Bab 3

Hari yang ditunggu Bara tiba. Sudah sejak pukul lima pagi dia bangun. Masak air untuk membuat kopi Parjo dan membuat nasi goreng untuk sarapan mereka bertiga.

Bara ingin melayani orang tuanya hari itu sebelum berangkat ke Jakarta. Biasanya. Setiap pagi, Bara lah yang membelah kayu, untuk di pakai masak oleh Tini, nanti tugas itu akan kembali pada Parjo. Melihat kedua orang tuanya yang sudah tua, Bara sebenarnya tidak ingin meninggalkan mereka, tapi hanya dengan merantau Bara bisa mencari uang lebih banyak, dan berjanji segera menjemput ibu bapak nya bersama nya nanti.

"Kau sudah bangun nak" suara Tini dari belakangnya membuatnya membalikan tubuh melihat kearah ibunya.

"Sudah Bu. Duduk dulu, sebentar lagi kita sarapan"

Tini hanya menatap punggung Bara. Anak terkasih nya itu kini sudah dewasa dan sebentar lagi akan berpisah untuk waktu yang dia sendiri tidak tahu sampai kapan.

Selain miskin dan serba kekurangan, yang di miliki keluarga itu hanya lah keramahan dan hati yang bersih. Walau banyak tetangga yang tidak senang karena pasangan itu akhirnya mempunyai anak yang entah berasal dari mana, tapi mereka menyukai Bara dengan segala kecerdasan dan sifat nya yang suka membantu.

Hal utama yang dia ingat hasil didikan orang tuanya adalah berpegang pada kebenaran dan juga harus jujur.

Waktu untuk berangkat tiba. Parjo dan Tini bersikeras ingin mengantar Bara ke stasiun bus antar provinsi yang ada di kota, walau Bara sudah melarang mereka. Ada dua hal yang membuat Bara tidak ingin diantar, pertama karena akan merepotkan kedua orang tua renta itu saat akan kembali ke desa mereka, selain karena biaya juga karena mereka sudah tua untuk melakukan perjalanan selama empat jam ke kota, belum lagi kaki Tini sedang sakit karena dua hari lalu menginjak pecahan kaca di rumah tetangga tempat nya mencuci.

Alasan kedua, Bara tipe orang yang sulit untuk mengucapkan kata perpisahan pada orang-orang yang di sayangnya. Biarlah hatinya menangis, di balik punggung mereka.

"Kamu baik-baik di sana, nak. Jaga diri, jaga kesehatan mu" ucap Tini masih terisak memeluk tubuh kekar Bara yang berusaha untuk tegar. Pertahanannya hampir jebol melihat air mata ibunya, wanita yang paling dia kasihi, yang dari padanya Bara bisa hidup hingga saat ini dengan penuh kasih sayang.

Mungkin darah yang berbeda mengalir dalam tubuh mereka, tapi tidak masalah. Cintanya pada Tini akan membuat nya menjadi pribadi kuat, berjuang untuk bisa membahagiakan kedua orang tuanya.

"Jaga diri. Jangan menjual kejujuran mu, terlebih jangan meninggalkan Tuhan mu" ucap Parjo menepuk punggung Bara sebelum melangkah naik ke dalam bus yang akan membawanya menjemput impian.

Hampir dua hari barulah Bara tiba di ibukota. Harus nya tidak perlu selama itu, tapi apa mau di kata bus yang di tumpangi mogok di perbatasan kota dini hari, hingga harus menunggu bantuan untuk memperbaiki.

Rasa penat dan lelah, menyatu dengan perutnya yang sangat lapar. Di perjalanan saat bus berhenti untuk sejenak istirahat makan dan minum, Bara memilih mengisi ulang air dalam botol kemasan yang dia beli di loket kampung halamannya.

Rasa pusing pun menyerangnya. Dia sendiri tidak tahu harus melangkah kemana sekarang, tidak ada sanak saudara, atau pun orang yang di kenal. Merantau ke kota besar seperti ini hanya bermodalkan nekat dan tekat yang kuat. Dia juga harus menghemat uang dalam saku nya yang di pisah di kedua kantong.

"Jangan satu kan uangmu. Di perjalanan banyak orang jahat. Bisa saja pas kamu tidur, tas mu di susup pencuri, maka jangan masuk kan dalam tas" nasehat Parjo yang diangguk Bara.

"Dalam dompet juga jangan. Jakarta banyak copet, terlebih di terminal. Masukkan dalam kantong celana bagian depan, pisahkan kiri dan kanan"

"Baik pak"

Dan itu lah yang di lakukan Bara. Saat seorang penumpang yang sama dengan nya dari bus tadi berteriak kehilangan dompet, Bara hanya bisa menatap kasihan pada pria itu. Tapi mau membantu pun dia bisa apa?

Bara sudah memperhitungkan kalau dalam tiga hari dia tidak mendapat pekerjaan, dia akan mati kelaparan dan jadi gembel di ibu kota ini.

Maka setelah selesai menghabiskan makan siangnya di warteg hanya dengan memesan nasi putih dengan lauk dua potong tempe dan sambal, Bara bergegas menyusuri terminal.

Asik berjalan menatap langkahnya, seketika telinga nya mendengar deru langkah orang berlari. Seketika menoleh kebelakang dan  seorang pria bertubuh besar berlari ke arahnya yang di kejar oleh seorang pria awal 50 tahunan  sembari berteriak.

"Tolong, dia mencopet dompet saya"

Tepat ketika pria itu melintas di depannya, Bara langsung memukul pria yang di duga nya adalah pencopet yang di teriaki si pria tua.

Perkelahian pun terjadi antara Bara dan juga si pencopet. Walau berbadan besar, tidak sulit bagi Bara untuk melumpuhkannya dalam waktu singkat.

"Ampun..ampun.." ucap si pria besar setelah tangannya di kunci oleh Bara dari belakang.

Bara menghentak, melepaskan tangan pria itu dan berdiri tegak sementara si copet meringis kesakitan terjerembab ke tanah. Dengan mudah Bara mengambil dompet hitam itu dari tangan di pencopet. Saat menyerahkan barang itu pada si pemiliknya, pencopet pun bangkit dan langkah seribu.

"Terimakasih banyak anak muda. Terimakasih" ucap nya berulang-ulang sebagai bentuk rasa syukurnya.

"Sama-sama pak. Coba di cek lagi, ada yang hilang?"

"Tidak ada nak. Sekali lagi terimakasih"

Bara hanya mengangguk hormat, sebelum berlalu pergi. Si bapak yang sudah di tolong mengamati punggung itu yang menjauh.

"Tunggu" langkah Bara terhenti dan berbalik menghadap pria itu.

"Kamu bukan orang sini?"

"Iya pak"

"Baru tiba juga ya. Mau merantau cari kerja apa mau melanjutkan sekolah?" pria itu berjalan menghampiri Bara, kedua nya kemudian berjalan beriringan.

"Cari kerja pak"

"Di sini mau tinggal sama siapa? di jalan mana alamatnya, nanti biar saya antar"

"Saya ga punya kenalan atau saudara di sini pak"

"Loh, jadi nanti malam tidur dimana kamu?" logat Jawa bapak ini begitu kental. Bara hanya diam, mau jawab apa coba, dia memang tidak punya tujuan walau sekedar bermalam.

Seakan paham kondisi Bara, pria itu menepuk pundak Bara dua kali, hal yang sama mengingatkan Bara pada Parjo.

"Saya Sugito. Nama kamu siapa?"

"Oh..saya Bara pak"

"Bara, bagaimana kalau kamu ikut bapak pulang. Tinggal sama bapak sampai kamu dapat kerja"

Wajah Bara sumringah. Kata Tono, teman nya di kampung, di Jakarta tidak ada orang baik, hanya ada orang jahat. Tapi nyatanya, Bara beruntung bisa bertemu pak Sugi, orang berhati malaikat yang menolongnya di rantau.

Terpopuler

Comments

Z3R0 :)

Z3R0 :)

lanjut meskipun sepi

2022-07-09

3

Braiyen Siburian

Braiyen Siburian

lanjutkan teruslah ceritanya dulu

2022-04-28

1

Samuel Rexon

Samuel Rexon

lanjutkan 👍

2022-03-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!