18 tahun kemudian..
Sejak ditemukan nya anak laki-laki itu, hidup sepasang suami-istri itu lebih berwarna. Walau pada awalnya mereka mendapat cibiran karena mendapatkan seorang anak yang tidak jelas asal usulnya, tapi baik Parjo atau pun Tini tidak perduli. Dengan penuh kasih, anak itu mereka asuh, memberinya kasih sayang selayaknya anak kandung mereka.
Bara..anak itu diberi nama Bara oleh keduanya, karena memiliki kulit putih, yang jika menangis atau marah akan memerah seperti Bara.
Nama itu ternyata sesuai untuknya. Terbukti, anak itu tumbuh menjadi pria tampan yang kuat. Disegani anak-anak muda, tak hanya di desa nya, bahkan nama Bara juga sudah terkenal hingga desa tetangga.
Wajah yang tampan, lihai bela diri karena memang mengikuti karate yang diajarkan guru olahraga nya sepulang sekolah.
Ketampanan Bara, kadang juga membawa masalah tersendiri baginya. Banyak para gadis desa, bahkan putri bupati juga ikut meliriknya, namun bagi seorang Bara, urusan asmara itu tidak penting. Beberapa gadis bahkan nekat datang ke rumahnya, mencari perhatian pada kedua orang tuanya, agar mau diterima jadi mantu. Tidak jarang para gadis dari di desa itu menjadi bertengkar karena ingin mendapatkan perhatian Bara. Namun tidak ada satu gadis pun yang mampu menggetarkan hatinya. Terbukti, masa SMAnya dilalui dengan status jomblo akut yang disematkan oleh kedua sahabatnya.
Bagi Bara, tujuan hidupnya hanya ingin menghasilkan uang yang banyak, agar bisa membahagiakan orang tuanya.
Rasa sayangnya yang besar pada Parjo dan Tini bukan tanpa alasan. Bara sudah tahu hikayatnya dari para warga desa yang dengan gamblangnya mengatakan dia bukan anak kandung Parjo dan Tini. Bara adalah anak yang dibuang oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab.
Dendam, dan sakit hati. Itulah yang mengisi jiwa dan hati Bara selama 18 tahun ini. Benci pada orang yang sudah membuangnya dan menganggapnya sampah hingga harus di letakkan dijalan malam itu.
Pernah suatu kali, saat itu Bara yang sudah duduk dikelas dua SMA, bermain gitar bersama teman-temannya di perempatan jalan dekat warung tempat mereka biasa nongkrong sehabis magrib. Bu Wati, istri pak Kades lewat dan menyapa Bara.
"Ra, seandainya ibu yang menemukan kamu lebih dulu, pasti akan ibu rawat dan berikan kehidupan yang lebih layak lagi buatmu. Kamu kok bisa ganteng banget sih? ga cocok jadi anak suami istri miskin itu" ujar Bu Wati duduk didekat Bara.
"Ibu jangan sembarang kalau bicara, Aku ga terima ibu hina orang tuaku" ucapnya berdiri. Risih duduk di dekat Bu Wati, yang semua warga juga tahu dia wanita genit, yang suka bermain cinta pada anak lajang di desa itu. Dan kali ini targetnya adalah Bara.
Tubuh Bara memang tinggi. Kulit putih dan wajah bersih bak pangeran. Melihat postur tubuhnya, tidak akan ada yang menduga anak itu masih 17 tahun.
Tak terima mendengar penuturan istri kepala desa yang memang hobby bergosip, Bara menanyakan kebenaran pada Tini. Wanita yang sudah semakin tua itu tidak bisa mengelak lagi.
Dulu saat SD dan SMP, ketika Bara diejek oleh teman-temannya sebagai anak haram yang di buang, Bara akan berlari sambil menangis menemui Tini atau Parjo untuk bertanya kebenaran nya, tapi selalu berhasil menenangkan tangis Bara dan mengatakan itu semua hanya omong kosong. Mereka adalah orang tua kandungnya, dan Tini yang melahirkannya.
Tapi tidak untuk sekarang ini. Bara sudah tidak bisa di bohongi, dan mungkin inilah saatnya anak itu tahu kebenarannya.
Reaksi Bara terlalu sulit untuk diekspresikan. Terlalu datar. Tapi satu yang pasti, dia membenci orang tua kandungnya.
Berjalannya waktu, Bara tumbuh menjadi pria keras. Tidak banyak bicara dan menjadi dingin. Rasa bencinya pada kehidupan ini membuatnya menjadi pribadi yang tertutup.
Baginya hidup adalah untuk uang, agar tidak diinjak dan dihina orang. Dia ingin mengangkat harkat orang tuanya.
Tak ada yang bisa Bara lakukan untuk membalas jasa orang tua nya, selain berbakti.
"Bu, nanti kalau ijazah ku udah keluar, aku mau pamit, izin merantau ke ibukota ya Bu" ucap nya memijit kaki Tini yang rebahan di dipan bambu.
Bara menatap wajah lelah ibunya. Wanita tua itu harus ikut banting tulang meringankan beban keluarga. Mereka butuh banyak uang untuk menyekolahkan Bara. Walau di sekolah pun Bara mendapat beasiswa dan tidak membayar SPP, tapi Parjo dan Tini yang memang adalah keluarga yang paling susah di desa itu tetap merasa kesulitan untuk membiayai Bara.
Tini tidak ingin, Bara ketinggalan oleh teman-temannya, baik dari segi pakaian dan alat sekolah.
Saat hasil dari lahan tidak bisa mencukupi semuanya, Tini menjadi tukang cuci dan menyetrika di rumah orang-orang kaya di desa itu dan desa sebelah.
Sementara Bara, sepulang sekolah akan pergi ke ladang untuk membantu ayahnya hingga petang. Walau hanya mempunyai waktu sedikit untuk belajar, nyatanya otak Bara memang encer, selalu berhasil menyabet juara umum di sekolah.
Bahkan pernah suatu kali mengikuti lomba sains se-kabupaten, Bara menyabet juara satu. Hasil dari kejuaraan itu, yaitu uang sebesar 2 juta di raihnya dan di serahkan pada Parjo untuk di belikan dua ekor kambing.
Parjo dan Tini begitu bangga pada Bara. Tuhan sangat baik, mengirimkan sosok anak yang begitu patuh dan menghormati mereka selayaknya orang tua.
"Kenapa harus ke ibu kota nak" sahut Tini menurunkan kakinya, duduk tegak menatap Bara. Walau sudah hampir delapan belas tahun, tapi Tini belum rela untuk berpisah dari anak itu.
"Aku ingin mendapat pekerjaan yang lebih bagus Bu. Bisa menghasilkan uang yang lebih banyak untuk bapak dan ibu" terangnya meminta restu. Bagiamana pun jika ibu nya bilang jangan pergi, dia tidak akan pergi.
Baginya restu kedua orang tuanya adalah jimat dan pelindung bagi langkahnya. Dia ingin pergi dari desa itu, dan kembali dengan pria sukses yang membuat orang yang selama ini menghina keluarga, berbalik menatap mereka nantinya.
"Apa kau sudah pikirkan masak-masak?" suara Parjo terdengar dari balik pintu bambu. Pria itu baru saja menyelesaikan mandinya selepas pulang dari ladang tadi.
"Sudah pak. Jika bertahan di desa ini, aku paling juga akan jadi buruh harian di ladang orang. Mencangkul dan membantu orang bertani. Atau paling hebat, jadi karyawan pabrik ikan di kota" ucap nya menatap Parjo.
Pria yang di kepalanya kini penuh uban itu hanya manggut-manggut mengerti. Duduk di bale-bale. Sigap Bara berpindah tempat, agar bisa memijit kaki bapaknya.
"Bapak dan ibu hanya bisa mendoakan mu. Semoga cita-cita mu tercapai. Kau bisa meraih kebahagiaan mu, nak" ucap Parjo menepuk-nepuk punggung Bara pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Z3R0 :)
awal sad berakhir happy
2022-07-09
0
Braiyen Siburian
semangat bara...
2022-04-28
0
Samuel Rexon
mantap 👍
2022-03-27
0