Langit begitu cerah memancarkan warna biru nan terang. Mentari tersenyum mendampingi manusia beraktivitas. Menyelimuti bumi dengan cahayanya yang terik.
Pagi ini adalah hari pertama Abimanyu dan Caca melakukan sosialisasi kampus di dua sekolah yang tak jauh dari lokasi kampus mereka. Tak hanya Abimanyu dan Caca saja yang berangkat pagi itu. Mereka ditemani oleh Aldo, Sofi, Crystal, dan satu teman laki-laki Abimanyu bernama Jayden.
Mereka berenam mengendarai mobil Sofi dengan Aldo sebagai sopirnya. Di depan sana, ada dua dosen yang ikut mendampingi, karena ini hari pertama. Mereka akan diawasi terlebih dahulu, untuk memberikan evaluasi dan bisa diperbaiki jika ada kesalahan.
Saat dalam perjalanan Abimanyu fokus memainkan gawainya. Ia duduk bersebelahan dengan Crystal di kursi tengah. Sedangkan Caca dan Sofi berada di kursi paling belakang.
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, mereka sampai di sekolah tujuan. Mereka semua turun dan melaksanakan tugas yang telah diberikan.
Untuk hari pertama, Abimanyu dan Caca yang menjadi pembicara para siswa-siswi kelas dua belas SMA tersebut. Kali ini Caca berinisiatif memimpin, dengan dirinya menyampaikan materi, sedangkan teman-teman yang lain ikut mendengarkan di belakang.
Dari tempat duduknya, Abimanyu memperhatikan Caca dengan saksama. Ia tampak kagum dengan publik speaking yang Caca miliki. Gadis itu dapat menghipnotis para siswa supaya mendengarkannya.
Di dalam ruangan yang cukup besar itu, Caca benar-benar menjadi pusat perhatian. Tak ada satu pun orang yang berbicara di sana. Caca tampak sempurna di mata ... Abimanyu.
“Enggak nyangka gue Caca bisa sehebat itu saat di depan,” celetuk Jayden tiba-tiba.
Laki-laki berambut panjang itu sama sekali tak mengalihkan pandangan dari Caca. Matanya ikut terpaku seperti siswa siswi lainnya. Melihat kepiawaian Caca dalam berucap membuat dia berdecak kagum.
Crystal memutar bola matanya jengah. Ia tampak kurang setuju dengan apa yang Jayden katakan. Menurutnya Caca biasa saja, tidak ada yang istimewa. Ia merasa bisa melakukan apa yang Caca lakukan.
“Bi, ganti lo,” ucap Aldo seraya menyenggol lengan Abimanyu.
Abimanyu yang sempat terpaku dengan Caca, lantas beranjak berdiri. Menyejajarkan diri dengan posisi Caca, kemudian menggantikan gadis itu berbicara.
“Gila, keren banget, lo,” puji Sofi saat Caca sudah duduk di sampingnya.
“Kok, muka lo pucet gitu?” Sofi menangkup pipi Caca dengan kedua tangannya. Melihat keseluruhan wajah Caca dengan saksama.
“Nervous, Sof,” jawab Caca lemah. Ia meletakkan telapak tangannya pada pipi Sofi, lalu berucap, “Dingin banget tangan gue.”
Sofi tertawa pelan merasakan betapa dinginnya tangan Caca saat ini.
“Lah, ini gimana ceritanya tangan lo bisa sedingin ini?” Gadis itu terkekeh geli.
“Gue itu sebenarnya nervous banget tadi. Gue nggak pernah berdiri di depan banyak orang.” Caca memperlihatkan raut muka sedihnya pada Sofi.
Sebenarnya Caca memang nervous saat baru memegang microphone. Namun, demi menjaga nama baiknya, Caca berusaha untuk mengalihkan rasa nervous-nya dengan mengajak para siswa bermain. Dengan begitu, perhatian Caca sendiri beralih dan berhasil membuat seluruh audiens terfokus pada Caca dan materi yang disampaikan.
“Tapi, lo keren banget si, Ca. Lo nervous tapi lo bisa ngendaliin diri. Wuhhh, bener-bener keren pokoknya.” Sofi mengacungkan dua jempolnya pada Caca. Ia bahkan mencari persetujuan dari Jayden dan pemuda itu turut setuju.
**
Mentari bersinar lebih terik menembus permukaan bumi. Waktu makan siang sudah terlewat sejak satu jam yang lalu. Namun, Caca dan kelima teman lainnya baru bisa menyantap makan siang mereka.
Saat ini mereka berada di restoran milik Banyu. Kebetulan letaknya tak jauh dari sekolah ke dua yang Caca dan teman-temannya kunjungi. Mereka berada di ruang VIP restoran tersebut. Caca sengaja memesan private room supaya teman-temannya lebih nyaman dan mereka bisa bercengkerama lebih bebas.
“Ca, ini beneran lo yang traktir kan?” tanya Jayden memastikan. Pasalnya harga dalam buku menu itu bisa membuat kantung mahasiswa seperti dirinya jebol.
Caca mengangkat kepalanya dari ponsel. “Udah, pokoknya lo pesen aja sepuas, lo. Semuanya gratis!” jawabnya membuat Jayden dan Sofi memekik senang.
Mereka semua–kecuali Sofi, memang tidak tahu bahwa Caca merupakan putri pemilik restoran tersebut. Bahkan Abimanyu sekali pun tak tahu, restoran itu milik ayah mertuanya.
Semua menyampaikan pesanan mereka pada satu pramusaji yang sejak tadi berdiri di sana. Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya makan siang mereka pun tiba. Mereka makan dengan begitu lahap dan tenang. Hanya sesekali suara Caca dan Sofi mengisi keheningan mereka.
“Ini beneran lo yang bayar kan?” tanya Jayden lagi saat mereka hendak keluar dari ruangan.
“Je, lo nggak percaya sama gue? Lo bayar sendiri deh makanan lo kalau gitu!” ketus Caca pada pemuda itu. Raut muka Caca berubah kesal seketika. Ia paling tidak suka dengan seseorang yang terus mengulang pertanyaannya.
“Aelah, santai aja ngapa, Bu. Bercanda doang,” gurau Jayden. “Etapi btw lo makin cantik kalau marah gitu.”
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Abimanyu tersedak saat ia ingin menghabiskan minumannya. Ia terlalu terkejut mendengar rayuan Jayden pada istrinya. Bukan karena cemburu, bukan. Ia hanya tidak menyangka, Jayden bisa seberani itu mengucapkan rayuan receh pada seorang gadis.
Caca yang sempat menoleh pada Abimanyu hanya mencibir Jayden kemudian berlalu begitu saja. Ia bukan gadis yang mudah bersemu saat dilempari rayuan gombal yang justru kerap kali membuatnya muak.
“Dari dulu gue emang cantik kali!” gerutunya seraya keluar dari ruangan VIP restoran itu.
Abimanyu dan Jayden terkekeh bersama mendengar itu. Aldo yang memang sedikit kaku sama sekali tak menemukan kelucuan dari ucapan Caca.
Setelah menempuh perjalanan selama empat puluh lima menit, akhirnya Caca sampai di kampus. Ia berpamitan pada semua temannya untuk segera pulang, karena ayahnya sudah menunggu di kafe. Ada beberapa hal yang harus Banyu sampaikan padanya.
“Ca lo nggak ikut evaluasi?”
Caca yang sudah ingin menghampiri motornya berhenti sejenak menatap suaminya.
“Aduh, nggak bisa gue. Gue udah ditunggu sama ayah. Entar aja lo kasih tahu hasil evaluasinya ke gue.”
Gadis itu buru-buru pergi. Ia bahkan tak sadar saat menyebutkan kata ayah kepada Abimanyu, hingga terdengar sangat akrab di telinga tiga teman mereka. Dan hal itu berhasil membuat Crystal, Jayden, dan Aldo bertanya-tanya.
“Kayaknya lo akrab banget sama Caca. Lo kenal bokapnya juga?” tanya Jayden.
“Hah?” Abimanyu menggaruk tengkuknya bingung. “Ya, kenal. Nyokap dia dokter gue waktu kecil dulu,” jawab Abimanyu. Pemuda itu merutuki istrinya yang salah bicara, sehingga ia harus mengungkapkan fakta yang ada, meskipun tak seutuhnya.
**
Hari sudah gelap. Abimanyu memarkirkan motornya di garasi, tetapi ia tak mendapati motor sang istri. Sejenak ia mengingat ketika gadis itu buru-buru pulang setelah kegiatan mereka selesai. Caca hanya mengatakan harus pergi ke kafe, karena sudah ditunggu ayahnya. Namun, yang masih menjadi pertanyaan Abimanyu adalah, untuk apa gadis itu ke kafe dan kenapa Caca sangat sering pergi setelah kuliah selesai.
Meskipun rasa penasarannya membuncah, tetapi Abimanyu tak pernah menanyakan hal tersebut pada Caca. Ia lebih memilih pura-pura tidak peduli dengan gadis itu. Sekarang Abimanyu hanya ingin segera membersihkan diri setelah berkegiatan di luar kampus sepanjang hari.
Setelah selesai mandi, Abimanyu pergi ke dapur untuk makan malam. Cacing dalam perutnya sudah protes sejak ia dalam perjalanan pulang. Pemuda itu segera mengambil piring dan ikut makan malam bersama kedua orang tuanya.
“Caca nggak bareng kamu?” Nabila bertanya saat Abimanyu baru saja bergabung.
“Enggak, dari sore dia udah keluar dari kampus. Aku pikir dia udah balik ke rumah,” jawab Abimanyu.
Setelah mengambil nasi beserta lauknya Abimanyu kembali berucap, “Dia itu sering banget bilang ke aku kalau dia bakal pulang malem. Tapi, aku juga nggak tahu dia mau ke mana dan untuk apa.”
“Bukannya setiap hari Caca ke kafe ayah mertua kamu?”
Kening Abimanyu mengernyit mendengar pertanyaan sang ayah. Bahunya lantas mengedik, mengartikan bahwa ia sama sekali tak tahu kegiatan istrinya.
“Kamu ini gimana sih, Bi. Masa kegiatan istri sendiri nggak tahu,” sungut Nabila. Matanya menatap tajam pada putra ke tiganya yang kini duduk di seberangnya.
Mengerjapkan mata sejenak. Abimanyu menoleh pada ibu, ayah, dan adiknya. Bak seorang penjahat, Abimanyu mendapatkan sorotan tajam dari ketiga anggota keluarganya.
“Ya, kan kalian tahu sendiri gimana hubungan aku sama Caca,” decak Abimanyu tak ingin disalahkan.
“Tapi, nggak gitu juga, Bang.” Dio yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. Ia kembali melontarkan wejangannya pada sang kakak.
“Gue tahu lo nggak suka sama Kak Caca. Tapi, bukan berarti lo bisa lepas tanggung jawab, Bang.”
“Kesambet setan mana lo bisa ngomong kayak gitu?”
“Abi!”
Abimanyu yang hendak tersenyum jail sontak menundukkan pandangannya. Ya, Abimanyu tahu ia salah. Memang tak seharusnya terlalu cuek pada Caca. Bagaimanapun juga gadis itu istrinya. Tanggung jawabnya.
“Di mana ponsel kamu?”
Abimanyu meletakkan ponselnya di samping piring sang ayah.
“Hubungi Caca. Tanya, di mana dia sekarang.”
Tanpa penolakan lagi, Abimanyu menghubungi nomor Caca yang baru ia simpan kemarin malam. Tak butuh waktu lama, Caca mengangkat panggilan dari Abimanyu.
Gadis itu bertanya ada apa meneleponnya, karena mereka memang tak pernah saling menghubungi satu sama lain sebelumnya.
“Lo di mana? Balik jam berapa?”
Kening Caca mengernyit heran mendengar pertanyaan suaminya.
“Tumben lo tanya gue di mana?” Bukannya menjawab, Caca malah mencibir Abimanyu.
“Udah, tinggal jawab aja susah banget sih,” omel Abimanyu. Sebenarnya Abimanyu salah tingkah dengan jawaban Caca. Pasalnya kedua orang tuanya kini tengah mendengarkan pembicaraan mereka.
“Gue di kafe ayah. Kenapa?”
“Balik jam berapa?”
“Masih lama, kerjaan gue banyak,” jawabnya terdengar malas.
“Gue jemput, ya?” tawar Abimanyu sesuai perintah Nabila.
“Nggak usah!” seru Caca. “Ngapain juga sih lo sok-sokan mau jemput gue? Biasanya juga nggak peduli,” gerutunya yang tentu saja didengar oleh Arjuna dan Nabila.
“Caca”
Di seberang sana Caca menelan salivanya susah payah, kala suara sang ibu mertua terdengar.
“Iya, Bun?” jawabnya gugup.
“Dijemput Abi, ya? Udah malem, kasihan kamu kalau pulang sendiri,” tutur wanita itu pelan. Suaranya yang begitu halus membuat Caca tak berani menolak.
“I-iya, Bun,” jawabnya sebelum sambungan telepon mereka terputus.
“Udah, kan? Sekarang kamu habiskan makan malam kamu, setelah itu ganti baju. Jemput Caca.” Nabila memerintah sembari memasang sorot mata mengancam. Wanita itu sama sekali tak ingin dibantah oleh putranya.
**
BB Kafe
Memandang bangunan dengan penuh pernak-pernik lampu, Abimanyu menyegerakan diri memasuki kafe tersebut. Kafe yang letaknya sangat dekat dengan kampusnya, membuat Abimanyu tak perlu bertanya lagi pada Caca.
Saat memasuki kafe tersebut, Abimanyu melihat semua mata memandang ke arahnya. Pintu masuk yang diberi lonceng kecil membuat semua orang tahu, ada pelanggan tengah masuk ke dalam sana.
Abimanyu tidak tahu harus pergi ke mana untuk mencari istrinya, hingga tiba-tiba seorang pelayan berseragam hitam merah menghampiri dan bertanya ingin memesan apa.
“Sebenarnya saya cari Caca, Mbak. Mbaknya tahu di mana ruangan dia?”
“Mas Abimanyu?” tanya pelayan itu memastikan.
Abimanyu mengangguk, lalu ia mengikuti pelayan tersebut masuk lebih dalam ke area kafe. Ternyata pelayan perempuan itu sudah diperintahkan Caca untuk mengantarkan Abimanyu ke ruangannya.
“Ini, Mas. Masuk aja,” ucapnya sebelum berpamitan untuk kembali bekerja.
“Astaga!” desah Abimanyu kala ia baru memasuki ruangan istrinya.
“Merem, lo. Merem!” Caca buru-buru mengenakan kausnya. Ia baru saja selesai mandi saat Abimanyu tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya.
“Lo tuh nggak pernah diajari sopan santun, ya? Masuk ruangan orang itu ketuk pintu dulu!” cecar Caca kesal.
“Salah lo sendiri, kalau mau ganti baju itu pintunya dikunci, Cabul,” timpal Abimanyu tak ingin disalahkan.
Tak ingin lagi berdebat, Abimanyu lantas mendudukkan dirinya di sofa ruangan tersebut. Ia memainkan ponselnya sembari menunggu istrinya menyelesaikan pekerjaan.
Hening melanda keduanya. Dua manusia yang memiliki kepribadian bertolak belakang itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Namun, diam-diam Abimanyu memperhatikan istrinya.
Gadis yang Abimanyu baru tahu menjabat sebagai manajer di kafe itu terlihat sangat segar malam ini. Mungkin karena baru saja mandi. Gadis itu juga terlihat cantik dengan kacamata bertengger pada matanya. Ekspresinya terlihat lucu saat dilanda keseriusan. Terkadang keningnya mengernyit, terkadang bibirnya mengerucut entah karena apa.
Abimanyu masih terus memperhatikan Caca yang serius di depan layar monitornya. Sesekali gadis itu menulis entah apa. Hingga pekikan lega dari Caca membuat Abimanyu kembali tersadar akan apa yang dilakukannya.
“Yeay, akhirnya selesai juga!” pekik Caca girang. Ia memutar kursinya sembari meregangkan tubuhnya.
“Ayo balik,” ajak Caca pada Abimanyu.
Mereka keluar dari ruangan itu bersamaan. Tak ada percakapan di antara keduanya, hingga mereka tiba di tempat parkir.
“Sama bunda suruh satu motor aja pulangnya. Motor lo taruh sini aja, kita balik pakai motor gue, ” ucap Abimanyu seraya memasang helm pada kepalanya.
“Ogah, males gue boncengan sama lo. Lo tuh bikin jantung gue hampir copot tahu, nggak?” tolak Caca. Ia mengingat saat mereka pulang bersama beberapa waktu yang lalu. Kecepatan Abimanyu yang tak bisa diprediksi membuat Caca tak ingin mengulangi lagi.
Abimanyu tertawa pelan mengingat kejadian itu. Ia pun lantas menawari Caca untuk menggunakan motor gadis itu dan Caca yang menyetir.
Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Caca setuju. Mereka pun pulang dengan motor Caca dan Abimanyu berada di boncengan.
Selama dalam perjalanan, Abimanyu memberitahu Caca mengenai evaluasi kegiatan mereka tadi. Malam itu adalah kali pertama sepasang manusia itu berbicara layaknya pasangan normal lainnya.
***
Jangan lupa like dan komen❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Hemi Imut
cabul😁😁😁
2022-06-19
0
Nuridah
lanjut thor
2022-03-24
0
Desi Kristina
bagus ceritanya....
2022-03-23
0