Thor.... seru ni....
2022-03-12
0
Dita Susandi
jangan lama2 upnya.. please..🥰🥰☺️
2022-03-09
0