“Siapa sih, lo? Kok, lo bisa tahu gue sama Abi yang jadi koordinator. Padahal gue sama dia belum kasih pengumuman dan Cuma buat gc doang.” Caca ingin menyemburkan tawanya jika tidak melihat raut kesal gadis itu.
“Gue Crystal. Calon istri Kak Abi!”
Caca menutup bibirnya dengan sebelah tangan untuk meredam tawanya yang semakin ingin keluar. Ia bahkan menahan napasnya sejenak untuk menahan rasa geli yang tiba-tiba mengerubungi dirinya.
Ah, Caca baru ingat. Gadis ini yang kemarin dibicarakan oleh Maya dan Sofi. Gadis yang katanya sangat suka mencari perhatian kepada para kakak tingkatnya terutama pada Abimanyu. Sekarang Caca tahu, gadis itu sangat menyukai suaminya hingga dia mengaku sebagai calon istri Abimanyu.
Caca berdeham sekali, mengurangi rasa geli juga kecanggungan di antara mereka. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja, diikuti lipatan kedua tangannya. Gadis berkacamata itu tampak memandang Crystal dengan seulas senyum mengejek.
“Nona Crystal calon istrinya Abimanyu. Begini, ya. Gue itu jadi koordinator bukan karena kemauan gue. Gue juga terpaksa, dan kalau lo nggak terima, lo bisa ngomong langsung ke Bu Siska,” tutur Caca pelan. Sebelum Crystal menjawab, Caca beranjak berdiri, berlalu meninggalkan Crystal yang tengah menahan rasa kesal.
“Kenapa harus saya dan Abi, Bu?”
“Ya, karena menurut saya kalian memiliki potensi untuk itu. Anggap saja sebagai pengalaman untuk tahun berikutnya.”
“Tapi, Bu, saya–”
“Saya tidak menerima penolakan dari kamu Caca. Jika saya sudah memutuskan, maka tidak boleh ada yang membantah, kamu pasti tahu itu!”
Caca menghela napas pelan. Mengingat percakapan dengan ibu dosen yang seenaknya sendiri cukup membuatnya kesal. Namun, ia tidak ingin terlalu menyimpan rasa kesalnya. Toh, semua ini akan bermanfaat untuk ke depannya.
Sebenarnya Caca tidak masalah menjadi koordinator, tetapi jika disandingkan dengan Abimanyu, ia takut malah akan merusak kegiatan itu seperti yang Crystal katakan. Mengingat bagaimana hubungan mereka selama ini Caca menjadi tidak yakin.
**
“Ini benaran lo sama Caca yang jadi koordinator?”
Abimanyu mengangguk sebelum memakai helmnya.
“Wah, bisa perang mereka. Seru keknya tahun ini,” kelakar Aldi, mendapat jitakan pada kepala pemuda itu.
“Seru pala, lo!” ketus Abimanyu.
Ia semakin tak yakin bagaimana jadinya mereka berdua nanti saat harus mengatur kegiatan bersama. Tadi saja saat menentukan rekan, mereka lebih banyak berdebat daripada berdiskusi.
Selama di rumah mereka memang jarang berinteraksi, karena merasa canggung satu sama lain. Namun, kali ini sepertinya mereka tidak bisa saling menghindar dan akan lebih sering bersama saat di kampus.
Astaga! Abimanyu menggeram dalam pikirannya. Jika saja ada kamera di sampingnya, mungkin saat ini dirinya sudah melambaikan tangan. Ia menyerah dengan keadaan yang ... ah, sudahlah.
Sedetik sebelum Abimanyu menyalakan mesin motornya, Aldi bertanya kembali mengenai alasan Abimanyu setuju saat digandengkan dengan Caca.
Kembali memutar kunci pada bagian off, Abimanyu menatap si kembar lantas menjawab, “Lo pasti tahu lah, gimana Bu Siska itu. Gue sama dia mana bisa nolak.”
Abimanyu kembali memutar kunci. Ia mengacungkan kepalan tangannya, saat Aldi hendak membuka suara kembali. Abimanyu sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat di rumah.
“Udah, Aldi nggak usah diladenin,” ucap Aldo sembari mendorong tubuh adik kembarnya menjauh dari motor Abimanyu. Pemuda itu pun berterima kasih kepada Aldo sebelum melajukan motornya menuju jalan raya.
Hari sudah beranjak gelap saat Abimanyu menyusuri jalan. Lampu-lampu mulai menyala, mendampingi para pengendara yang hendak pulang ke rumah mereka.
Seperti biasa pemuda itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Menikmati langit yang mulai berubah warna.
Dalam perjalanannya, Abimanyu tampak bersenandung lirih. Baginya, menyanyi dapat membangkitkan lagi suasana hatinya yang sedang dalam keadaan buruk. Ia merasa hari ini adalah kejutan terbesar, karena selama mengenal dan bermusuhan dengan istrinya, ia dan gadis itu tak pernah sekali pun terlibat dalam satu acara yang sama. Dan mereka yang sejak dulu memang tak cocok, membuat keduanya sering cekcok. Abimanyu merasa mereka sangat tidak cocok untuk menjalin hubungan. Namun, anehnya saat ini mereka berstatus sebagai suami istri dadakan.
Menghela napas lemah. Mengingat akan hal itu selalu sukses membuat kepala Abimanyu menggeleng tanpa sebab. Saat ini, pemuda itu juga tengah menggeleng dan berusaha fokus pada jalanan. Namun, pada satu titik Abimanyu melihat seorang gadis berjongkok di samping motornya. Dari kejauhan ia bisa mengetahui siapa gadis itu dan ia berusaha tak peduli. Namun, hati nurani Abimanyu berkata lain. Pemuda itu membawa motornya untuk menepi dan menyapa gadis tersebut.
“Kenapa motor, lo?” tanya Abimanyu sembari mematikan mesin motornya.
Gadis itu mendongakkan pandangan dari ban motor yang terlihat kempes. Ia berdecak, kemudian menjawab, “Ban gue bocor, duhh mana bengkel jauh banget dari sini.” Ia mengeluh jengkel. Bibirnya mengerucut menahan rasa kesal.
“Mau bareng gue aja, Ca?” tawar Abimanyu spontan.
Caca menyipitkan matanya, tak percaya dengan penawaran Abimanyu. Tumben baik, batin gadis itu.
“Ada motif apa lo nawarin gue tumpangan?” tuduh Caca. Matanya menyipit curiga kepada sang suami.
Abimanyu mengerjap, ia sendiri tak mengerti kenapa tiba-tiba memberi tawaran kepada istrinya. Ah, mungkin karena rasa kemanusiaan gue lagi bangun, batinnya. Netranya berubah malas menatap sang istri.
“Gue nawarin tumpangan karena gue baik. Jadi, kalau lo nggak mau nggak masalah. Gue juga nggak rugi,” balas pemuda itu seraya memutar kunci dan hendak menyalakan motornya kembali. Namun, gadis berkacamata itu menahannya
“Eh” Caca mendekati Abimanyu. Netranya melirik sekitar, matahari telah tenggelam dan langit sudah sangat gelap. Caca tentu saja tak berani jika harus di sana sendiri.
“Iya, gue mau. Sensitif amat si Bapak. Bentar tapi, gue mau telepon bengkel dulu,” ucapnya kemudian. Ia lantas segera mengambil ponsel untuk menghubungi bengkel langganannya, dan menyuruh salah seorang karyawan kafenya menunggu di sana. Tak lupa ia menyuruh karyawannya untuk membawa motornya terlebih dahulu jika sudah beres nanti.
Setelah selesai menghubungi bengkel, Caca naik ke motor Abimanyu. Ia berkata sudah pada suaminya itu. Tak lama kemudian motor itu melaju pelan meninggalkan motor Caca sendiri.
Dalam perjalanan, decakan Caca terdengar. Beberapa kali gadis itu juga mendengkus kesal. Ia merasa tengah dibonceng sepeda, karena melaju sangat pelan. Gadis berhelm hitam itu tak biasa berkendara dengan kecepatan di bawah rata-rata.
“Lo bisa nggak sih agak cepet dikit?” tanya Caca mencibir.
“Lelet banget jadi cowok,” imbuhnya mengejek.
Abimanyu melirik istrinya dari kaca spion. Ia memutar mata jengah mendengar ucapan gadis itu. Namun, sekelebat ide gila tiba-tiba muncul dalam kepalanya.
“Weeii”
Caca hampir terjengkang ke belakang saat tiba-tiba Abimanyu menarik tuas gas sangat dalam. Tanpa sengaja Caca memeluk pinggang pria itu, karena melaju sangat cepat. Bahkan mereka melewati beberapa kendaraan hanya dalam waktu beberapa detik.
“Gila, ya, lo?” teriak Caca tepat di samping telinga Abimanyu yang tertutup helm.
“Nggak denger!” balas pria itu tak kalah berteriak. Ia kembali melajukan motornya semakin cepat. Membuat Caca semakin mempererat pegangannya pada pemuda itu.
Caca merasa jantungnya hampir terlepas saat ini. Ia menyesal telah mengompori suaminya untuk melaju lebih cepat, karena ternyata pria itu seperti hendak membawanya ke dunia lain.
Netra Caca terpejam. Helm yang sedari tadi bertengger di kepalanya terasa akan terbang, jika kepalanya tak ia sandarkan pada punggung pria itu. Hingga tak lama kemudian ....
Cittt
Motor itu berhenti sempurna di garasi rumah Abimanyu. Caca yang sejak tadi memejamkan mata, tak sadar akan hal itu. Ia bahkan belum melepaskan pegangannya pada pinggang Abimanyu, hingga suara pemuda itu membuka mata Caca.
“Lo mau turun, atau mau gini terus sampai nanti malem?”
Caca mengerjapkan mata bingung. Setelah menyadari bahwa mereka telah berhenti, gadis itu sontak menjauhkan tubuhnya dari Abimanyu.
“Mau ngajak mati, ya, lo?”
Alis Abimanyu naik bersamaan dengan helmnya yang terlepas.
“Bukannya lo yang nyuruh gue cepet?”
Caca kicep mendengar Abimanyu membalikkan ucapannya. Memang benar Caca yang meminta Abimanyu melajukan motor lebih cepat, tetapi bukan seperti itu juga. Tak ingin lagi berdebat, Caca melenggang pergi dari sana, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih pada suaminya yang telah membawanya pulang ke rumah dengan selamat.
Decakan Abimanyu keluar begitu saja melihat kepergian Caca. Ia pun segera menyusul istrinya yang sudah tak terlihat, atau mungkin sudah masuk ke dalam kamar.
Saat melewati ruang tengah, Abimanyu melihat adiknya bermain game. Ia menatap sekeliling, tetapi tak ditemukannya sang ibu tercinta. Abimanyu pun mendekati adiknya dan bertanya di mana wanita itu saat ini.
“Bunda sama ayah lagi ada acara makan malem di rumah temen ayah. Katanya, nanti kalau mau makan suruh minta Kak Caca masak atau kalau nggak mau masak, order aja nggak papa,” jawab remaja itu tanpa menolehkan kepala. Ia fokus terhadap ponselnya.
Abimanyu menatap adiknya datar, lalu berkata, “Di, lo tu udah berapa kali sih dibilangin bunda?, kalau diajak ngobrol tuh mata lo jangan ke hp.”
Dio menggigit lidahnya. Ia lupa, sangat lupa akan aturan itu. Salah kakaknya juga, bertanya pada saat ia sedang bermain game. Namun, alih-alih membantah, remaja itu meminta maaf pada kakaknya setelah ia meletakkan ponselnya di atas meja.
“Kalau bunda atau Bang Riyo tahu, bisa disita hp lo berminggu-minggu,” ujar pemuda itu menakut-nakuti.
Dio membulatkan matanya. Ia menggenggam lengan kakaknya erat. “Please, lo jangan ngadu ke mereka, gue janji nggak akan gitu lagi,” pinta Dio memasang wajah memelas.
Selain Nabila, kakak pertama mereka juga selalu bertindak tegas kepada seluruh anggota keluarga. Pria yang sering dipanggil Bang Riyo itu tak segan-segan menghukum siapa saja yang salah di antara adik-adiknya.
Abimanyu sendiri pernah merasakan hukuman sang kakak, gara-gara dia membolos sekolah. Abimanyu tidak boleh membawa motor ke sekolah selama satu bulan penuh. Ia akan berangkat bersama kakaknya dan akan dijemput saat waktunya pulang sekolah.
“Jangan lo aduin, ya, Bang. Gue beneran takut sama Bang Riyo,” pinta remaja itu lagi. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir.
Abimanyu menaikkan kedua alisnya, berpikir. Tak lama kemudian ia menggeleng.
“Bang,” rengek Dio, membuat Abimanyu tertawa.
Sudah lama rasanya Abimanyu tak menjaili adik bungsunya ini. Dan tampaknya bocah itu masih seperti dulu, mudah dihasut dan dibohongi.
“Iya, nggak bakal gue aduin. Asal duit jajan lo buat gue, gimana?”Alis Abimanyu naik turun menggoda. Namun, tak lama kemudian ia tertawa melihat raut wajah adiknya berubah kesal.
Pemuda itu pun beranjak berdiri. Menepuk bahu remaja itu dua kali. Kemudian meninggalkan sang adik yang masih memasang muka kesalnya.
**
“Ayah sama bunda pulang malem, Di?” tanya Caca seraya menaruh nasi goreng ke atas piringnya. Mendapati adik iparnya mengangguk, ia pun turut mengangguk tanda mengerti.
“Lo nggak makan, Bi?” Caca beralih pada Abimanyu yang sedari tadi hanya memandang nasi goreng buatannya saja. Bahkan piringnya masih kosong tak terisi apa pun.
Abimanyu menoleh. Ia menjawab seraya beranjak ke dapur membawa serta piringnya. “Gue bikin mi instan aja.”
Seraut rasa kecewa tampak pada diri Caca. Gadis itu merasa Abimanyu keterlaluan dalam membencinya, hingga masakannya tak pernah disentuh oleh pemuda itu sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah itu.
Sedari awal Caca penasaran, kenapa Abimanyu tak pernah menyentuh hidangan buatannya. Namun, hingga sekarang pun Caca belum mendapatkan jawabannya. Dan ia berspekulasi bahwa pemuda itu sangat tidak menyukainya.
“Dio, gue ke kamar dulu, ya. Lo abisin aja nasi gorengnya,” ucap Caca pada adik iparnya. Setelah itu ia beranjak dari meja makan. Rasa kecewa itu membuat selera makannya hilang begitu saja.
Keesokan harinya Caca dan Abimanyu berkumpul bersama beberapa temannya yang akan ikut serta sosialisasi kampus. Di sana Caca tampak diam, karena Abimanyu yang menjelaskan alur kegiatan mereka. Selain itu, gadis berkaca mata itu masih merasa dongkol dengan sang suami, karena lagi-lagi Abimanyu tak melirik masakannya. Sebagai seorang wanita, ia merasa sangat kecewa pada pemuda itu. Ia merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri.
Setelah selesai menjelaskan dan membagi kelompok beserta wilayah yang akan didatangi, Caca bergegas undur diri, karena ia diminta Banyu pergi ke sebuah pusat perbelanjaan untuk menemui seorang klien yang akan menyewa salah satu restoran pria itu.
Gadis itu tampak santai menyusuri keramaian mal meskipun sendiri. Hal ini cukup membuat suasana hatinya lebih baik. Rasa dongkol pada Abimanyu juga berangsur berkurang. Bahkan ia tadi menyempatkan diri meminta izin pada Abimanyu dan berkata mungkin akan pulang malam. Meskipun mereka sering berseteru, Caca masih cukup menyadari kewajibannya sebagai istri untuk tetap meminta izin jika hendak pergi ke mana saja.
Setelah sampai di salah satu food court, tempatnya berjanjian dengan klien sang ayah. Caca memindai seluruh penjuru food court dengan ponsel menempel pada telinganya. Hingga seorang wanita dewasa melambaikan tangan dan Caca pun menghampiri wanita tersebut.
“Maaf terlambat,” ucap Caca pada wanita itu. Ia menarik kursi di depan wanita dewasa yang memiliki usia berkisar tiga puluh tahunan.
“Tidak masalah. Saya juga baru saja sampai,” jawab wanita itu ramah. Ia memanggil salah seorang pramusaji dan memesan minuman untuk menemani mereka berdua.
“Ayah juga meminta maaf tidak bisa menemui Anda secara langsung, karena ayah sedang ada urusan lain di luar kota.” Caca menyampaikan pesan Banyu. Setelah wanita itu menjawab tidak apa-apa, Caca tersenyum lega, karena wanita itu mengerti.
Satu jam berlalu cukup cepat dan diskusi mereka telah sampai kata sepakat. Caca dan wanita itu memisahkan diri setelah keluar dari food court tersebut.
Caca berjalan keluar dari mal dengan earphones menempel pada telinganya. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menikmati setiap lagu yang berputar dari ponselnya sendiri. Sesekali matanya berkeliling menatap keramaian pusat perbelanjaan yang tak pernah sepi pengunjung itu. Hingga tiba-tiba netra berbalut kacamata itu terpaku pada satu sosok yang begitu ia kenali.
“Dean?”
***
Halo, lama tak jumpa. Pasti bosen, ya, nungguin. Hehe.
Jan ditunggu guys. Tapi, kalau mau nunggu juga nggak papa sih wkwk.
Yang penting jan lupa di-like dan komen
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Hemi Imut
gotcha dean tercyduck
2022-06-19
0
Sasta Rmayani
semangat terus Thor.........
2022-03-07
1
wong_oseng
lama bet bestieeee
2022-03-07
0