"Aku masih heran mendengarmu bekerja di restoran."
"Melihat penampilanmu yang sekarang juga.... Awalnya aku tidak yakin kalau itu kamu."
"Lalu, membaca data pribadi tentangmu semakin membuatku tak percaya."
"Kenapa?" tanya Ruby.
"Apa kamu sedang berpura-pura miskin?"
Ruby terdiam sebentar, "Hahaha.... Apa aku harus menceritakan semuanya? Itu urusan keluargaku."
Reino menatap dalam-dalam pada Ruby, "Seorang tuan putri yang selalu dicari-cari para pengawalnya, tidak mungkin hanya anak seorang pedagang kecil pinggir jalan."
Reino terlalu pintar untuk ia bohongi. Dia juga bukan pertama kali bertemu dengannya. Tapi, Ruby masih ingin menyembunyikan jati diri yang sebenarnya.
"Roda bisa berputar dan pada kenyataannya hidupku yang sekarang tak semudah dulu. Aku harus bekerja untuk menghidupi diriku sendiri."
"Baiklah, aku tidak akan bertanya lebih jauh lagi. Itu privasimu."
"Lalu, sekarang kamu mau kemana?"
"Hah? Aku mau pulang."
Reino bangkit dari duduknya, "Biar aku antar."
"Ah, tidak usah. Rumahku dekat."
"Tidak baik wanita malam-malam jalan sendirian. Niat baik harusnya diterima dengan baik, kan?"
Reino meraih tangan Ruby lalu mengajaknya ke tempat ia memarkirkan motor. Ia pasangkan helm miliknya pada kepala kecil Ruby karena ia hanya membawa satu helm.
"Pegangan yang erat, ya. Biar tidak jatuh." ucapnya yang sudah siap dengan kemudinya.
Ia sedikit terkejut merasakan tubuh Ruby yang menempel pada punggungnya. Lalu, kedua tangan halus itu melingkar erat pada bagian pinggangnya. Ia tidak menyangka wanita itu akan berani memeluknya seperti itu. Dia kira wanita itu hanya akan berpegangan pada sisi jaketnya saja.
Pertama kali sedekat itu dengan wanita menimbulkan perasaan grogi. Segera ia segera melajukan motornya.
"Rumahmu yang mana?" tanya Reino sesampainya di depan gang sempit daerah pinggiran kota yang dipenuhi rumah-rumah petak.
"Rumahku masih masuk ke dalam." Ruby melepas helm yang ada di kepalanya lalu mengembalikan kepada pemiliknya.
"Kenapa minta berhenti di sini? Biar aku antar sampai depan rumahmu."
Ruby tersenyum, "Kalau kamu mengantarku sampai depan rumah, nanti tetanggaku pada kepo semua. Aku tidak mau ada omongan yang tidak-tidak hanya karena aku pulang diantar cowok malam-malam."
"Oh, ada ya tetangga yang seperti itu?"
"Ada.... Kalau kamu pasti tidak pernah punya tetangga, kan?"
"Hahaha.... Iya. Kalau aku memasukkan orang ke rumah juga tidak akan ada yang tahu."
"Kalau begitu aku pulang dulu, ya. Terima kasih sudah mengantar."
"Hm, hati-hati di jalan."
Reino melihat Ruby tersenyum seraya melambaikan tangan sebelum berbalik dan meninggalkannya. Senyum yang entah mengapa membuat perasaannya terasa tenang.
Ia juga jadi teringat momen ketika wanita itu memeluknya selama perjalanan. Ada kehangatan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan antara hubungan seorang laki-laki dan perempuan. Ini pertama kalinya ia tertarik dengan hubungan semacam itu.
Sementara, Ruby yang baru sampai rumah memegangi dadanya yang masih berdebar-debar. Sesekali ia berguling ke kanan dan ke kiri menahan perasaanya yang tidak karuan. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam dirinya. Kalau mengingatnya lagi, ia ingin berteriak saking senangnya.
*****
Plak!
Pagi-pagi sudah ada satu telur mentah yang pecah mengotori bajunya. Entah siapa yang melemparkan itu kepadanya. Sepanjang koridor mahasiswa yang melihatnya tersenyum sambil berbisik-bisik tentangnya.
Sudah bukan hal aneh lagi, setiap hari ada saja yang berbuat iseng padanya. Semua bermula sejak hari itu. Hari dimana Si Ikan Pari mengikatnya di tiang bendera. Hampir semua orang menjauhinya, kecuali Yorin.
Terpaksa ia harus berbelok ke arah toilet untuk membersihkan bajunya. Untung bukan telur busuk sehingga baunya tidak terlalu menyengat.
Sebelumnya ada yang menaruh permen karet di kursinya. Lalu, ada yang menumpahkan minuman saat ia berada di kantin. Ada pula yang melempari tepung ketika ia akan masuk kelas. Tapi yang paling sering memang lemparan telur mentah dari orang yang tak ia kenal.
"Orang kalau tidak tahu susahnya cari uang yang tingkahnya begini, suka buang-buang makanan." gumamnya sembari mengucek kaos di bawah air kran.
"Aduh.... Heran di kampus ini bisa ada sampah masuk."
Dua orang wanita dengan penampilan modis ala wanita gaul kota masuk ke toilet dan berjalan mendekati Ruby. Mereka adalah Seira dan Dela, teman satu jurusannya. Sudah tidak perlu ditanyakan lagi, mereka juga tidak suka dengan kehadiran Ruby di kampus itu. Alasannya sepele, karena Ruby tidak mengenakan barang-barang bermerk yang menjadi standar pergaulan di sana.
"Kenapa tidak kuliah di tempat lain saja, sih! Mengganggu pemandangan, tahu!"
Ruby membalikkan badannya, "Memangnya apa ruginya untukmu, ya? Kalau tidak suka ya cukup tidak usah dilihat." ucapnya dengan berani.
"Hah! Gila, ya. Sudah miskin, tambah belagu."
"Memangnya apa salahnya kalau aku miskin? Apa kamu merasa dirugikan? Aku kan juga tidak meminta sumbangan darimu."
"Berani ya, kamu menjawab ucapanku seperti itu."
Seira mendorong tubuh Ruby hingga membentur dinding. Temannya yang bernama Dela juga ikut-ikutan menojokkannya, seakan menegaskan kalau dia tak boleh melawan mereka.
"Kamu tidak tahu siapa aku? Ayahku seorang pengacara terkenal. Jangan macam-macam kalau tidak mau masuk penjara."
"Hahaha.... Seharusnya tukang bully sepertimu yang masuk penjara. Kasihan ayahmu punya anak tingkahnya seperti ini. Apa orangtuamu tahu?"
Plak!
Ruby mendapat satu tamparan karena ucapannya.
"Orang yang pernah berurusan dengan DKK tidak pernah bertahan lama. Sekalipun kamu mau bertahan, terima saja jika setiap hari ada orang yang akan mengganggumu." ucap Seira dengan tatapan mata mengancam.
"Biasanya seseorang akan mengganggu orang lain yang dianggap lebih unggul darinya. Apa kamu merasa minder dengan keberadaanku di kampus ini? Apa aku sangat cantik sampai membuatmu iri?"
"Kurang ajar!"
Sebelum sempat Seira menampar untuk kedua kali, tangannya sudah ditahan oleh Ruby.
"Sungguh tidak akan ada yang tertarik dengan penampilan gelandangan sepertimu."
"Kalau begitu, kenapa kelihatannya kamu marah sekali?" Ruby menampilkan senyuman yang menyebalkan.
"Baru kali ini ada orang yang tidak tahu tempat dan begitu percaya diri bisa bertahan di sini. Kita lihat, seberapa lama kamu bisa tahan."
"Aku akan bertahan sampai lulus dan mungkin akan mendahuluimu lulus. Kamu kan bodoh." ejek Ruby.
"Sialan.... "
Seira berusaha kembali menjambak rambut Ruby. Ruby yang tak mau kalah ikut balas menjambak rambut Seira. Sementara Dela membantu Seira agar Ruby melepaskan jambakannya.
"Sedang apa kalian!?"
Terdengar suara dari arah pintu toilet karena keributan yang mereka ciptakan. Seketika ketiga wanita itu menghentikan pertengkaran. Rambut mereka sudah sangat acak-acakan.
Menyadari yang datang adalah Pak Ben, Ruby segera menyambar kaosnya untuk menutupi bagian dadanya. Ia hanya mengenakan tanktop karena bajunya sedang dibersihkan.
"Mereka menggangguku, Pak!" seru Ruby.
"Bohong, Pak...."
"Iya, bohong, Pak.... Ruby yang mulai duluan. Dia mengejekku." kilah Seira.
"Sudah, sudah.... Cepat kalian masuk kelas."
"Baik, Pak."
Seira dan Dira segera berlari pergi keluar dari toilet. Sementara, Ruby masih berdiri kikuk di sebelah washtafel sambil masih menutupkan kaosnya pada area dada.
"Kenapa sampai lepas baju begitu?"
Ruby merasa dosennya itu sama sekali tidak peka. Seharusnya dia tak perlu bertanya dan cukup meninggalkannya sendiri. Dia jadi tambah malu dosennya melihatnya dalam kondisi seperti itu.
"Biasa, Pak, ada yang melempari saya telur mentah."
Pak Ben justru berjalan masuk ke dalam toilet wanita itu mendekati Ruby. Membuat wanita itu menjadi takut dengan tingkah dosennya.
"Mau apa, Pak?" tanyanya sambil memasang sikap waspada.
"Nih, pakai hoodie saya dulu."
Tanpa disangka-sangka, Pak Ben justru memberikan hoodie padanya. Padahal dia sudah berpikiran buruk saja kepada Pak Ben.
"Iya, Pak. Terima kasih."
"Setelah ini langsung masuk kelas, ya! Jangan bolos dari mata kuliah saya."
Pak Ben mengusap kepala Ruby sebelum ia pergi. Dosen muda itu memang terkenal baik dan ramah di kalangan mahasiswa. Memang, dia dosen yang memperlakukannya dengan baik dibandingkan dosen lainnya. Dan kali ini, Pak Ben bahkan meminjamkan hoodie untuknya.
Kalau ada yang tahu Ruby memakai hoodie Pak Ben, pasti akan banyak mahasiswi yang akan iri padanya. Soalnya, Pak Ben punya fans yang banyak. Siapa coba wanita yang tidak menyukai dosen sebaik Pak Ben.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
humm, pak Ben baik ya😁 pasti tamvan jg
2023-11-07
1
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
anjimmm, pikiran kita sama anehnya😭
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
buset mencurigakan banget nih pertanyaan😑
2023-11-07
0