Pak Wijaya, ayah Ruby baru saja pulang dari Jepang. Dua bulan berada di sana untuk urusan bisnis meninggalkan putri kesayangannya sendiri di rumah. Terkadang ia juga merasa bersalah harus tega meninggalkannya. Namun, kehidupan terus berjalan. Sebagai seorang ayah harus bekerja keras agar kehidupan putri tunggalnya itu bisa sejahtera di masa depan.
Saat ini ia berada di kamar Ruby, membaca surat yang ditinggalkan anaknya sebulan lalu. Tidak ada orang rumah yang berani memberi tahu tentang kepergian Ruby karena takut mengganggu urusan bisnisnya.
Papa, aku pergi dari rumah mau mencoba hidup mandiri. Tolong jangan cari aku. Aku akan baik-baik saja.
Ruby
Pak Wijaya mendengus kesal setelah membaca surat singkat dari Ruby. Anak baik dan patuh yang selama ini ia banggakan tiba-tiba peegi dari rumah tanpa ijin. Nomor ponselnya tidak aktif. Yang lebih membuatnya khawatir, kartu kredit dan kartu debit miliknya ditinggal di rumah. Ia takut putrinya bisa mati kelaparan di luar sana.
Tanpa uang, apakah anak itu bisa bertahan hidup? Dia belum tahu caranya bekerja untuk menghasilkan uang. Benar-benar keputusan yang aneh memilih pergi meninggalkan fasilitas yang telah diberikan.
"Bi, kenapa kalian tidak mencegah Ruby pergi?" tanya Pak Wijaya. Nada bicaranya tidak dibuat meninggi. Ia tahu yang salah memang anaknya, bukan para pelayan di rumah.
"Neng Ruby ijin mau kegiatan kampus, Pak. Jadi tidak saya larang. Neng Ruby juga biasanya tidak seperti ini." Bi Isna menjawab dengan sedikit gemetar karena takut dimarahi.
"Ya sudah, Bi. Turunlah dan lanjut berkerja."
"Baik, Pak."
Pak Wijaya menggerakkan tangannya memberi kode pada kedua asistennya yang ada di luar pintu untuk masuk setelah Bi Isna keluar.
"Tolong cari keberadaan putriku. Mungkin dia masih di kota ini." pintanya.
"Baik, Pak."
*****
Ruby sudah mulai terbiasa dengan aktivitas barunya. Pagi sampai siang ia kuliah, lalu siang sampai malam ia bekerja di restoran. Rasanya sangat melelahkan, tapi ia juga merasa senang. Apalagi saat Mas Hardi memberinya sebuah amplop berisi gaji pertamanya.
Nominalnya tidak besar, hanya bisa membeli selembar kaos merk yang biasa ia pakai. Tapi, menerima gaji pertama dari hasil kerjanya sendiri rasanya menyenangkan daripada menggunakan kartu kredit yang diberikan ayahnya.
"Habis gajian mau main ke mana kita?"
Yorin menyedot minuman boba yang baru di belinya. Malam ini, setelah selesai bekerja, Yorin mengajak Ruby jalan ke taman kota. Katanya untuk merayakan pertama kali gajian.
"Ya kemana? Kita kan sudah ada di sini."
"Aku mau beli baju. Kamu mau ikut?"
"Aduh, bisa habis uangku kalau untuk beli baju." Ruby menggaruk kepalanya.
"Ya jangan beli sekarung juga lah, beli baju satu kan nggak ngabisin uang."
"Beli baju samaan, yuk!"
Ruby menelan ludah. Gajinya saja hanya 2,5juta. Sedangkan harga baju rata-rata 3jutaan. Sementara, uang yang ia bawa dari rumah juga semakin menipis. Kalau dia tidak berhemat, mungkin dia akan sekarat karena tidak bisa makan.
"Kamu biasanya beli baju thrift dimana sih? Kok kayaknya bagus-bagus."
"Hah! Thrift!?" tanyanya kaget. Jadi, selama ini baju yang ia pakai Yorin kira hanya pakaian bekas? Memangnya ada orang yang jual baju bekas? Dan ada yang mau beli baju bekas?
"Eh, emang baju yang kamu biasa pakai baru, ya? Atau dari merk palsu?"
Yorin langsung penasaran dengan pakaian yang dipakai Ruby. Ia sampai meneliti ke bagian belakang leher Ruby untuk mengecek label pakaian.
"Kamu ngapain?" Ruby risih dipegang-pegang Yorin.
"Sebentar, aku cek dulu merk bajunya." ucapnya. "Nah kan.... Ini merk Gussi asli!"
Ruby beringsut mundur agar Yorin menjauh dari jangkauannya. Ia tidak ingin temannya tahu kalau itu memang baju dari salah satu brand ternama. Seharusnya ia buang semua label pada bajunya agar tidak ada yang tahu apa merk pakaian yang selalu ia pakai.
"Bukan, kok.... Palsu ini!" kilah Ruby.
"Hais.... Aku tahu ini beneran baju bermerk. Walaupun belum pernah beli, tapi aku pernah masuk ke gerai Gussi di mall."
"Bukan.... Ini aku beli di pasar malam kok.... Tidak mungkin barang asli."
Yorin tampak antusias mendengarnya, "Pasar malam mana? Apa di sana banyak barang-barang thrift yang murah? Kamu dapat ini harga berapa?"
Ruby tersenyum canggung. Matanya melirik ke segala arah untuk mencari jawaban yang masuk akal. "Ah, ini murah kok.... Cuma lima puluh ribu. Aku beli di kota sebelah."
"Gila sih bajunya masih bagus banget, wajar masih dikasih harga tinggi. Kayaknya juga baru beberapa kali pakai."
"Hehehe.... Banyak di kota sebelah barang-barang seperti ini. Harganya juga sangat murah."
"Kapan-kapan kita ke sana ya kalau liburan."
"Ah, iya. Oke."
"Yuk lah, kita cari baju baru untuk merayakan gajian pertamamu!"
Yorin menarik tangan Ruby agar mengikutinya. Ia akan membawa Ruby ke area pedagang kaki lima yang letaknya tak jauh dari taman kota. Di sana, biasanya juga banyak baju-baju bagus dengan harga murah meskipun bukan merk ternama. Sementara, Ruby masih ketar ketir kalau nanti uangnya tidak cukup untuk membeli baju bersama Yorin. Sekarang, tak ada kartu kredit bersamanya. Isi dompetnya terancam kosong lagi.
Mata Ruby melotot melihat tulisan besar pada potongan kardus berbentuk persegi panjang yang bertuliskan harga dari pakaian-pakaian yang dipajang di sana. Dua puluh ribu. Ia sampai mengucek matanya, memastikan tidak salah lihat. atau mungkin karyawannya yang salah menuliskan harga, kurang menuliskan angka nol satu lagi di belakangnya.
"Yorin.... Apa ini juga baju bekas? " tanyanya.
Yorin yang sedari tadi sibuk memilih-milih baju berhenti sejenak. "Hah, tidak.... Ini semua baju baru kok.... Cium saja baunya, masih ada aroma-aroma baru." Yorin mempraktikkan ucapannya.
"Berarti ini salah tulis harga? Masa dua puluh ribu? Apa mungkin dua ratus ribu?"
Yorin menatap heran kepada Ruby, "Kok kamu seperti tidak pernah membeli baju di pinggir jalan sih.... "
"Hehehe.... Apa aku kelihatan seperti itu, ya?" tanyanya polos.
Yorin mengangguk. "Di kotamu yang dulu tidak ada toko pinggir jalan seperti ini?"
"Aku tidak tahu. Kalau beli baju ya di tempat penjual baju bekas saja tidak pernah beli baru."
"Kalau beli baju baru paling ibuku yang membelikan."
"Memang bahaya sih kalau kamu belanja sendiri. Dapat baju bekas saja harganya masih 50 ribu. Seharusnya bisa kamu tawar saja 10 ribu. Namanya juga barang bekas."
Ruby kembali menelan ludahnya. Baju yang sedang dikenakan itu ia beli 200 dollar, masa dinilai hanya 10 ribu.
"Kalau yang di sini semuanya barang baru. Harganya lebih murah karena langsung dari pabrik. Ada yang 20 ribu, 30 ribu, sampai paling mahal 50 ribu. Bahannya juga tidak terlalu bagus tapi ya lumayan lah untuk nongkrong. Pintar-pintar kita saja memilih yang bagus."
"Jadi ini harga asli?" mata Ruby langsung berbinar mengetahui ada selembar baju yang harganya hanya 20 ribu padahal itu baju baru.
"Iya.... " Yorin berbicara dengan nada meyakinkan.
Langsung saja jiwa belanja Ruby menjadi kalap. Meskipun bukan orang yang gila belanja, tapi mengetahui ada barang murah di depan mata, seakan ia menemukan harta karun berharga yang tidak bisa disia-siakan.
Mengandalkan insting fashion yang dimiliki, ia cepat sekali memilih baju-baju yang akan terlihat bagus untuk ia kenakan. Bisa tampil menarik dengan modal murah tentu menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Yorin juga sampai melongo melihat kelakuan Ruby yang seperti tidak pernah belanja. Awalnya dia bilang tidak mau beli apa-apa, tapi akhirnya pulang dengan membawa sepuluh potong baju.
"Gila ya, sebanyak ini bisa didapat kurang dari 300 ribu. Hahaha.... " Ruby tertawa lebar karena terlalu senang menenteng barang belanjaannya.
"Katanya tidak mau boros.... "
"Ini tidak boros, ya.... Ini murah, tau.... "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
wkwkwkwkkwkwk,,, Ruby langsung kalap lihat barang murah😭😭
2023-11-07
1
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
pemikiran orang kaya memang beda kan😭😭
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
bosan katanya pak🤣🤣
2023-11-07
0