Melvin masih memegangi potongan rambutnya dengan perasaan kesal. Bagian rambut yang sengaja ia panjangkan selama 3 tahun harus terpotong gara-gara wanita bar-bar itu.
"Sudahlah, kenapa dipegangi terus. Buang saja, nanti juga rambutmu bisa tumbuh lagi." ujar Ardi seraya meletakkan sekaleng minuman dingin di hadapan Melvin.
Ini bukan hanya sekedar masalah rambut yang terpotong, tapi juga harga diri yang hilang. Ruby melakukannya di depan banyak orang.
"Ini ada pengaduan lagi ya tentang kasus pelecehan sek*sual? Aku kira setelah dosen di fakultas hukum itu terbukti bersalah, tidak akan ada lagi pengaduan seperti ini."
Fero membawa selembar kertas yang baru dia ambil dari kotak aduan yang dipasang di depan ruang kerja DKK.
"Mana coba lihat?" Ardi merebut kertas dari tangan Fero secara paksa. "Justru menurutku setelah kasus dari dosen fakultas hukum itu mencuat akan semakin banyak yang berani speak up lagi." katanya.
"Memangnya kampus ini banyak dosen ca*bul, ya?" Rafa menyambung obrolan setelah keluar dari toilet.
"Tidak usah jauh-jauh bilang dosen ca*bul. Mahasiswa ca*bul sepertimu juga ada!" celetuk Fero.
"Ah, sialan kamu!" Rafa melayangkan tinju ke lengan Fero.
"Benar kan, ucapanku....? Memangnya kamu masih perjaka? Sudah berapa banyak mahasiswi partner ONS yang sudah kamu unboxing?"
"Kalau suka sama suka dan saling menikmati beda dong ceritanya.... " Rafa berusaha membela diri.
"Yakin mereka menikmati? Jangan-jangan kamu ancam makanya pada nurut begitu." desak Fero.
"Yakali ada orang diancam malah ketagihan sampai kejar-kejar terus minta nambah."
"Hahaha.... Sumpah ya, teman kita yang satu ini rasa percaya dirinya kelewat batas." gumam Ardi.
"Kalian kayak yang masih perjaka saja.... Siapa sih di antara kita yang belum pernah main dengan perempuan?"
"Ada.... Reino." jawab Ardi.
"Yah, dia masih anak-anak."
"Dimana dia? Daritadi belum kelihatan di sini." Fero melihat ke sekitar, Reino belum juga datang.
"Biasalah, paling di perpustakaan."
"Vin! Sudah kenapa, sih? Rambut terus dipegang-pegang. Kamu masih perjaka apa nggak sih, Vin?"
Melvin yang awalnya mengabaikan percakapan teman-temannya, mendengar namanya disebut dan ditanya hal seperti itu, ia langsung melirik tajam ke arah Rafa.
"Weh, beraninya tanya seperti itu kepada Lord Melvin."
"Soalnya kita juga sering mabok bareng, tapi Melvin tidak pernah booking kamar di klab. Pelit banget jadi orang, Vin."
"Yang hobi celap-celup sembarangan cuma kamu, Raf. Sudah gila ya tanya yang begituan sama Melvin."
"Siapa bilang aku suka sembarangan seperti itu? Aku pilih-pilih partner juga kali.... "
"Melvin dulu juga masih punya pacar, masa ngamar dengan wanita lain. Kalaupun iya, kan ada Renata. Iya kan, Vin?"
"Aku belum pernah." jawab Melvin.
"Apa!?" ketiga temannya kaget secara serempak.
"Aku belum pernah tidur dengan wanita manapun termasuk Renata. Memangnya kenapa?"
"Oh, tidak apa-apa, Vin. Pertahankan."
"Ternyata kita punya dua perjaka di tim. Hahaha...."
"Hm, ramainya.... "
Reino baru datang. Sejak dari pintu masuk ia sudah mendengar suara tawa dari arah dalam. Sepertinya teman-temannya sedang membicarakan tentang hal yang menarik.
"Adik kita akhirnya datang juga." Rafa merangkul Reino yang baru datang. Dia kelihatannya senang sekali anggota timnya sudah lengkap.
"Ada lima surat aduan yang aku dapatkan dari kotak dekat loker fakultas ekonomi." Reino meletakkan kelima surat yang ia dapatkan di atas meja.
"Apa lagi ini?" tanya Fero.
"Tentang prostitusi online dan pelecehan sek*sual."
"Lagi-lagi tidak jauh dari hal seperti itu. Apa dosen-dosen di kampus kita ini sang*ean dan mahasiswinya murahan?"
"Bahasamu itu Raf, jaga sedikit kenapa?" tegur Ardi.
"Setahuku fakultas itu memang banyak yang jadi ayam kampus, sih. Jangan-jangan kamu juga pernah mencicipi mereka, Raf?"
"Sialan kamu, Fer! Aku terus yang kena. Aku bilang kan hanya menjalani hubungan suka sama suka, aku tidak pernah membayar mereka. Lagipula yang tidur denganku anak-anak pengusaha juga. Untuk apa jadi ayam kampus kalau hanya dapat uang recehan?"
"Mungkin pelakunya mahasiswa miskin." ucapan Melvin berhasil menyita perhatian. Sepertinya perkataannya itu menarik dan masuk akal.
"Kita tahu kalau mahasiswa kampus ini sebagian besar, mungkin sekitar 80 sampai 90 persen berasal dari golongan ekonomi atas. Sisanya golongan ekonomi menengah ke bawah yang mengandalkan beasiswa untuk bersekolah di sini."
"Dengan gaya hidup yang tinggi di sini, aku yakin mereka akan tertekan jika tidak mampu mengikuti. Karena itu, mereka mencari jalan lain agar bisa bertahan. Salah satunya dengan menjadi ayam kampus."
"Penjelasanmu masuk akal juga, Vin." Ardi mengiyakan ucapan Melvin.
"Tapi, aku heran dengan anak baru itu, Vin, yang berani memotong rambutmu di kantin tadi. Dia benar-benar bisa berpenampilan apa adanya di kampus ini." guman Fero.
"Pakaian yang dikenakannya kelihatan sekali barang murah, tapi aku salut dia tidak mau berpakaian seperti itu di kalangan anak-anak fakultas ekonomi yang terkenal sebagai dewinya kampus."
"Itu baru awal, Fer. Lama kelamaan juga muncul aslinya."
Reino menyimak percakapan itu. Pandangannya fokus pada rambut kakaknya. Memang, rambut bagian belakang yang sengaja dipanjangkan itu sudah putus. Sepertinya apa yang Ruby ceritakan padanya di perpustakaan itu memang benar. Rambut Ruby terpotong dan rambut kesayangan kakaknya juga terpotong.
"Seharusnya kampus tidak perlu bersikap baik untuk berpura-pura dermawan menampung mahasiswa jalur prestasi dari kalangan ekonomi lemah."
"Tanpa kehadiran mereka juga kampus kita sudah sangat terkenal dan berprestasi."
"Keberadaan mereka di kampus justru hanya menjadi sampah, memperburuk citra kampus. Apalagi beberapa kasus prostitusi yang berhasil kita bongkar juga kebanyakan dari mahasiswa kere yang kekurangan uang."
"Aku yakin cewek bar-bar itu juga jadi bagian dari jaringan prostitusi itu."
"Maksudmu Ruby?" tanya Ardi.
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia."
"Kak, kenapa kamu asal menuduh begitu?" Reino angkat bicara merasa tidak suka kakaknya berbicara seperti itu tentang Ruby. Reino tahu seperti apa Ruby. Dia anak yang baik. Bahkan, meskipun tidak sekaya dulu lagi, dia mau bekerja keras demi kuliahnya.
"Kenapa, Rei? Aku hanya belajar dari pengalaman."
"Dia tidak seperti itu."
"Darimana kamu tahu? Sudah lupa dengan kasus buku harian itu?"
"Itu bukan miliknya."
"Belum tentu juga. Siapa tahu itu memang miliknya. Kalau sampai terbukti, aku pastikan dia akan langsung masuk penjara."
"Kak, berhentilah mengganggunya. Dia hanya mahasiswa baru yang ingin fokus dengan kuliahnya."
Melvin membulatkan mata mendengar adiknya berani membela wanita yang paling ia benci di kampus itu.
"Apa aku tidak salah dengar? Apa kamu sedang berusaha membelanya?" Melvin tertawa kecil seraya menepuk pundak Reino.
Reino menatap balik tatapan Melvin beberapa saat. Setelah itu ia berbalik dan berjalan pergi meninggalkan ruangan dengan ekspresi wajah datar.
"Adikmu kenapa?" Rafa terheran-heran melihat tingakah Reino yang pergi begitu saja.
"Baru kali ini aku melihat Reino berusaha membela seseorang. Apa jangan-jangan dia dan Ruby punya hubungan?"
"Jangan mengada-ada. Reino itu tipe yang sulit dekat dengan wanita. Dia hanya tertarik dengan belajar."
"Bagaimana menurutmu, Vin?"
Melvin mengepalkan tangan. Saat adiknya membela orang lain di depannya, ada rasa kecewa bercongkol di hatinya. Mereka saudara, seharusnya saling dukung apapun yang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
hiihh, mulutnya
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
aduhh, mulutnya
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
eaa,,, mantep dong si pari masi fresh🤣🤣🤣
2023-11-07
0