Ruby mengatur nafasnya setelah berlari dari area kantin menuju area taman. Dia sudah tidak bisa lagi memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah berani memotong ekor ikan pari. Apalagi tadi dia juga menyiramkan makanannya ke wajah Melvin. Lelaki itu pasti akan semakin dendam padanya.
Ia duduk di bangku taman yang berada tepat di bawah pohon. Semilir angin yang menerpa sedikit menenangkan perasaannya.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Sikap duduk Ruby yang semula santai langsung berganti ke pose siap ketika Pak Ben mendatanginya.
"Untukmu!" Pak Ben menyerahkan sebotol air mineral dan sebungkus roti.
"Terima kasih, Pak." ucapnya seraya menerima pemberian dari dosen baik hati itu.
"Dimakan, ya.... "
Ruby mengangguk. Entah mengapa Pak Ben sepertinya tahu kalau Ruby memang masih lapar. Apalagi tadi sempat lari. Rasanya makanan yang baru saja ia makan di kantin sudah habis dan perutnya kembali kosong.
"Rambutmu jadi jelek begini." guman Pak Ben ketika memperhatikan ada bagian rambut Ruby yang terpotong tidak rapi.
"Tadi dipotong orang gila, Pak, waktu di kantin."
"Saya tahu, tadi saya juga sempat lihat."
"Kehidupan kampus saya jadi berat, Pak. Gara-gara orang gila itu." katanya sembari mengunyah roti pemberian Pak Ben.
"Ya, mau bagaimana lagi? Dia salah satu anak pemilik kampus. Seharusnya kamu tidak perlu mencari masalah dengannya."
"Bukan saya duluan Pak, tapi dia dulu yang cari gara-gara.... "
"Iya, tapi tetap saja, jadi kamu yang susah sendiri. Biasanya yang punya masalah dengan mereka bakalan out sendiri dari kampus karena tidak kuat dengan tekanan yang datang."
"Saya hanya mau keluar setelah lulus, Pak. Kalau dalam waktu dekat ini sih tidak ada rencana keluar."
"Hahaha.... Kamu baru semester dua, masih lama kalau membahas tentang kelulusan."
"Bagaimana dengan kegiatan perkuliahan, apa ada kendala juga?"
Ruby meneguk air minum untuk menghilangkan dahaganya, "Sejauh ini belum ada, Pak. Hanya tugas dari Bapak saja yang menurut saya paling menyusahkan."
Pak Ben mengerutkan dahi, "Lah, kok begitu?"
"Mahasiswa Bapak yang lain sebenarnya juga mengeluhkan hal yang sama. Memangnya tidak ada yang pernah protes, ya?"
"Tidak.... Mahasiswa saya kan anak yang rajin-rajin semua."
"Kami tidak rajin, Pak. Sebenarnya terpaksa karena punya dosen terlalu rajin dan disiplin."
"Masa setiap minggu tugasnya banyak, deadline mepet, belum lagi tugas dari dosen-dosen lain. Hah.... Rasanya mau menjerit."
"Hahaha.... Tapi semua mahasiswa saya ternyata bisa kan mengerjakan tugas dari saya?"
"Terpaksa, Pak.... Bapak kan terkenal sebagai dosen ganteng yang tegas dan pelit nilai."
"Oh, saya baru tahu kalau kamu menganggap saya ganteng."
"Bukan saya, Pak.... Maksudku mahasiswa yang lain."
"Kalau menurut kamu sendiri, saya bagaimana?"
"Menurut saya, Bapak biasa saja." ucapnya dengan lugas. "Bapak sudah tua."
"Hem, baru sekali ini ada yang mengatakan saya tua. Saya masih 27 tahun, loh."
"Iya, tahu. Maksudnya kalau dibandingkan dengan saya, Bapak kan memang sudah tua."
"Baru kali ini ada mahasiswa yang terang-terangan bicara seperti ini kepada saya, loh."
"Saya kan jujur, Pak."
"Sudah biasa dapat sanjungan setiap hari ya, Pak? Memang banyak sih mahasiswa yang naksir Bapak."
"Hem, saya tidak tahu. Saya kan hanya mengajar bukan mengurusi masalah asmara pribadi."
"Masa selama mengajar belum ada yang membuat Bapak tertarik sama sekali?"
"Belum. Saya kan sudah bilang, saya sibuk mengajar."
"Ya, ya, ya.... Bapak memang dosen teladan."
"Ah, sebentar lagi saya ada kelas. Kalau kamu sendiri bagaimana, masih ada kelas?" Pak Ben melirik jam tangannya.
"Tidak, Pak. Dosennya tidak masuk, hanya memberikan tugas. Ini nanti saya juga mau mengerjakan tugasnya di perpustakaan."
"Kalau kamu ada kesulitan dengan tugas, bisa temui saya di kantor. Saya bantu kalau bisa."
"Terima kasih, Pak." Ruby mengacungkan jempolnya.
"Saya masuk kelas dulu. Kamu hati-hati."
Pak Ben sempat menepuk kepala Ruby sebelum pergi. Pak Ben memang baik hati makanya banyam mahasiswa yang menyukainya. Kelemahannya hanya satu, sama seperti penyakit dosen muda lainnya, terlalu rajin memberikan tugas segunung.
Ruby menghabiskan makanannya. Ia sangat berterima kasih sekali kepada Pak Ben yang sudah memberikan makanan yang sangat dibutuhkan perutnya.
Setelah makanannya habis, ia berjalan menuju perpustakaan. Seperti yang ia rencanakan, Ruby akan langsung mengerjakan tugas yang diberikan dosen agar tugasnya tidak menumpuk dengan tugas-tugas yang lain.
Suasananya cukup lengang, tak terlalu banyak orang. Sorot mata Ruby menangkap sosok Reino dengan jeli. Lelaki itu duduk di area paling pojok dan tampak serius dengan bukunya.
Bruk!
Suara Ruby meletakkan buku di meja menyita perhatian Reino.
"Rambutmu kenapa?" tanyanya. Rambut menjadi hal pertama yang ia perhatikan karena bentuknya memang berantakan.
"Tanyakan sendiri kepada kakakmu."
"Kamu berurusan dengan kakakku lagi?"
"Aku tidak melakukan apa-apa.... Dia yang setiap hari menggangguku."
"Mana mungkin kakakku punya banyak waktu untuk mengganggumu setiap hari?" Reino seakan ragu mengingat kakaknya juga punya banyak kesibukan untuk mengurusi masalah kampus dan perusahaan. Tidak mungkin kakaknya hanya sekedar iseng meluangkan waktu untuk mengganggu Ruby.
"Dia memang seperti pengangguran kurang kerjaan. Coba saja katakan padanya untuk tidak membuat masalah denganku lagi."
"Aku sudah cukup stres dengan tugas-tugas kampus."
"Tugas apa yang mau kamu kerjakan?"
"Pengantar Akuntansi."
"Hm, apa dosennya Pak Hariyadi?"
"Kamu kenal? Dosen tua itu huh.... nggak pernah kira-kira kalau memberikan tugas."
Ruby mulai menyalakan laptopnya.
"Dia dosen yang baik."
"Baik darimana? Stres yang ada suka marah-marah terus kalau di kelas. Tugas yang diberikan juga susah."
"Susah kalau malas membaca."
Reino bangkit dari duduknya lalu berpindah ke sisi Ruby. Jantung Ruby seketika berdebar-debar ketika Reino ada di sebelahnya dalam jarak yang dekat.
"Mana tugasnya?"
"Yang ini."
Ruby membukakan dokumen berisi tugas yang sudah ia kerjakan namun belum selesai.
"Kamu sudah dapat mata kuliah statistika?"
"Iya, ada."
"Laptopmu perlu diinstall beberapa aplikasi supaya nanti lebih mudah mengerjakan tugas. SPSS, Eviews, dan Stata harus ada di laptop."
Ruby mendengarkan penjelasan yang diberikan Reino dengan cermat. Menurutnya, penjelasan Reino lebih mudah dipahami daripada dosennya. Tugas yang seharusnya ia selesaikan seharian bisa selesai dalam waktu dua jam saja.
Ruby meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah menyelesaikan tugas. Di sampingnya Reino sudah tertidur di atas meja. Mungkin karena lama menungguinya.
Ia ikut meletakkan kepalanya di atas meja, memandangi sosok lelaki baik yang selalu datang di saat-saat yang tepat. Wajahnya saat tertidur terlihat begitu damai bagaikan sosok pangeran sempurna yang selalu ia impikan. Entah mengapa tangannya seakan menjulur sendiri mengusap pipi Reino begitu saja tanpa sadar.
Reino membuka matanya ketika merasakan ada sentuhan di pipinya. Ruby mematung. Tingkahnya dipergoki oleh lelaki yang ada di hadapannya. Reflek ia ingin melepaskan tangannya, namun Reino justru menahannya.
"Jangan dilepas. Aku suka kamu sentuh seperti ini."
Raut wajah Ruby langsung memerah karena malu.
"Kenapa rasanya nyaman sekali berada di dekatmu seperti kita sudah lama saling mengenal."
Keduanya saling berpandangan dalam diam. Dari pertemuan-pertemuan yang tak disengaja serta obrolan sederhana dan tak bermakna, akhirnya kini mereka benar-benar bisa bertemu di kampus yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
wkwkwkwkkk, tua gk tuh
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
wkwkwkw, rajin didepan pak Ben aja kali🤣🤣
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
wkwkwkw
2023-11-07
0