PURA-PURA MISKIN
Ruby sibuk memainkan sedotan di dalam gelas berisi jus alpukat yang dipesannya. Sementara, ketiga temannya terlihat asyik memperbincangkan hal-hal random seputar kehidupan kampus mereka.
Ruby tidak tertarik dengan apa yang mereka bahas. Teutama bagian menjelek jelekkan sesama teman kampusnya ketika di belakang. Mungkin jika ia tidak ikut, bisa saja gilirannya menjadi bahan gunjingan.
Kehidupan kampus yang baru dijalani selama satu semester berjalan begitu membosankan. Kebanyakan mahasiswa di tempatnya lebih mengutamakan penampilan daripada belajar. Datang ke kampus tujuan utamanya untuk pamer barang barang bermerk atau pengalaman liburan keluar negeri.
Ruby bukanlah orang yang kaget dengan gaya hidup seperti itu. Dia sendiri sudah terbiasa mengenakan barang barang bermerk, karena memang orangtuanya mampu untuk membelikannya. Tapi, menurutnya, apapun outfit yang dipakai ke kampus tidak lebih penting dari mendengarkan pelajaran yang diberikan oleh dosen.
“Iya sih, aku tidak menyangka keluarga Selena bisa bangkrut begitu. Ayahnya terjerat kasus korupsi lagi. Benar benar mengerikan.” Ucap salah seorang teman Ruby yang berambut pendek.
“Hati-hati, mulai sekarang jangan dekat dekat dengannya. Nanti dikira ayah kita juga terlibat korupsi lagi.”
“Aduh! Aku minggu lalu padalah baru nonton bareng dia loh…. Kemarin juga dia mengirim pesan mau ajak jalan lagi.”
“Jangan mau! Nanti kau ikut ikutan dikucilkan teman.”
“Oh, iya. Ve, itu jam tanganmu baru, ya?”
“Ah, ini…. Iya, pacarku yang membelikannya dari USA.” Ucapnya bangga. Sementara, Ruby membuang muka seraya tersenyum. Pasalnya, ia melihat ketika Venya mebeli ja tangan itu di pasar penjualan barang-barang tiruan yang harganya juga lumayan karna sangat mirip. Demi mendapatkan sanjungan dari orang lain, terkadang orang juga bisa melakukan penipuan.
“Beruntung sekali kamu punya pacar pengusaha. Sesekali kenalkan pengusaha muda yang sudah sukses seperti pacarmu.”
“Hahaha…. Makanya sering sering datang ke pesta. Aku juga ayahku yang mengenalkannya.”
“Beruntung banget sih kau…. “
Ruby kembali ingin tertawa. Sulit untuk menemukan pengusaha muda yang sudah sukses tapi masih lajang. Kebanyakan mereka sudah beristri atau bertunangan. Kalau mau mencari yang kaya tapi sudah mapan, cari saja duda. Tapi kebanyakan juga sudah tua seperti ayahnya.
“Eh, aku pamit dulu, ya. Ada janji soalnya.” Pamit Ruby yang sudah tidak betah berada di sana.
“Yah…. Kok buru buru.”
“Pasti janjian sama pacar ya, By?”
“Hahaha…. Aku tidak punya pacar. Aku mau mengerjakan tugas saja bareng teman.”
“Rajin banget…. Kalau sudah selesai, ajari kami, ya…. “
“Oke.” Jawabnya enteng. “Pesanan kalian akan aku bayar sekalian. Have fun, ya.” Ucapnya sembari tersenyum lalu berjalan pergi menuju kasir.
“Yey! Ruby memang yang terbaik!”
Kadang Ruby suka aneh dengan mereka. Membeli barang yang mahal saja mampu, tapi kalau ngajak nongkrong malah lebih sering berharap ditraktir. Ruby tidak ambil pusing dengan hal itu. dia memang bisa mendapatkan teman karena banyak uang dan lumayan cantik. Katanya bisa meningkatkan keestetikan circle pertemanan kalau ada dirinya.
Bagi mereka, teman Ruby, nilai tinggi sepertinya bukan tujuan utama. Yang penting bisa lulus, itu sudah cukup. Selebihnya adalah tugas keuarga untuk memasukkan mereka ke dalam jabatan jabatan penting dalam bidang bisnis maupun pemerintahan. Hal ini biasanya disebut dengan ‘the power of orang dalam’.
Ya, istilah itu bukan sebatas isapan jepol belaka, melainkan sesuatu yang memang lazim terjadi di sekitar Ruby. Bahkan ayahnya sendiri pernah bilang kalau dirinya tidak perlu terlalu stres dengan mata kuliah di kampus. Asalkan bisa lulus saja sudah cukup untuk kepantasan. Apa lagi anak perempuan, tidak perlu pintar pintar karena yang bertugas mencari uang adalah kaum lelaki. Sementara, tugas kaum wanita untuk menikmati hasil kerja keras lelaki.
Tentu saja itu bukan sesuatu yang Ruby harapkan. Dia kuliah karena ingin menjadi pintar. Meskipun otaknya pas pasan, tapi semangatnya agar bisa menjadi seorang pebisnis wanita sukses sangat tinggi.
Ruby tak pergi kemana mana setelah jalan dengan teman temannya. Ia langsung pulang ke rumahnya yang besar namun sangat sepi. Direbahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah seraya menghela nafas panjang. Hanya dia sendiri yang menepati rumah sebesar itu bersama para pelayan tentunya. Ibunya sudah meninggal sekitar lima tahun lalu saat ia masih kelas 1 SMP.
Sedangkan ayahnya, sering pergi ke luar kota atau luar negeri untuk urusan bisnis. Jarang sekali ia bisa bertemu ayahnya. Makanya dia benar benar bosan. Kampus membosankan, rumah juga membosankan. Menurutnya kehidupan orang kaya tidak semenarik yang orang pikirkan. Ruby sendiri lelah, ia ingin menjadi orang biasa saja yang bahkan masih bisa tertawa tawa meskipun hidup serba kekurangan.
“Neng Ruby sudah pulang? Mau saya siapkan makan sekarang?” Bi Isna yang menjadi kepala pengurus rumah menghapiri Ruby untuk menawarkan makan.
“Tidak usah, Bi. Tadi aku baru makan bareng teman.”
“Baik, Neng. Kalau begitu, saya mau kembali ke belakang. Kalau butuh sesuatu, panggil saja saya atau pelayan yang lain.”
“Iya, Bi. Terima kasih.”
Ruby kembali bangkit. Dengan langkah malas ia berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya di lantai atas. Kamar yang hanya ia gunakan untuk tidur itu selalu terlihat rapi oleh tangan pelayan rumah.
Otaknya sudah ruwet, semakin dipikirkan semakin ia ingin meninggalkan rumah itu. Akhirnya dengan keputusan bulat, ia memutuskan untuk pergi hari ini juga dari rumah. Segera ia berjalan menuju ruang pakaian, mengambil koper yang lama tak terpakai. Lalu, ia mengemasi beberapa pakaian ke dalam koper tersebut. Tak lupa ia juga membawa dokumen dokumen yang nantinya akan ia butuhkan.
“Neng Ruby mau pergi kemana? Kenapa mebawa koper besar?”
Langkah Ruby terhenti. Kepala pelayan memergokinya. Ia bersaha bersikap biasa dengan senyuman tulus di wajahnya.
“Bi, saya ada kegiatan study banding ke luar kota bareng teman satu kampus dan dosen. Satu minggu ini aku tidak pulang ya, Bi.”
“Neng Ruby sudah ijin kepada Bapak?”
“Sudah…. Masa aku pergi tidak ijin Papa. Tapi sepertinya Papa juga sedang sibuk, jadi belum sempat memberi tahu Bibi.”
“Oh, kalau begitu hati hati di jalan, Neng. Jangan lupa jaga makan supaya maag tidak kambuh lagi.”
“Iya, Bi. Aku pergi dulu.”
“Eh, tunggu! Suruh antar Pak Hasan ke kampus. Masa bawa koper sebesar itu sendiri….”
“Tidak perlu, Bi. Ini tidak berat karena aku bawanya diseret kok bukan dipikul. Di luar juga sudah ada taksi yang menunggu, tidak enak kalau membuatnya menunggu lama.”
Ruby mempercepat langkahnya dan langsung masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan. Akhirnya ia bisa keuar dari rumah itu dengan aman. Setidaknya seminggu ke depan ia tak akan dicari cari oleh orang rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Welda Arsy❤
mampir dulu aahhh
2023-12-01
0
💗vanilla💗🎶
mampir ya thor
2023-11-18
1
Umu Adisya
ya
2023-11-13
0