Bab 11

"Lo di pecat!"

Kalimat Satria masih menggantung dalam ingatannya. Bara pulang dari kampus itu dengan berjalan kaki. Pikirannya kacau, dia ingin tetap berada di sisi Zahra tadi, tapi tentu saja itu tidak mungkin. Toni bahkan ikut menghajarnya sedemikian rupa. Tak lama mereka pergi meninggalkan nya yang tersungkur di tanah.

Sudah satu jam lebih Bara berjalan. Sebelum akhirnya berhenti di salah satu warung yang di singgahi nya. Tenggorakan nya tercekat dan terasa panas. Darah segar juga masih saja menetes di sudut bibirnya. Dari kotak pendingin warung, Bara mengambil satu botol air mineral, dan dua buah potongan es batu, melekatkannya di sudut bibirnya yang terasa berdenyut.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" cicit nya menatap jalanan yang sesekali di lewati motor. Kerjaan tidak ada, dan harus segera mengosongkan rumah yang dia tinggali karena memang Satria yang selama ini membayar. Setengah jam berlalu duduk di depan warung ini, tapi tidak ada jalan keluar atas masalah nya.

Bara menenggak habis satu botol air minum berukuran sedang dan menyerahkan uang lima ribuan pada pemilik warung sebelum kembali berjalan. Di tengah jalan baru lah dia memesan Ojol demi menghemat ongkos.

***

Dua hari menganggur, Bara hanya membaca koran di salah satu warteg dekat kontrakan babe. Pria itu mendengar apa yang terjadi pada nya, lalu menghubungi Bara. "Lo bisa tinggal bareng gue sementara, sampai lo dapat kerja" ucap babe yang saat ditanya akan tinggal dimana, Bara menjawab tidak tahu.

Bara sempat terpikir untuk ke rumah pak Sugi, tapi, tapi niat nya di urungkan kembali. Bara sudah mengecewakan pak Sugi. Susah payang pak Sugi mencarikan pekerjaan untuk nya, tapi baru dua bulan pekerjaan itu hilang, dan itu karena dirinya yang tidak bisa menahan diri.

Koran hari itu terus di bolak balik, tidak ada lowongan yang pas untuk nya. "Zaman sekarang cari kerjaan emang susah, tong" ucap Mpok Ela, si empunya warung.

"Iya nih Mpok. Saya kerja apa ya?" tanya lebih ke diri sendiri, dan melipat koran itu kembali.

Selesai mandi dan berpakaian, bunyi nyaring dari ponsel Bara terus berdering. Itu pak Sugito yang menghubungi nya. Ah..dia harus bilang apa pada orang baik itu.

"Halo pak"

"Kamu lagi dimana?"

"Saya di kontrakan teman pak, di Kebayoran lama"

"Kenapa kamu tidak ke rumah? sekarang juga kamu datang ya. Bapak tunggu"

Bara masih memandangi layar ponsel yang lampu nya sudah redup. Menimbang dalam hati, apa tepat dia kembali menumpang di rumah keluarga Sugito?

Tapi jika dia tidak datang, rasa nya juga kurang pas. Tidak sopan. Akhirnya Bara memutuskan untuk datang ke rumah Sugito. Tapi tetap membiarkan tas berisi pakaian di kontrakan Babe.

Hanya melalu pesan dia menyampaikan pada babe kalau dia pergi ke rumah pak Sugito, entah pulang atau tidak malam ini.

Hal yang membuat Bara semakin tidak enak hati adalah, saat kedatangannya, Bu Ima menyiapkan banyak menu makan malam. Ada tempe, tahu, lalapan, ikan asin pedak, teri sambal dan juga sambal terasi. Oh, jangan lupakan ada petai bakar juga, tapi Bara kurang doyan untuk yang satu itu.

"Makan yang banyak.." ucap pak Sugi, yang hanya diangguk Bara.

"Iya bang, makan yang banyak. Karena pura-pura bahagia perlu energi" sambung Leo mencomot potongan timun. Keempatnya tertawa hanya Bara yang mengulum senyum.

Piring bekas makan sudah di cuci Bara yang di bantu oleh Lita. Setelahnya pak Sugi mengajaknya ngobrol di depan rumah. Malam terang bulan, beberapa anak-anak bermain riang, menyanyikan sebuah lagu yang jika lagu itu berhenti di tepukan tangan seorang anak, maka anak itu lah yang akan jaga, dan yang lainnya bersembunyi.

"Tinggal lah di sini, sampai kamu dapat pekerjaan. Bapak mungkin bukan orang berada, tapi menerima mu di keluarga ini, bapak masih sanggup"

Bara menunduk, mendengar dengan perasaan yang bergemuruh. Begitu beruntung dia bertemu keluarga ini. Dia berjanji, tidak akan melupakan semua kebaikan pak Sugi.

"Bara, kamu dengar kan?"

"Iya pak, saya merasa tidak enak hati. Bapak sudah mencarikan saya kerjaan, tapi saya yang tidak tahu diri ini justru lupa diri, tidak menjaga nama baik bapak" tutur Bara. Satu hal yang membuat Bara semakin merasa tidak enak pada pak Sugi, beliau sudah tahu alasan pemecatan Bara, tapi pria itu tidak menghakimi nya, bahkan tidak membahas nya sedikitpun. Bara tahu, pak Sugi menjaga perasaannya.

"Sudah lah. Semua sudah berlalu. Bapak masuk dulu ya" pak Sugi menepuk pundak Bara dan masuk ke dalam. Bara masih enggan meninggalkan kursinya. Dia ingin menikmati rembulan malam, sembari memikirkan nasibnya. Getar ponsel di saku nya menariknya dalam alam nyata.

'Kamu baik-baik saja Bar? aku rindu'

Pesan yang sangat berpengaruh pada suasana hatinya. Dia gembira. Hanya rasa itu yang bisa membuat nya bersemangat. Walau dia tahu, mendapatkan Zahra sangat tidak mungkin, kecuali ada keajaiban yang terjadi dalam hidupnya. Memikirkan keajaiban apa yang mungkin menghampirinya hingga pantas untuk bersanding dengan Zahra?

Ehem..ehem.. "Eh.. Lita" ucap Bara menoleh ke arah suara dehem-an tadi. Gadis itu malu-malu tersenyum, berdiri diambang pintu.

"Lagi apa mas?" sapa gadis itu masih malu-malu.

"Ga ada, cuma duduk, memandangi pesona langit malam. Kamu belum tidur?" Lita menggeleng, memberanikan diri untuk duduk di sebelah Bara, tempat ayahnya tadi duduk.

"Gimana sekolah kamu?" Bara mengantongi kembali ponselnya.

"Baik mas"

"Bentar lagi, Lita naik kelas tiga SMA ya?" kembali gadis itu mengangguk.

"Udah punya pacar dong?" pertanyaan Bara berhasil membuat wajah Lita bersemu merah, semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya. Perlahan gadis polos itu menggeleng.

"Masa gadis secantik ini belum punya pacar" suara tawa renyah Bara berhasil menarik perhatian Lita untuk mengangkat kepalanya. Lita kembali terpesona pada pria yang ada di sampingnya itu. Sejak kehadiran Bara di rumah mereka, Lita sudah terpana asmara, hanya saja malu untuk mengungkapkan nya.

***

Karena Nina Cayapata dan Burhan Pillar sedang keluar negeri, pak Sugi tetap bekerja tadi stay di rumah. Kalau-kalau anggota keluarga yang lain butuh supir, atau para pelayan di rumah itu ada keperluan untuk membeli kebutuhan dapur.

Setelah sampai di rumah Cayapata, baru lah pak Sugi sadar dompetnya ketinggalan. Kalau harus balik lagi, dia takut sewaktu-waktu tuan rumah akan membutuhkannya. Jadi dia meminta Bara untuk mengantar dompetnya.

"Pak Sugi, nyonya besar mau keluar, bapak di minta siapkan mobil" ucap Neneng, salah satu pelayan setia di rumah itu.

Apa yang di takutkan Sugi kejadian. Dia diminta untuk mengantar nyonya besar, sementara SIM nya tinggal.

Tidak lama, Christin keluar, sudah siap untuk berangkat. "Ayo"

Pak Sugi diam, tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia berani berkendara tanpa SIM. "Maaf nyonya, boleh kah kita menunggu sebentar lagi? dompet saya ketinggalan, dan sedang diantar ke sini"

Tepat kalimat itu berakhir, Bara pun tiba. Setelah membayar ojol nya, dia masuk. Saat itu lah kembali dia bertemu muka dengan Christin Cayapata.

Terpopuler

Comments

Fano Jawakonora

Fano Jawakonora

sdh wktunya ungkapkan asal usul bara dong thor jgn bikin bara susah terus

2022-10-03

0

Braiyen Siburian

Braiyen Siburian

lanjutkan

2022-04-28

0

Fatchu Rohman

Fatchu Rohman

itu, dialah Nenek mu Bara

2022-04-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!